Ads

Di Antara Klaim Mampu dan Jeritan Korban: Menguji Kejujuran Negara dalam Bencana Sumatera

Di Antara Klaim Mampu dan Jeritan Korban: Menguji Kejujuran Negara dalam Bencana Sumatera

Ditulis oleh: Akang Marta



Bencana besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan hanya ujian bagi alam dan ketahanan masyarakat, tetapi juga ujian serius bagi kejujuran negara. Di ruang publik, kita mendengar pernyataan berulang bahwa seluruh sumber daya telah dikerahkan, anggaran digelontorkan, aparat bekerja siang dan malam, serta pemerintah pusat menyatakan “mampu” menangani bencana ini tanpa menetapkannya sebagai bencana nasional. Namun, di lapangan, suara lain bergema: listrik masih gelap, bantuan tidak merata, relawan kebingungan, dan korban masih menunggu kepastian. Di sinilah publik berada di persimpangan antara klaim negara dan realitas korban.

Perdebatan ini sejatinya bukan tentang meragukan niat Presiden. Hampir semua pihak sepakat bahwa komitmen dan kesungguhan Presiden tidak perlu dipertanyakan. Tidak ada yang bisa mengukur niat seseorang, apalagi kepala negara. Yang bisa diukur dan dirasakan adalah kondisi konkret para korban hari ini: apakah mereka sudah makan dengan layak, apakah listrik sudah menyala, apakah air bersih tersedia, apakah anak-anak bisa tidur dengan aman, dan apakah trauma mereka ditangani. Dalam konteks kemanusiaan, ukuran keberhasilan bukanlah pidato atau angka persentase, melainkan rasa aman yang kembali ke rumah-rumah yang hancur.

Pemerintah menyampaikan bahwa anggaran besar telah disiapkan, transfer ke daerah dilakukan, TNI dan Polri dikerahkan puluhan ribu personel, BUMN dilibatkan, dan seluruh kementerian hadir di lokasi. Secara administratif, ini tampak sebagai kerja masif dan serius. Namun publik bertanya: mengapa dengan semua sumber daya itu, kondisi di lapangan masih terasa lamban dan carut-marut? Pertanyaan ini tidak dimaksudkan untuk menyudutkan, melainkan untuk menguji apakah sistem yang bekerja benar-benar menyentuh kebutuhan paling mendesak korban.

Di titik inilah muncul isu klasik yang terus berulang dalam penanganan bencana di Indonesia: jurang antara laporan dan kenyataan. Angka-angka yang naik ke pusat sering kali terdengar meyakinkan—93 persen listrik menyala, puluhan gardu berfungsi, logistik tersedia—namun di desa-desa, warga masih hidup dalam gelap. Ketika laporan mengatakan situasi terkendali, relawan justru menyaksikan tenda pengungsian penuh sesak dan distribusi bantuan yang tersendat. Bagi korban, perbedaan ini bukan sekadar selisih data, tetapi soal hidup dan mati.

Kritik tajam yang disampaikan relawan dan aktivis tidak boleh dibaca sebagai sikap anti-pemerintah. Justru sebaliknya, kritik itu lahir dari kedekatan mereka dengan penderitaan warga. Relawan tidak membawa beban politik atau kepentingan elektoral; mereka membawa karung beras, obat-obatan, dan empati. Ketika mereka mengatakan kondisi belum baik-baik saja, seharusnya suara itu diterima sebagai alarm, bukan gangguan. Negara yang kuat adalah negara yang mau mendengar kabar buruk dari bawahannya.

Salah satu isu paling sensitif dalam perdebatan ini adalah status bencana nasional. Sebagian pihak menilai penetapan status tersebut penting untuk mempercepat komando, koordinasi, dan membuka ruang bantuan internasional. Pihak lain berpendapat bahwa pemerintah masih mampu menangani sendiri, dan status nasional memiliki konsekuensi besar, termasuk soal citra negara, travel warning, dan kemandirian bangsa. Di sinilah dilema muncul: antara menjaga martabat negara dan mempercepat penyelamatan korban.

Namun, publik perlu diingatkan bahwa status bencana nasional bukanlah simbol kelemahan negara. Dalam banyak kasus internasional, justru negara yang terbuka terhadap bantuan dan transparan dalam krisis mendapatkan kepercayaan lebih besar. Yang melemahkan negara bukanlah menerima bantuan asing, melainkan membiarkan korban terlalu lama menunggu pertolongan demi menjaga narasi “kita mampu”. Dalam kondisi force majeure, kemanusiaan seharusnya berada di atas kebanggaan politik.

Perdebatan soal bantuan asing juga memunculkan pertanyaan logis di masyarakat: mengapa donasi asing dalam bentuk bantuan kemanusiaan kerap diperdebatkan, sementara utang asing yang berbunga diterima tanpa polemik besar? Secara moral, bantuan yang bersifat hibah dan ditujukan langsung untuk korban bencana tidak seharusnya dipandang sebagai ancaman kedaulatan. Justru transparansi dan pengelolaan yang baiklah yang menentukan apakah bantuan itu bermartabat atau tidak.

Di sisi lain, pemerintah memang memiliki alasan kehati-hatian. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa status bencana nasional membawa implikasi luas, termasuk travel warning yang bisa berdampak pada sektor pariwisata dan ekonomi nasional. Namun pertanyaan mendasarnya adalah: apakah kekhawatiran ekonomi jangka pendek lebih penting daripada percepatan penyelamatan dan pemulihan korban? Di titik ini, negara dituntut membuat pilihan etis, bukan sekadar kalkulasi teknokratis.

Masalah lain yang mengemuka adalah komunikasi publik. Banyak analis sepakat bahwa persoalan utama bukan semata ketidakmampuan negara, melainkan buruknya komunikasi dan komando. Informasi yang terlambat, pernyataan yang meremehkan situasi, dan perbedaan data antar lembaga memperkeruh suasana. Dalam bencana, komunikasi yang jujur dan empatik sama pentingnya dengan bantuan logistik. Kalimat yang salah bisa melukai perasaan korban lebih dalam daripada keterlambatan bantuan.

Ketiadaan crisis center dan media center yang terintegrasi di awal bencana memperparah kebingungan. Relawan datang dengan niat baik, tetapi tidak tahu harus ke mana dan melakukan apa. Bantuan menumpuk di satu titik, sementara titik lain kosong. Dalam bencana sebesar ini, negara seharusnya hadir sebagai dirigen yang menyatukan semua orkestra kebaikan: TNI, Polri, pemerintah daerah, relawan, NGO, hingga individu-individu yang ingin membantu. Tanpa komando yang jelas, energi besar itu terbuang sia-sia.

Di lapangan, TNI dan Polri kembali menjadi garda terdepan. Kerja mereka nyaris tanpa henti patut diapresiasi. Namun, tidak adil jika seluruh beban ditumpukan pada aparat keamanan. BNPB sebagai leading sector bencana dituntut tampil lebih kuat, lebih terlihat, dan lebih responsif. Publik berharap BNPB bukan hanya hadir secara simbolik, tetapi benar-benar memegang komando, memastikan data valid, dan menjadi rujukan tunggal informasi.

Isu lain yang menimbulkan kegelisahan publik adalah fenomena “wisata bencana”. Kehadiran pejabat yang lebih sibuk dengan pencitraan daripada menyelesaikan masalah nyata mencederai rasa keadilan korban. Bukan berarti pejabat dilarang datang ke lokasi bencana, tetapi kehadiran itu harus membawa dampak nyata. Dalam situasi krisis, empati yang tulus jauh lebih bernilai daripada kamera dan pernyataan normatif.

Presiden sendiri telah mengingatkan agar tidak ada wisata bencana. Ini menunjukkan bahwa Presiden memahami sensitivitas situasi dan kejengkelan publik. Namun, peringatan itu harus diikuti dengan mekanisme pengawasan yang tegas. Jika tidak, pesan moral tersebut akan tenggelam dalam praktik birokrasi yang lama: asal atasan senang, laporan dipoles, masalah disederhanakan.

Relawan yang turun langsung ke Aceh dan daerah terdampak lainnya memberikan gambaran nyata tentang kompleksitas pemulihan. Bencana ini bukan hanya banjir, tetapi banjir lumpur dengan skala besar. Setelah air surut, lumpur setinggi berpuluh-puluh sentimeter bahkan meteran mengendap di rumah warga. Membersihkannya membutuhkan waktu, alat berat, air bersih, dan listrik—sesuatu yang justru belum sepenuhnya tersedia. Tanpa percepatan, penderitaan korban akan berlarut-larut.

Di sinilah pertanyaan tentang “mampu” menjadi sangat konkret. Mampu bukan berarti punya anggaran besar di atas kertas, tetapi mampu memastikan anggaran itu cepat dan tepat sampai ke korban. Mampu bukan berarti banyak pejabat datang, tetapi mampu menggerakkan sistem agar korban tidak kebingungan. Mampu bukan berarti menolak bantuan, tetapi mampu memilih bantuan yang benar-benar dibutuhkan.

Sebagian pihak berpendapat bahwa pemerintah pasti akan “berteriak” meminta bantuan jika benar-benar tidak mampu. Namun logika kemanusiaan tidak selalu bisa menunggu sampai titik teriak. Dalam bencana, waktu adalah variabel paling kejam. Setiap hari keterlambatan berarti penderitaan berlipat. Oleh karena itu, membuka ruang bantuan—baik nasional maupun internasional—seharusnya dipandang sebagai langkah antisipatif, bukan tanda kepanikan.

Pengalaman masa lalu, seperti tsunami Aceh 2004, menunjukkan bahwa kehadiran crisis center dan media center sangat menentukan efektivitas penanganan. Data korban, kebutuhan, dan sebaran bantuan bisa dipantau secara real-time. Publik juga merasa lebih tenang karena mendapatkan informasi yang jelas. Ketika mekanisme ini tidak segera dibangun, ruang kosong itu diisi oleh spekulasi, ketidakpercayaan, dan kemarahan.

Opini publik hari ini sebenarnya sederhana: rakyat ingin jujur. Jika kondisi masih berat, katakan berat. Jika listrik belum menyala di banyak tempat, akui. Jika distribusi bantuan tersendat, jelaskan kendalanya. Kejujuran bukan tanda kelemahan, melainkan fondasi kepercayaan. Di era ponsel pintar dan media sosial, menutup-nutupi fakta justru mempercepat runtuhnya kepercayaan.

Dalam jangka panjang, bencana Sumatera ini harus menjadi pelajaran serius bagi tata kelola kebencanaan nasional. Indonesia adalah negara rawan bencana, dan peristiwa besar akan terus berulang. Tanpa reformasi komunikasi, komando, dan transparansi, setiap bencana akan selalu diikuti drama serupa: debat mampu atau tidak mampu, nasional atau tidak nasional, bantuan asing atau mandiri. Yang berubah hanya lokasi dan nama korban.

Pada akhirnya, kemanusiaan harus menjadi kompas utama. Ketika rakyat bertanya “berapa lama lagi kami harus menunggu?”, itu bukan serangan politik, melainkan jeritan putus asa. Negara boleh menjaga martabat, tetapi martabat sejati negara diukur dari seberapa cepat dan jujur ia menyelamatkan warganya. Di antara klaim mampu dan jeritan korban, pilihan etis itu tidak boleh samar.

Bencana ini bukan hanya tentang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Ini tentang wajah negara di mata rakyatnya sendiri. Jika negara mampu menjembatani jurang antara laporan dan kenyataan, antara kebijakan dan empati, maka dari lumpur dan puing-puing itu akan lahir kepercayaan baru. Namun jika yang dipertahankan hanyalah narasi dan angka, sementara korban terus menunggu, maka bencana terbesar bukan lagi alam, melainkan krisis kejujuran.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel