Ads

Meluruskan Makna Ngarot: Menjaga Marwah Leluhur Lelea dari Tafsir Keliru

 Meluruskan Makna Ngarot: Menjaga Marwah Leluhur Lelea dari Tafsir Keliru

Ditulis oleh: Kang Yana



Cerita tentang tradisi dan leluhur bukan sekadar kisah masa lalu, melainkan cermin nilai, etika, dan jati diri suatu masyarakat. Karena itu, setiap penafsiran terhadap adat dan sejarah lokal menuntut kehati-hatian, kejujuran intelektual, serta rasa hormat. Salah satu cerita yang perlu diluruskan secara tegas adalah narasi yang menormalisasikan atau bahkan menyiratkan bahwa para buyut leluhur masyarakat Lelea dan desa-desa sekitarnya memiliki kebiasaan minum minuman keras. Tafsir semacam ini bukan hanya keliru, tetapi juga menyesatkan, merendahkan martabat leluhur, dan mencederai kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun.

Para buyut bukanlah sosok sembarangan yang hidup tanpa nilai. Mereka adalah penjaga tanah, penata kehidupan sosial, dan pewaris budi pekerti yang luhur. Tradisi yang mereka bangun tidak berangkat dari kesenangan duniawi apalagi kebiasaan mabuk, melainkan dari kesadaran spiritual, relasi harmonis dengan alam, dan rasa syukur kepada Tuhan. Oleh karena itu, sangat tidak pantas jika adat Ngarot dipelintir seolah-olah lahir dari kebiasaan minum minuman keras. Penilaian semacam itu terlalu berani, sembrono, dan tidak berpijak pada realitas kebudayaan setempat. Dalam perspektif orang tua dahulu, menilai leluhur secara sembarangan bahkan diyakini dapat mendatangkan kuwalat—bukan dalam arti mistis semata, tetapi sebagai peringatan moral agar manusia tidak lancang terhadap asal-usulnya.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa dalam kehidupan adat masyarakat Lelea, acara makan dan minum bukanlah inti dari tradisi desa. Jamuan sederhana memang ada sebagai bagian dari kebersamaan, tetapi tidak pernah menjadi pusat ritual, apalagi dikaitkan dengan minuman keras. Tradisi utama justru berisi doa, sedekah, simbol pertanian, dan kebersamaan warga. Maka ketika ada artikel atau tulisan yang memaksakan asal-usul kata Ngarot dari istilah yang dihubungkan dengan “minum”, hal itu patut dipertanyakan secara serius: dari mana sumbernya, apa metodologinya, dan mengapa makna luhur justru direduksi menjadi citra negatif?

Lebih parah lagi, ada tulisan yang mengaitkan kata Ngarot dengan istilah “ngareueut” tanpa penjelasan linguistik yang jelas. Jika pun kata tersebut ada, maknanya tidak otomatis merujuk pada minum, apalagi minuman keras. Penafsiran seperti ini terkesan dipaksakan agar sesuai dengan asumsi awal, bukan hasil kajian bahasa dan budaya yang jujur. Akibatnya, terbentuklah mindset keliru bahwa adat Ngarot berasal dari kebiasaan mabuk para leluhur. Ini bukan sekadar salah tafsir, tetapi juga penghinaan simbolik terhadap buyut-buyut yang dihormati masyarakat hingga hari ini.

Perlu dipahami bahwa masyarakat Lelea dan beberapa desa di wilayah selatan Indramayu memiliki sejarah panjang asimilasi budaya Sunda dan Jawa. Jejak itu masih hidup dalam bahasa sehari-hari. Kata “urang” misalnya, berubah pelafalan menjadi “reang”. Banyak kosa kata Sunda yang bertahan, beradaptasi, dan menyatu dengan dialek lokal. Dalam konteks inilah kata Ngarot harus dibaca, bukan dengan kacamata sempit, melainkan melalui lensa kebudayaan yang lebih luas.

Jika merujuk pada bahasa Sunda, kata yang lebih tepat untuk “minum” adalah ngaleueut, yang jelas berbeda ejaan, intonasi, dan maknanya dengan Ngarot. Sementara itu, kata ngaruat atau ngaruwat justru jauh lebih dekat secara fonetik dan maknawi. Ngaruat berarti melepaskan, membersihkan, atau membebaskan dari kesialan, bahaya, dan keadaan buruk. Kata ini berasal dari akar kata ruwat, yang berarti “lepas” atau “bebas”. Tradisi ngaruwat dikenal luas dalam budaya Sunda dan Jawa sebagai upacara tolak bala, permohonan keselamatan, dan ungkapan syukur kepada Tuhan, leluhur, dan alam semesta.

Dalam praktiknya, ngaruwat melibatkan doa bersama, ritual simbolik, serta sedekah berupa hasil bumi. Tumpeng dan makanan lain disiapkan bukan untuk pesta hura-hura, melainkan sebagai simbol rasa syukur yang kemudian dimakan bersama sebagai wujud kebersamaan sosial. Pola inilah yang sangat sesuai dengan struktur adat Ngarot di Lelea dan desa-desa sekitarnya. Tidak ada jejak ritual mabuk, tidak ada glorifikasi minuman keras, dan tidak ada adat yang bertentangan dengan nilai kesopanan masyarakat agraris religius.

Hal ini semakin diperkuat oleh simbolisasi pada puncak acara Ngarot. Di desa Lelea, Tamansari, Nunuk, Tugu, Jatisura, dan Jambak, puncak ritual selalu ditandai dengan penyerahan alat-alat pertanian dan bibit palawija, termasuk padi. Simbol ini sangat jelas: Ngarot adalah ritus agraris, penanda kesiapan menanam, harapan akan kesuburan tanah, dan doa agar hasil panen melimpah. Ini adalah ritual bumi, bukan ritual minum. Menafsirkan Ngarot sebagai kebiasaan mabuk jelas mengabaikan simbol-simbol utama yang justru paling sakral.

Perlu juga diluruskan soal istilah “gadis ngarot”. Dalam sejarah awal, ikon ini tidak dikenal. Ia adalah konstruksi baru yang muncul seiring kepentingan pariwisata dan promosi budaya. Kehadiran simbol tersebut tidak salah, selama dipahami sebagai representasi visual modern, bukan sebagai inti tradisi. Adat Ngarot sejatinya adalah ngaruwat bumi yang melibatkan seluruh warga desa dari berbagai usia dan lapisan. Namun, memang ada penekanan pada kaum muda karena mereka dianggap masih kuat tenaga dan semangatnya untuk mengolah sawah dan ladang.

Dalam banyak desa lain di Jawa Barat dan Jawa Tengah, tradisi serupa dikenal dengan nama Sedekah Bumi. Tujuannya sama: bersyukur, memohon keselamatan, dan menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Menariknya, desa-desa seperti Lelea, Tamansari, Nunuk, Tugu, Jatisura, dan Jambak justru melaksanakan keduanya: Ngaruwat Bumi (yang disebut Ngarot) dan Sedekah Bumi. Ini menunjukkan kekayaan tradisi, bukan kontradiksi makna.

Dengan demikian, sudah sepatutnya narasi tentang Ngarot diluruskan. Jangan sampai adat luhur direduksi menjadi cerita sensasional yang merusak citra leluhur. Menulis tentang budaya bukan sekadar soal kebebasan berpendapat, tetapi juga tanggung jawab moral. Leluhur Lelea mewariskan kearifan, kerja keras, dan kesalehan sosial—bukan kebiasaan mabuk. Meluruskan makna Ngarot berarti menjaga marwah buyut-buyut kita, sekaligus merawat ingatan kolektif agar tidak sesat oleh tafsir yang dangkal dan tidak berakar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel