Ads

Di Antara Angka dan Air Mata: Mengurai Anomali Penanganan Bencana Sumatera

Di Antara Angka dan Air Mata: Mengurai Anomali Penanganan Bencana Sumatera

Ditulis oleh: Akang Marta



Bencana selalu datang tanpa undangan, tetapi cara negara hadir di tengah bencana selalu menjadi undangan terbuka bagi kritik publik. Peristiwa bencana besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali membuka ruang refleksi bersama: sejauh mana kehadiran negara benar-benar dirasakan oleh rakyat, dan sejauh mana negara masih terjebak pada laporan statistik yang tampak rapi di pusat, tetapi compang-camping di lapangan. Di sinilah publik mulai merasakan apa yang disebut sebagai anomali—ketidaksinkronan antara angka-angka resmi dengan realitas penderitaan yang dialami warga dan disaksikan langsung oleh relawan.

Anomali itu bukan sekadar selisih data teknis. Ia adalah jurang emosional antara laporan dan kenyataan. Ketika listrik dilaporkan sudah menyala di atas 90 persen, tetapi warga Takengon masih hidup dalam gelap berminggu-minggu. Ketika tenda pengungsian diklaim cukup, tetapi satu tenda diisi oleh tujuh keluarga. Ketika distribusi bantuan disebut lancar, tetapi relawan harus berjalan kaki, memikul logistik melewati lumpur setinggi dada, dan warga terpaksa minum air banjir untuk bertahan hidup. Di titik inilah publik mulai bertanya: untuk siapa sebenarnya laporan itu dibuat?

Kritik ini bukan lahir dari sikap anti-pemerintah atau keinginan menjatuhkan wibawa negara. Justru sebaliknya, kritik lahir dari cinta yang dalam terhadap negara. Relawan, aktivis, dan warga yang bersuara keras bukan karena mereka ingin meniadakan peran negara, tetapi karena mereka ingin negara hadir secara jujur dan utuh. Mereka tidak menafikan kerja keras TNI, Polri, BNPB, Basarnas, dan relawan yang berjibaku siang malam. Yang dipersoalkan adalah mata rantai pelaporan dan pengambilan keputusan yang kerap terdistorsi oleh budaya “asal Bapak senang”.

Budaya inilah yang menjadi akar dari anomali. Dalam situasi bencana, tekanan birokrasi sering kali mendorong pejabat di lapangan untuk melaporkan kondisi yang “sudah terkendali”, meski kenyataan di bawah jauh dari kata aman. Angka menjadi tameng, statistik menjadi selimut, dan laporan menjadi kosmetik. Padahal, bencana bukan panggung presentasi kinerja, melainkan ruang empati dan kejujuran. Rakyat yang kehilangan rumah, keluarga, dan masa depan tidak membutuhkan angka-angka persentase. Mereka membutuhkan logistik, listrik, obat-obatan, akses jalan, dan kepastian hidup.

Anomali juga terlihat dalam tata kelola distribusi bantuan. Bantuan memang masuk, tetapi distribusinya tersendat. Tidak adanya satu pusat data terpadu membuat relawan bergerak dengan intuisi, bukan koordinasi. Mereka datang ke posko, kembali lagi ke lapangan, bolak-balik menghabiskan waktu dan tenaga. Dalam kondisi darurat, waktu adalah nyawa. Ketika data tidak terpusat, bantuan menjadi tidak merata. Ada wilayah yang kelebihan, ada wilayah yang sama sekali belum tersentuh. Ini bukan soal niat baik atau buruk, tetapi soal sistem yang belum siap menghadapi bencana berskala besar dengan medan seberat Sumatera.

Persoalan semakin kompleks ketika bencana ini tidak hanya dipahami sebagai bencana alam, tetapi juga bencana ekologis. Kerusakan hutan, pembukaan lahan, dan eksploitasi alam di kawasan Bukit Barisan menjadi hulu dari tragedi di hilir. Lumpur setinggi lima meter bukan sekadar akibat hujan ekstrem, tetapi juga akumulasi dari kebijakan yang mengabaikan keseimbangan alam. Dalam konteks ini, istilah “serakahnomics” versus “pedulinomics” bukan sekadar jargon, melainkan kritik tajam terhadap model pembangunan yang mengorbankan lingkungan demi keuntungan jangka pendek.

Publik kemudian mengajukan pertanyaan yang lebih politis, tetapi sah secara moral: mengapa bencana sebesar ini belum ditetapkan sebagai bencana nasional? Pertanyaan ini bukan soal gengsi atau label, melainkan soal komando dan tanggung jawab. Status bencana nasional berarti komando terpusat, koordinasi lebih kuat, dan kapasitas pemerintah daerah yang terbatas bisa langsung ditopang penuh oleh pusat. Dalam kondisi tiga provinsi terdampak, puluhan ribu rumah rusak, dan dampak jangka panjang yang luar biasa, publik wajar bertanya mengapa pendekatan yang sama seperti pada bencana-bencana besar sebelumnya tidak diambil.

Perbandingan dengan tsunami Aceh 2004 atau bencana besar lainnya memang sensitif, tetapi tidak bisa dihindari. Bukan soal jumlah korban jiwa semata, melainkan soal dampak struktural jangka panjang. Membersihkan lumpur lima meter, memulihkan hutan, membangun kembali puluhan ribu rumah, dan menyembuhkan trauma sosial bukan pekerjaan ringan. Jika publik melihat ada perbedaan sikap negara, maka yang muncul bukan hanya kritik teknis, tetapi juga rasa ketidakadilan. Pertanyaan “bukankah Sumatera juga Indonesia?” menjadi simbol kegelisahan kolektif.

Di sisi lain, harus diakui bahwa negara tidak sepenuhnya absen. Presiden hadir, aparat bergerak, bantuan mengalir, dan anggaran disiapkan. Tetapi kehadiran fisik saja tidak cukup jika tidak diiringi kehadiran moral berupa kejujuran informasi. Di sinilah pentingnya mendengar suara relawan dan warga sebagai ground truth. Mereka adalah sensor paling jujur di lapangan. Ketika relawan mengatakan listrik belum menyala, maka itulah fakta yang harus sampai ke pusat, meski pahit dan tidak enak didengar.

Opini publik juga mencatat peran penting media dalam membingkai bencana. Ketika media hanya mengulang pernyataan resmi tanpa verifikasi lapangan, maka media ikut memperlebar anomali. Sebaliknya, ketika media memberi ruang bagi suara relawan dan warga, publik mendapatkan gambaran yang lebih utuh. Program diskusi, laporan langsung dari lokasi, dan testimoni saksi mata menjadi jembatan antara pusat dan daerah. Media dalam konteks ini bukan musuh negara, melainkan mitra korektif.

Kritik terhadap pembantu-pembantu presiden juga muncul dengan nada keras. Bukan untuk menyudutkan individu, tetapi untuk menegaskan bahwa sistem sebaik apa pun akan runtuh jika diisi oleh laporan yang tidak amanah. Presiden, sekuat apa pun visinya, tetap bergantung pada kejujuran informasi dari bawah. Jika laporan yang naik sudah dipoles, maka kebijakan yang turun pun berpotensi salah sasaran. Dalam situasi bencana, kesalahan kecil bisa berakibat fatal.

Di tengah semua kritik ini, satu hal yang patut diapresiasi adalah solidaritas rakyat. Donasi miliaran rupiah, relawan dari berbagai komunitas, mahasiswa, organisasi keagamaan, hingga perusahaan BUMN menunjukkan bahwa kepedulian sosial Indonesia masih sangat hidup. Bendera putih yang dikibarkan bukan tanda menyerah, melainkan panggilan nurani kepada dunia bahwa ada saudara-saudara kita yang membutuhkan pertolongan. Solidaritas ini adalah modal sosial terbesar bangsa, yang seharusnya diperkuat oleh negara melalui sistem yang transparan dan terkoordinasi.

Trauma healing juga menjadi aspek yang sering terpinggirkan dalam laporan resmi. Bencana bukan hanya merobohkan rumah, tetapi juga merobek rasa aman. Anak-anak yang hidup di pengungsian, orang tua yang kehilangan mata pencaharian, dan komunitas yang tercerai-berai membutuhkan lebih dari sekadar bantuan logistik. Mereka membutuhkan pendampingan psikososial jangka panjang. Kehadiran relawan psikososial adalah langkah baik, tetapi harus menjadi bagian dari kebijakan negara, bukan sekadar inisiatif komunitas.

Ke depan, anomali semacam ini tidak boleh terulang. Negara perlu membangun sistem pelaporan bencana yang berbasis verifikasi lapangan real-time, bukan sekadar rekap angka. Teknologi, satelit, dan partisipasi warga bisa diintegrasikan untuk memastikan data yang sampai ke pusat adalah data yang hidup, bukan data kosmetik. Selain itu, keberanian untuk menyampaikan kondisi terburuk harus menjadi budaya birokrasi baru. Dalam bencana, kabar buruk bukan musuh, melainkan dasar pengambilan keputusan yang tepat.

Akhirnya, opini publik ini ingin menegaskan satu hal: kritik bukan bentuk kebencian, tetapi wujud kepedulian. Rakyat tidak menuntut kesempurnaan, tetapi kejujuran. Tidak menuntut mukjizat, tetapi keberpihakan nyata. Di antara angka dan air mata, negara dituntut memilih: mempertahankan narasi statistik yang menenangkan, atau menghadapi kenyataan pahit demi penyelamatan manusia. Bencana ini adalah ujian, bukan hanya bagi alam dan rakyat, tetapi juga bagi nurani kekuasaan. Jika ujian ini dijawab dengan kejujuran, solidaritas, dan keberanian memperbaiki sistem, maka dari lumpur yang dalam sekalipun, harapan masih bisa tumbuh.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel