Ads

Tepuk Tangan yang Perlu Kita Renungkan: Indonesia, Antara Bangga dan Terbiasa

Tepuk Tangan yang Perlu Kita Renungkan: Indonesia, Antara Bangga dan Terbiasa

Ditulis oleh: Akang Marta



“Yang hadir hari ini dan bangga jadi orang Indonesia, coba tepuk tangan.”
Kalimat itu mungkin sering kita dengar di panggung hiburan, acara resmi, reuni, seminar, hingga upacara kenegaraan. Kadang diucapkan sambil bercanda, kadang dengan nada khidmat, kadang hanya sebagai pemecah suasana. Tepuk tangan pun bergema. Semua ikut. Hampir tak ada yang menahan diri. Tapi jarang sekali kita berhenti sejenak untuk bertanya pada diri sendiri: tepuk tangan ini lahir dari kebanggaan, atau sekadar refleks karena semua orang ikut bertepuk?

Bangga menjadi orang Indonesia bukan perkara sederhana. Terlalu banyak cerita yang membuat kita mengeluh. Terlalu sering kita membandingkan diri dengan negara lain, lalu merasa kalah sebelum benar-benar bertanding. Kalimat “di luar negeri lebih bagus” meluncur begitu saja, seolah Indonesia diciptakan hanya untuk menjadi versi gagal dari bangsa lain. Padahal, jika kita mau jujur dan berhenti membandingkan secara serampangan, Indonesia bukan hanya layak dibanggakan—Indonesia itu luar biasa kayanya, bukan hanya secara sumber daya, tetapi juga secara pengalaman hidup.

Kita harus akui bersama, teman-teman, jangan membandingkan negeri ini hanya dari potongan Instagram atau film Hollywood. Amerika memang terlihat keren. Gedung-gedung tinggi, jalan lebar, filmnya megah, ceritanya heroik. Tapi apa yang terlihat di kamera tidak selalu sama dengan apa yang dirasakan di kehidupan sehari-hari. Indonesia mungkin tidak selalu rapi, tidak selalu tepat waktu, dan sering kali berisik. Namun Indonesia hidup. Dan hidup itu jarang steril. Ia berantakan, absurd, kadang melelahkan, tapi jujur.

Mari kita mulai dari hal paling sederhana dan paling Indonesia: sarapan hotel.
Menginaplah di hotel mana pun di negeri ini—di kota besar, kota kecil, atau kota yang nama kecamatannya lebih terkenal daripada kotanya—dan Anda akan menemukan pemandangan yang sama: meja sarapan yang ramai. Bubur ayam ada. Nasi goreng ada. Kwetiau, mie goreng, nasi putih, lauk pauk, sambal, kerupuk, kue tradisional, buah, hingga jajanan pasar. Kadang kita baru bangun tidur sudah dihadapkan pada dilema eksistensial: ini sarapan atau hajatan keluarga?

Bandingkan dengan Amerika. Sarapan hotelnya kentang dan telur. Itu saja. Kentang dan telur. Tidak salah, tapi jujur saja, terasa miskin imajinasi. Seolah negara adidaya itu berkata, “Makan ya makan saja, jangan banyak mikir.” Indonesia berbeda. Sarapan adalah perayaan kecil. Bangun pagi harus disambut dengan rasa. Hidup sudah cukup berat, jangan ditambah sarapan yang hambar.

Lalu kita beranjak ke fasilitas publik yang sering luput dari pujian: urinoir Indonesia.
Urinoir di negeri ini ramah terhadap semua ukuran. Tinggi, pendek, kurus, gemuk—semua bisa pipis dengan tenang dan bermartabat. Tidak ada diskriminasi tinggi badan. Di Amerika, urinoir mengikuti standar tinggi rata-rata penduduknya. Orang Indonesia yang tingginya di bawah itu harus berpikir keras soal teknik. Berdiri salah, basah. Mundur salah, mental. Ini bukan urusan sepele. Ini soal kenyamanan dasar manusia.

Bahkan ada cerita orang Indonesia di Amerika yang mau pipis, bingung sendiri, lalu berkata ke manajer, “Beli botol.”
Itu bukan lelucon. Itu bentuk adaptasi manusia Nusantara terhadap dunia yang tidak selalu ramah pada ukuran tubuhnya. Di Indonesia, hal-hal seperti itu tidak perlu dipikirkan. Kita diterima apa adanya. Bahkan oleh urinoir.

Sekarang mari bicara soal kekayaan. Jangan pernah mengatakan Indonesia miskin sebelum melihat apa yang terkubur di tanahnya. Kita adalah salah satu penghasil batu bara terbesar di dunia. Nikel kita diperebutkan negara-negara besar. Timah, tembaga, dan mineral strategis lain ada di tangan kita. Emas kita masuk jajaran lima besar dunia. Cadangan emas kita bukan cerita fiksi.

Masalahnya bukan kita miskin. Masalahnya kita sering lupa kalau kita kaya. Atau lebih parah, kita tahu kaya tapi tidak percaya diri untuk mengakuinya. Indonesia seperti orang kaya yang hidup sederhana, tapi minder karena tetangganya pamer mobil baru. Kita sibuk melihat apa yang tidak kita miliki, lupa mensyukuri apa yang sudah ada.

Dan jangan lupakan cabai.
Cabai adalah indikator ekonomi paling jujur di negeri ini. Negara lain bicara inflasi dengan grafik, indeks, dan istilah rumit. Indonesia cukup melihat harga cabai. Kalau cabai naik, semua ikut panas. Cabai kita bukan cuma pedas, tapi mahal. Pernah ada masa harga cabai naik setara cicilan gawai terbaru. Mau cabe-cabean? Dulu ratusan rupiah, sekarang rasanya setara teknologi masa depan.

Ini bukan sekadar komoditas. Ini simbol. Indonesia adalah negara yang begitu kaya, sampai bahan dapur pun bisa jadi isu nasional dan bahan diskusi warung kopi.

Namun, kekayaan saja tidak cukup untuk membuat kita bangga. Ada satu hal yang membuat Indonesia benar-benar unik: kemampuannya menertawakan diri sendiri. Kita menertawakan kebiasaan kita, kekurangan kita, bahkan ketakutan kita. Humor menjadi mekanisme bertahan. Dari urusan horor, sosial, sampai politik, kita selalu menemukan cara untuk tertawa, meski pahit.

Bangga menjadi orang Indonesia bukan berarti menutup mata terhadap kekurangan. Justru sebaliknya, kebanggaan sejati lahir dari keberanian mengakui kelemahan tanpa membenci diri sendiri. Kita boleh mengkritik negeri ini, kita boleh marah, kita boleh lelah. Tapi selama kita masih mau tertawa dan peduli, itu tanda kita belum menyerah.

Jadi ketika lain kali Anda diminta bertepuk tangan karena bangga menjadi orang Indonesia, tepuklah dengan sadar. Tepuklah bukan karena ikut-ikutan, tetapi karena Anda paham. Paham bahwa negeri ini tidak sempurna, tapi nyata. Tidak selalu rapi, tapi manusiawi. Tidak selalu hebat di mata dunia, tapi cukup kuat untuk membuat kita pulang dan berkata: ini rumah saya.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel