Perangkat Desa di Persimpangan Demokrasi Lokal dan Kepastian Hukum
Perangkat Desa di Persimpangan Demokrasi Lokal dan Kepastian Hukum
Ditulis oleh: Akang Marta
Perangkat Desa merupakan salah satu unsur paling vital dalam tata kelola pemerintahan desa. Mereka adalah staf yang membantu Kepala Desa atau Kuwu dalam menyusun kebijakan, melaksanakan administrasi pemerintahan, serta memastikan pelayanan publik berjalan dengan baik. Secara struktural, perangkat desa diwadahi dalam Sekretariat Desa, unsur pelaksana teknis, dan unsur kewilayahan. Tanpa perangkat desa yang profesional dan netral, roda pemerintahan desa akan pincang, sebaik apa pun visi seorang Kepala Desa.
Dalam praktik sehari-hari, posisi perangkat desa sering kali tidak hanya dipandang sebagai jabatan administratif, tetapi juga sebagai simbol kekuasaan dan kedekatan politik. Hal ini terutama menguat menjelang pelaksanaan Pemilihan Kuwu. Di warung kopi, di pos ronda, atau dalam obrolan santai antarwarga, topik yang kerap mengemuka bukan hanya siapa calon Kuwu yang akan menang, tetapi juga siapa saja yang kelak akan diangkat menjadi perangkat desa, bahkan hingga tingkat RT. Fenomena ini menunjukkan bahwa perangkat desa masih dipersepsikan sebagai “jatah politik” dari Kuwu terpilih.
Pola pikir semacam ini sebenarnya tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari kebiasaan lama yang telah berlangsung bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, di mana pergantian Kepala Desa hampir selalu diikuti dengan pergantian seluruh perangkat desa. Dalam sistem lama, perangkat desa sering dianggap sebagai “orangnya Kuwu”, sehingga ketika Kuwu berganti, perangkat pun dianggap wajar untuk ikut diganti. Pada masa itu, regulasi yang mengatur secara tegas kedudukan dan mekanisme pengangkatan serta pemberhentian perangkat desa memang belum sejelas sekarang.
Akibatnya, setiap momentum Pemilihan Kuwu selalu sarat dengan spekulasi dan transaksi harapan. Jika calon A menang, maka si B, si C, dan si D akan mendapat posisi strategis. Jika calon F terpilih, maka si G, si H, dan si I yang akan mengisi jabatan-jabatan tertentu. Logika politik transaksional ini mengakar kuat di masyarakat desa, sehingga dukungan politik sering kali didorong bukan oleh visi pembangunan desa, melainkan oleh harapan memperoleh jabatan atau pengaruh dalam struktur pemerintahan desa.
Namun, perubahan besar terjadi dengan hadirnya Undang-Undang Desa Nomor 3 Tahun 2024. Salah satu substansi penting dalam undang-undang ini adalah pengaturan yang lebih tegas mengenai perangkat desa. Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang tersebut, Kepala Desa atau Kuwu tidak lagi memiliki kewenangan mutlak untuk mengangkat atau memberhentikan perangkat desa sesuka hati. Mekanisme pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa harus mengikuti aturan hukum yang berlaku, dengan prinsip profesionalitas, objektivitas, dan kepastian hukum.
Ketentuan ini membawa implikasi yang sangat penting. Pertama, perangkat desa tidak lagi menjadi alat politik Kuwu terpilih. Mereka adalah aparatur pemerintahan desa yang memiliki kedudukan hukum sendiri, bukan sekadar kepanjangan tangan kekuasaan politik Kepala Desa. Kedua, stabilitas pemerintahan desa menjadi lebih terjaga, karena pergantian Kepala Desa tidak otomatis menimbulkan keguncangan struktural dalam organisasi pemerintahan desa.
Dalam konteks Pemilihan Kuwu yang sedang atau akan berlangsung, perubahan regulasi ini seharusnya menjadi rujukan utama bagi semua pihak. Perangkat desa yang sedang menjabat hendaknya tetap bekerja secara profesional, melayani masyarakat dengan maksimal, dan menjaga netralitas politik. Mereka tidak boleh terseret dalam arus dukung-mendukung calon Kuwu, karena hal tersebut tidak hanya melanggar etika aparatur, tetapi juga berpotensi merusak kualitas pelayanan publik di desa.
Netralitas perangkat desa bukan sekadar tuntutan moral, melainkan kebutuhan praktis. Masyarakat desa membutuhkan pelayanan administrasi yang cepat, adil, dan tidak diskriminatif, terutama menjelang dan selama proses pemilihan. Jika perangkat desa terlibat dalam konflik politik, pelayanan kepada masyarakat akan terganggu, kepercayaan publik menurun, dan potensi konflik horizontal semakin besar.
Di sisi lain, para pendukung calon Kuwu juga perlu berpikir lebih bijak dan realistis. Mendukung calon Kuwu adalah hak politik setiap warga negara, tetapi dukungan tersebut tidak seharusnya dilandasi oleh harapan akan jabatan sebagai perangkat desa. Dengan adanya Undang-Undang Desa Nomor 3 Tahun 2024, mekanisme pergantian perangkat desa sudah diatur secara jelas dan tidak lagi bergantung pada kehendak pribadi Kuwu terpilih. Berharap jabatan dari proses politik yang tidak sesuai aturan justru akan menimbulkan kekecewaan dan konflik di kemudian hari.
Lebih jauh, regulasi ini seharusnya menjadi momentum pendidikan politik bagi masyarakat desa. Demokrasi desa tidak boleh berhenti pada perebutan kekuasaan, tetapi harus berkembang menjadi proses yang matang, beretika, dan berorientasi pada kepentingan bersama. Kepala Desa dipilih untuk memimpin dan melayani, bukan untuk membagi-bagikan jabatan sebagai balas jasa politik.
Perangkat desa, dalam kerangka ini, harus dipandang sebagai aset profesional desa. Mereka memiliki pengalaman, pengetahuan lokal, dan kemampuan administratif yang sangat dibutuhkan untuk keberlanjutan pembangunan desa. Mengganti perangkat desa secara serampangan hanya karena alasan politik akan merugikan desa itu sendiri, karena proses adaptasi dan pembelajaran harus diulang dari awal.
Undang-Undang Desa Nomor 3 Tahun 2024 pada dasarnya ingin menempatkan desa sebagai entitas pemerintahan yang modern, tertib, dan berlandaskan hukum. Desa tidak lagi diposisikan sebagai ruang kekuasaan personal, melainkan sebagai institusi publik yang harus dikelola secara profesional. Dalam kerangka ini, Kepala Desa dan perangkat desa adalah mitra kerja yang memiliki peran dan batas kewenangan masing-masing.
Pada akhirnya, keberhasilan pemerintahan desa tidak hanya ditentukan oleh siapa yang menjadi Kuwu, tetapi juga oleh kualitas perangkat desa dan sinergi di antara mereka. Jika semua pihak—Kepala Desa, perangkat desa, pendukung calon, dan masyarakat—memahami dan menghormati aturan hukum yang berlaku, maka Pemilihan Kuwu akan menjadi pesta demokrasi yang sehat, bukan sumber perpecahan.
Dengan demikian, perubahan paradigma tentang perangkat desa adalah sebuah keniscayaan. Dari alat politik menjadi aparatur profesional, dari objek kekuasaan menjadi subjek pelayanan publik. Inilah arah baru pemerintahan desa yang diharapkan oleh Undang-Undang Desa Nomor 3 Tahun 2024: desa yang demokratis, tertib hukum, dan berorientasi pada kesejahteraan seluruh warganya.
