Ads

Ketika Segalanya Diekspose: Guru yang Terluka, Orang Tua yang Terlena

Ketika Segalanya Diekspose: Guru yang Terluka, Orang Tua yang Terlena

Ditulis oleh: AKang Marta



Di zaman ketika hampir semua hal bisa diekspose ke media, batas antara ruang pribadi, ruang pendidikan, dan ruang publik menjadi semakin kabur. Apa yang dahulu diselesaikan dengan dialog, kini sering berakhir sebagai status, unggahan, atau komentar yang dibaca banyak orang. Dalam pusaran inilah sering terjadi kekacauan makna, emosi yang membuncah, dan kata-kata yang melukai tanpa disadari. Terutama dalam dunia pendidikan, ketika relasi antara orang tua dan guru menjadi korban utama dari budaya ekspose berlebihan.

Ada satu pemandangan yang semakin sering kita temui: orang tua merasa lebih hebat, lebih benar, dan lebih berhak menentukan segalanya tentang pendidikan anak, hanya berbekal satu-dua kalimat, satu kejadian kecil, atau satu potongan cerita yang belum tentu utuh. Padahal, di balik layar, ada wali kelas yang telah mendampingi anak selama kurang lebih tiga tahun. Tiga tahun bukan waktu singkat. Tiga tahun adalah rentang panjang untuk mengenal karakter, kebiasaan, kekuatan, dan kelemahan seorang anak. Namun ironisnya, pengalaman dan dedikasi itu seolah kalah nilainya dibanding emosi sesaat yang diekspose ke media.

Ketika semua hal diekspose, yang sering hilang pertama kali adalah empati. Orang tua menulis dengan sudut pandangnya sendiri, tanpa menyadari bahwa di seberang layar ada guru yang membaca dengan hati terluka. Kalimat yang bagi penulisnya terasa biasa, bisa menjadi pisau bagi penerimanya. Kata-kata seperti “guru kurang perhatian”, “wali kelas tidak becus”, atau “sekolah tidak profesional” mudah sekali terlontar. Padahal, di balik kata-kata itu ada manusia yang bekerja dengan keterbatasan, tekanan, dan tanggung jawab besar.

Guru bukan malaikat. Mereka bisa salah. Mereka bisa lelah. Mereka bisa khilaf. Namun guru juga bukan musuh. Mereka adalah mitra orang tua dalam mendidik anak. Ketika satu kesalahan kecil langsung diumbar ke ruang publik, relasi yang seharusnya dibangun dengan kepercayaan justru runtuh oleh prasangka.

Wali kelas, khususnya, memikul beban yang tidak ringan. Ia bukan hanya mengajar mata pelajaran, tetapi juga menjadi pendengar, penengah, pencatat perkembangan, bahkan kadang menjadi “orang tua kedua” di sekolah. Selama bertahun-tahun, wali kelas menyaksikan anak-anak tumbuh, jatuh, bangkit, berprestasi, dan gagal. Namun semua itu sering tak terlihat oleh mata orang tua, karena yang tampak hanya hasil akhir: nilai, rapot, atau satu peristiwa yang dianggap tidak memuaskan.

Ketika orang tua merasa lebih hebat daripada guru, sebenarnya yang terjadi bukan kehebatan, melainkan jarak. Jarak komunikasi. Jarak kepercayaan. Jarak empati. Orang tua lupa bahwa guru bekerja dalam sistem, dengan kurikulum, aturan, jumlah siswa, dan keterbatasan waktu. Tidak semua hal bisa disesuaikan dengan keinginan individu. Pendidikan bukan layanan pribadi, melainkan proses kolektif.

Media sosial memperparah keadaan ini. Segala sesuatu tampak hitam-putih. Siapa yang paling keras suaranya, sering kali dianggap paling benar. Padahal kebenaran dalam pendidikan jarang sesederhana itu. Ada konteks, ada proses, ada dinamika yang tidak bisa diringkas dalam satu unggahan.

Kalimat-kalimat yang kacau balau sering muncul dari emosi yang tidak dikelola. Orang tua yang kecewa, marah, atau khawatir, lalu menumpahkannya ke ruang publik. Tanpa disadari, anak menjadi objek konflik. Guru menjadi sasaran. Sekolah menjadi arena saling tuding. Yang hilang adalah tujuan utama pendidikan itu sendiri: tumbuh kembang anak.

Tidak semua hal harus diekspose. Tidak semua masalah harus diumumkan. Ada hal-hal yang lebih bijak diselesaikan dengan duduk bersama, berbicara dari hati ke hati. Guru dan orang tua sejatinya berada di perahu yang sama. Jika perahu bocor, bukan saling menyalahkan yang dibutuhkan, melainkan bekerja sama menutup kebocoran.

Tiga tahun pendampingan wali kelas bukan angka kosong. Di dalamnya ada kesabaran menghadapi anak yang sulit diatur, perhatian pada anak yang pendiam, dan usaha memahami anak yang unik. Ketika semua itu seolah dihapus oleh satu unggahan, luka yang ditinggalkan tidak sederhana. Guru bisa kehilangan semangat. Wali kelas bisa merasa usahanya sia-sia. Dan ekosistem pendidikan menjadi tidak sehat.

Orang tua tentu punya hak untuk menyampaikan kritik. Kritik adalah bagian dari perbaikan. Namun kritik yang baik disampaikan dengan cara yang tepat, pada ruang yang tepat, dan dengan bahasa yang beradab. Bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk membangun. Bukan untuk mencari pembenaran, melainkan untuk mencari solusi.

Pendidikan anak tidak akan pernah berhasil jika dipenuhi ego. Ego orang tua yang merasa paling tahu. Ego guru yang merasa paling benar. Keduanya harus diturunkan, agar yang diangkat adalah kepentingan anak. Anak tidak membutuhkan orang dewasa yang saling berkompetisi, tetapi orang dewasa yang saling melengkapi.

Ketika orang tua dan guru saling percaya, masalah sekecil apa pun bisa diselesaikan. Namun ketika kepercayaan runtuh, masalah kecil berubah menjadi konflik besar. Media sosial bukan ruang netral; ia memperbesar emosi, menyederhanakan masalah, dan sering kali menghilangkan konteks.

Sudah saatnya kita lebih bijak. Tidak semua yang kita rasakan harus kita tuliskan. Tidak semua yang kita lihat harus kita viralkan. Ada guru yang pulang ke rumah dengan air mata karena merasa gagal, padahal ia sudah berusaha sekuat tenaga. Ada wali kelas yang merasa kalah bukan karena tidak mampu, tetapi karena tidak diberi ruang untuk menjelaskan.

Pada akhirnya, pendidikan adalah kerja bersama. Orang tua dan guru sama-sama belajar. Sama-sama bisa salah. Sama-sama punya tanggung jawab. Jika komunikasi dijaga, empati dipelihara, dan ego diredam, maka kalimat kacau balau tidak perlu muncul. Yang lahir justru kolaborasi yang menumbuhkan.

Karena anak tidak butuh orang tua yang paling lantang, atau guru yang paling sempurna. Anak hanya butuh orang dewasa yang mau bekerja sama dengan hati.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel