Molah sebagai Jalan Martabat: Kerja, Tanggung Jawab, dan Kedewasaan Wong Lanang
Molah sebagai Jalan Martabat: Kerja, Tanggung Jawab, dan Kedewasaan Wong Lanang
Ditulis oleh: Akang Marta
Molah, atau bekerja, bukan sekadar aktivitas mencari nafkah. Dalam pandangan hidup orang Jawa, molah adalah laku, jalan hidup, dan ukuran kedewasaan seseorang, terutama bagi wong lanang. Ungkapan sederhana “wong lanang kuh kudu molah, aja marah-marah” memuat makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar nasihat sehari-hari. Ia adalah pengingat bahwa kerja adalah bentuk tanggung jawab, sementara marah-marah tanpa usaha adalah tanda ketidakmatangan batin.
Sejak dulu, kerja dipahami sebagai sarana menjaga martabat. Wong lanang yang molah berarti ia berusaha menegakkan dirinya, keluarganya, dan lingkungannya. Ia tidak menggantungkan hidup pada keluhan, tidak menyandarkan masa depan pada kemarahan, dan tidak membenarkan kegagalan dengan menyalahkan keadaan. Dalam budaya Jawa, kerja bukan hanya urusan fisik, tetapi juga urusan batin: tekun, sabar, dan konsisten.
Marah-marah sering kali muncul dari rasa tidak berdaya. Ketika seseorang tidak bekerja dengan sungguh-sungguh, tidak punya arah, atau enggan berusaha, kemarahan menjadi pelarian. Emosi meledak-ledak dipakai untuk menutupi kekosongan peran. Padahal, kerja justru adalah cara paling nyata untuk meredam amarah. Orang yang sibuk bekerja, yang pikirannya terarah, biasanya lebih tenang dan lebih mampu mengendalikan diri.
Dalam kehidupan rumah tangga, prinsip molah menjadi fondasi. Bukan berarti semua masalah selesai dengan uang, tetapi usaha yang konsisten menciptakan rasa aman. Seorang ayah yang bekerja dengan tanggung jawab memberi contoh kepada anak-anaknya bahwa hidup tidak dijalani dengan mengeluh, melainkan dengan ikhtiar. Ia mungkin lelah, mungkin gagal, tetapi ia tetap molah—itulah pelajaran terpenting yang diwariskan.
Kerja juga melatih kerendahan hati. Saat seseorang molah, ia belajar menerima proses: dari bawah, dari kesalahan, dari keterbatasan. Ia belajar bahwa hasil tidak selalu instan, bahwa jerih payah mendahului keberhasilan. Dari sini tumbuh sikap andhap asor—tidak mudah sombong saat berhasil, tidak mudah putus asa saat jatuh. Amarah yang berlebihan biasanya lahir dari ego yang tidak mau menerima proses.
Dalam konteks sosial, molah menjaga harmoni. Orang yang bekerja memberi kontribusi, sekecil apa pun, pada lingkungannya. Ia tidak menjadi beban, tidak mudah iri, dan tidak gampang menyalahkan orang lain. Budaya gotong royong tumbuh dari individu-individu yang mau bekerja. Sebaliknya, lingkungan yang dipenuhi kemarahan sering kali lahir dari banyaknya orang yang enggan mengambil peran.
Molah tidak selalu berarti kerja kasar atau pekerjaan formal. Molah adalah kesediaan untuk berbuat, mengupayakan, dan memperbaiki. Petani yang merawat sawahnya, pedagang yang jujur di pasar, guru yang mengajar dengan hati, hingga pemuda yang belajar dengan tekun—semuanya sedang molah. Nilainya sama: ada tanggung jawab dan ada usaha nyata.
Ungkapan “aja marah-marah” bukan larangan untuk merasakan emosi, melainkan ajakan untuk mengelola emosi. Marah itu manusiawi, tetapi menjadikannya kebiasaan adalah pilihan. Kerja yang terarah membantu emosi menemukan saluran yang sehat. Energi yang semula habis untuk menggerutu bisa diubah menjadi tenaga untuk berkarya. Dari sinilah lahir ketenangan batin.
Dalam masyarakat modern, tantangan molah semakin kompleks. Persaingan ketat, tekanan ekonomi, dan perubahan cepat sering memicu stres. Namun prinsipnya tetap sama: wong lanang (dan siapa pun) yang mau molah akan mencari jalan, bukan alasan. Ia belajar keterampilan baru, menyesuaikan diri, dan tidak berhenti berusaha. Kemarahan tanpa kerja hanya memperpanjang masalah.
Molah juga berkaitan dengan tanggung jawab moral. Kerja yang baik adalah kerja yang jujur. Dalam falsafah Jawa, rezeki bukan hanya soal banyaknya, tetapi soal berkah. Orang yang molah dengan niat baik, meski hasilnya sederhana, biasanya lebih tenteram. Sebaliknya, hasil besar yang diperoleh dengan cara salah sering menyisakan kegelisahan dan kemarahan tersembunyi.
Di ruang publik, kita sering melihat contoh kebalikan: suara keras tanpa solusi, kritik tanpa kontribusi, emosi tanpa kerja. Budaya marah-marah menjadi tontonan, sementara kerja sunyi sering luput dari perhatian. Padahal peradaban dibangun oleh mereka yang molah dalam diam—mengajar, merawat, membangun, dan melayani—bukan oleh mereka yang paling lantang berteriak.
Mengajarkan molah sejak dini adalah investasi sosial. Anak-anak yang dibiasakan bertanggung jawab atas tugas kecil—membereskan mainan, membantu orang tua, belajar tepat waktu—akan tumbuh dengan etos kerja yang sehat. Mereka belajar bahwa usaha mendahului hasil, dan bahwa kemarahan bukan jalan keluar utama. Pendidikan karakter dimulai dari kebiasaan bekerja.
Pada akhirnya, molah adalah sikap hidup. Ia menuntut disiplin, kesabaran, dan keberanian menghadapi kenyataan. Ungkapan “wong lanang kuh kudu molah, aja marah-marah” mengingatkan kita bahwa kedewasaan tidak diukur dari seberapa keras suara kita, tetapi dari seberapa konsisten usaha kita. Kerja menata hidup, menenangkan batin, dan menjaga martabat.
Di tengah dunia yang mudah memancing emosi, memilih untuk molah adalah pilihan yang menyehatkan. Ia tidak meniadakan marah, tetapi menempatkannya pada porsi yang tepat. Ketika kerja menjadi kebiasaan, kemarahan menemukan batasnya. Dan ketika usaha menjadi jalan, hidup—meski sederhana—menjadi lebih bermakna.
