Ads

Ketika Natal, Keajaiban, dan Angka-Angka Bertemu

Ketika Natal, Keajaiban, dan Angka-Angka Bertemu

Oleh: Akang Marta



Setiap bulan Desember selalu datang dengan suasana yang sama. Lampu-lampu dinyalakan, jendela-jendela dihias, kaos kaki digantung di ruang tamu, dan anak-anak mendadak memiliki kesabaran yang luar biasa—kesabaran yang bahkan orang dewasa jarang miliki. Mereka menunggu satu sosok dengan pakaian merah, Santa Claus, dengan keyakinan penuh bahwa kebaikan akan datang dalam bentuk hadiah.

Dulu, aku melihat Natal hanya sebagai perayaan keajaiban. Tentang kebersamaan, tentang hadiah, tentang rasa hangat di tengah dinginnya akhir tahun. Namun semakin dewasa, semakin aku sadar bahwa Natal bukan hanya tentang keajaiban yang terlihat. Ada mesin besar yang bekerja di baliknya. Mesin yang berdengung pelan tapi kuat: ekonomi.

Natal adalah momen emosional, tapi ia juga peristiwa ekonomi musiman terbesar di dunia. Triliunan dolar bergerak hanya dalam hitungan minggu. Di Amerika Serikat, misalnya, ada jendela belanja yang nyaris sakral: dari 1 November hingga 21 Desember. Tahun ini, pengeluaran meningkat hampir 4 persen dibanding tahun sebelumnya. Lebih dari 200 juta orang berbelanja. Angka itu bukan sekadar statistik; itu adalah gambaran betapa dalamnya tradisi ini tertanam dalam kesadaran manusia.

Secara global, ekonomi Natal bahkan lebih mencengangkan. Pasar barang Natal saja pernah menyentuh angka ratusan miliar dolar. Ketika jasa, makanan, perjalanan, dan hiburan ditambahkan, nilainya bisa melampaui satu triliun dolar. Itu bukan sekadar pasar, itu sebuah semesta ekonomi. Dan ironisnya, semesta itu digerakkan oleh sosok fiktif bernama Santa.

Lalu aku bertanya pada diriku sendiri: jika Natal punya ibu kota, di mana letaknya? Jawabannya ternyata jauh dari Kutub Utara. Ia berada di Yiwu, Tiongkok. Sebuah kota yang mungkin tidak dikenal banyak orang, tetapi menjadi pusat manufaktur Natal terbesar di dunia. Delapan puluh lima hingga delapan puluh delapan persen impor barang Natal global berasal dari sana. Dari lampu hias, ornamen, hingga boneka Santa, semuanya dirakit dengan presisi industri.

India hadir dengan peran yang lebih kecil, tetapi unik. Ia unggul dalam hiasan tangan bernilai seni tinggi—kayu ukir, kaca tiup, detail yang tidak bisa diproduksi massal dengan mesin. Namun kontribusinya secara global masih di bawah dua persen. Yang membuatku terdiam adalah satu fakta sederhana: Indonesia tidak masuk hitungan. Nol. Di tengah ekonomi Natal global yang masif, namaku sebagai bagian dari bangsa ini terasa absen.

Soal daya beli, Amerika tetap memimpin. Lebih dari satu triliun dolar dihabiskan setiap tahun hanya untuk retail Natal. Jerman menyusul di Eropa. Aku membayangkan bagaimana angka-angka itu berubah menjadi hadiah di bawah pohon Natal, menjadi makanan di meja makan, menjadi kenangan keluarga. Uang, dalam konteks ini, bukan sekadar alat tukar, tetapi bahasa kasih sayang.

Daftar hadiah populer tahun ini juga mencerminkan zaman. Konsol game seperti PlayStation 5 menjadi primadona. Ponsel pintar tetap tak tergantikan. Namun ada kejutan: pencarian global untuk proyektor melonjak hampir seribu persen. Orang-orang ingin menghadirkan bioskop kecil di rumah, mungkin sebagai simbol keinginan untuk kebersamaan yang lebih intim. LEGO Game Boy menjadi koleksi nostalgia, sementara aksesori kecil justru menunjukkan bahwa hadiah tidak harus mahal untuk bermakna.

Menariknya, sekitar setengah hingga dua pertiga anggaran Natal dihabiskan untuk hadiah. Sisanya untuk makanan dan minuman. Ini menegaskan bahwa memberi masih menjadi inti perayaan. Namun cara memberi berubah. E-commerce tumbuh paling cepat, meski toko fisik tetap ramai. Kita ingin kepraktisan, tetapi masih merindukan pengalaman.

Lalu datanglah si “Grinch” modern: inflasi. Harga naik, biaya hidup meningkat, tekanan terasa di banyak rumah tangga. Namun Natal, entah bagaimana, tetap bertahan. Ia lentur. Ia beradaptasi. Banyak orang menggunakan skema beli sekarang bayar nanti. Setengah konsumen melakukannya. Pengecer pun menyesuaikan strategi, menyerap sebagian kenaikan biaya agar tradisi tidak runtuh.

Di sinilah aku berhenti sejenak dan merenung. Apa yang sebenarnya kita pertahankan? Apakah Natal tentang belanja, atau tentang makna memberi? Inflasi mungkin mengubah cara kita berbelanja, tetapi tidak menghapus keinginan untuk memberi. Orang tetap ingin menghadiahkan sesuatu, hanya dengan lebih bijak. Mungkin ini bukan kemunduran, melainkan kedewasaan.

Aku juga melihat ironi yang lembut. Kita merayakan kasih, tetapi sering lupa pada rantai panjang di balik hadiah itu. Pabrik-pabrik yang terus beroperasi, pekerja yang mengejar target, jalur perakitan yang tak pernah benar-benar berhenti. Santa memang simbol kebaikan, tetapi ekonomi-lah yang menggerakkan tangannya.

Pada malam Natal, saat anak-anak tertidur di bawah cahaya lampu hias, aku kini melihat sesuatu yang lebih luas. Ada dunia yang saling terhubung oleh tradisi, oleh keinginan memberi, oleh angka-angka besar yang sering terasa dingin tetapi sesungguhnya digerakkan oleh emosi manusia.

Refleksiku sederhana: Natal mengajarkanku bahwa keajaiban dan realitas tidak saling meniadakan. Mereka berjalan berdampingan. Keajaiban hidup karena sistem bekerja, dan sistem bertahan karena manusia masih percaya pada makna. Tantangannya adalah menjaga agar makna tidak sepenuhnya dikalahkan oleh angka.

Mungkin Natal terbesar bukanlah hadiah di bawah pohon, melainkan kesadaran bahwa di balik semua itu, kita masih memilih untuk memberi—meski dunia mahal, meski hidup menekan. Dan selama pilihan itu masih ada, Natal akan selalu menemukan jalannya.

Peace.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel