Ads

Surga, Tangan Terangkat, dan Kejujuran yang Mendadak Turun

Surga, Tangan Terangkat, dan Kejujuran yang Mendadak Turun

Ditulis oleh: Akang Marta


Mongol pernah berdiri di depan jemaat dengan satu pertanyaan sederhana, pertanyaan yang sudah berumur ribuan tahun dan hampir selalu punya jawaban seragam. Dengan nada santai tapi penuh jebakan, ia bertanya, “Siapa di sini yang mau masuk surga?” Seperti refleks tanpa mikir, semua tangan langsung terangkat. Tinggi. Tegap. Penuh keyakinan. Ada yang angkat pakai dua tangan, seolah takut tidak terdata.

Mongol mengangguk pelan. Ia senyum kecil. Lalu ia lanjutkan dengan pertanyaan kedua, yang nadanya masih sama, tapi maknanya jauh lebih berat. “Kalau gitu… siapa yang mau ke surga sekarang?” Dalam hitungan detik, ruangan berubah. Tangan-tangan yang tadi gagah mendadak turun serempak. Ada yang pura-pura garuk kepala. Ada yang pura-pura betulin duduk. Ada juga yang mendadak sibuk batuk.

Di situlah Mongol sadar satu hal penting tentang manusia. Kita semua mau surga, tapi tidak sekarang. Kita ingin bahagia, tapi habis ini saja. Kita ingin hidup kekal, tapi jangan ganggu jadwal besok. Kejujuran manusia sering muncul bukan saat ditanya tujuan akhir, tapi saat ditanya waktunya.

Mongol tidak menertawakan jemaat. Ia justru merasa menemukan cermin. Karena kalau ia jujur pada dirinya sendiri, jawabannya mungkin sama. Mau surga? Mau. Sekarang? Jangan dulu. Masih ada cicilan. Masih ada undangan stand up. Masih ada urusan dunia yang katanya penting, padahal sering cuma kebiasaan.

Dari situ, pikiran Mongol mulai berjalan ke arah yang lebih absurd. Ia bertanya dalam hati, “Sebetulnya di surga itu enakan di mana, ya? Di dalam atau di luar?” Pertanyaan ini tentu tidak ada di kitab teologi mana pun, tapi justru di situlah letak kejujurannya. Karena manusia sering lebih peduli posisi daripada esensi.

Kalau di dalam surga, bayangan Mongol sederhana. Isinya menyembah Tuhan terus. Pujian, doa, kemuliaan, tanpa henti. Indah, suci, agung. Tapi jujur saja, agak capek juga kalau dipikir-pikir. Bukan karena menyembah itu salah, tapi karena manusia terbiasa dengan selingan. Terbiasa istirahat. Terbiasa ngopi di sela-sela hidup.

Kalau di luar surga, imajinasi Mongol langsung liar. Masih bisa nongkrong. Masih bisa ngobrol. Siapa tahu masih bisa main qiu-qiu. Bukan karena ingin maksiat, tapi karena manusia butuh transisi. Dari dunia ke akhirat, jangan langsung ekstrem. Pelan-pelan. Pemanasan dulu.

Di situlah logika surga ala Mongol muncul. Yang penting lolos dulu. Soal lokasi, belakangan. Dalam atau luar, itu urusan nanti. Yang penting nama ada di daftar. Karena menurut Mongol, banyak manusia terlalu sibuk memperdebatkan detail surga, tapi lupa memastikan tiketnya.

Ia melihat bagaimana orang ribut soal gambaran surga, tapi hidupnya penuh dengki. Ribut soal posisi di akhirat, tapi lupa sopan di dunia. Mongol merasa logika manusia sering terbalik. Kita ingin hasil paling sempurna, tapi malas menjalani proses paling dasar: jujur, baik, dan sadar diri.

Humor Mongol mungkin terdengar nakal, tapi justru di situlah pesannya. Ia tidak sedang meremehkan surga, tapi meremehkan kesombongan manusia yang merasa sudah pantas, padahal masih penuh syarat. Tangan cepat terangkat saat ditanya tujuan, tapi cepat turun saat ditanya kesiapan.

Menurut Mongol, iman manusia itu unik. Kita percaya surga itu ada, tapi kita juga sangat menikmati dunia. Kita yakin kehidupan setelah mati lebih baik, tapi kita masih takut meninggalkan kehidupan sekarang. Dan itu manusiawi. Yang jadi masalah bukan ketakutan itu, tapi kepura-puraan seolah kita sudah siap.

Dengan bercanda soal surga, Mongol sebenarnya sedang mengajak jujur. Jujur bahwa kita ingin bahagia tanpa kehilangan kenyamanan. Jujur bahwa kita ingin suci tanpa benar-benar meninggalkan kebiasaan. Dan jujur bahwa iman sering berjalan berdampingan dengan ego.

Di akhir ceritanya, Mongol selalu sampai pada kesimpulan sederhana. Tuhan mungkin tidak terlalu sibuk menghitung posisi kita di surga, tapi lebih peduli pada bagaimana kita menjalani hidup sekarang. Surga bukan sekadar alamat akhir, tapi arah hidup.

Jadi kalau hari ini ditanya lagi, “Siapa mau masuk surga?” angkat tanganlah. Tapi kalau ditanya, “Siapa mau ke surga sekarang?” tidak apa-apa kalau ragu. Yang penting, selama masih di dunia, kita belajar jadi manusia yang layak. Soal di dalam atau di luar, nanti saja. Yang penting lolos dulu.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel