Ads

Di Balik Kepul Asap dan Pahitnya Cangkir: Mengapa Laki-Laki Membeli Ketenangan, Bukan Sekadar Amunisi

 

Di Balik Kepul Asap dan Pahitnya Cangkir: Mengapa Laki-Laki Membeli Ketenangan, Bukan Sekadar Amunisi

Ditulis oleh: Akang Marta


Ada sebuah pemandangan klise yang sering kita temui di sudut-sudut kota: seorang laki-laki dewasa duduk sendirian di teras rumah, di bangku kayu sebuah warung kopi, atau di sela-sela jam istirahat kantor yang bising. Di depannya selalu ada dua hal yang setia menemani: segelas kopi dan sebungkus rokok. Bagi mata yang hanya melihat permukaan, ini hanyalah rutinitas konsumsi yang mungkin dianggap tidak sehat atau sekadar kebiasaan buruk yang sulit dihilangkan. Namun, jika kita bersedia duduk sejenak di samping mereka dan menyelami isi kepala mereka, kita akan menemukan sebuah kebenaran yang lebih sunyi: laki-laki dewasa sebetulnya tidak sedang membeli rokok dan kopi. Mereka sedang melakukan transaksi untuk membeli sesuatu yang jauh lebih mahal di dunia modern ini, yaitu ketenangan.

Ruang Hampa di Tengah Tuntutan

Kehidupan laki-laki dewasa sering kali diibaratkan seperti sebuah mesin yang harus terus beroperasi tanpa henti. Sejak mata terbuka di pagi hari hingga terpejam kembali di larut malam, ada rentetan ekspektasi yang mengejar di belakang punggung mereka. Mereka diharapkan menjadi tulang punggung yang tak boleh patah, menjadi pelindung yang tak boleh takut, dan menjadi pemecah masalah yang tak boleh ragu.

Dalam pusaran tuntutan tersebut, laki-laki sering kali kehilangan hak atas dirinya sendiri. Mereka menjadi milik perusahaan, milik istri, milik anak-anak, dan milik lingkungan sosial. Di sinilah kopi dan rokok mengambil peran sebagai "pintu darurat". Ketika seorang laki-laki menyalakan pemantik api dan menyesap kafeinnya, ia sebenarnya sedang menciptakan sebuah ruang hampa yang eksklusif. Di dalam ruang itu, selama sepuluh atau lima belas menit, ia tidak perlu menjadi "siapa-siapa". Ia bebas dari label ayah, suami, atau karyawan. Ia hanya seorang manusia yang sedang bernapas bersama asapnya.

Filosofi Kepahitan yang Jujur

Mari kita bicara tentang kopi. Mengapa kopi hitam yang pahit sering kali menjadi pilihan utama dibandingkan minuman manis yang lebih memanjakan lidah? Bagi banyak laki-laki dewasa, rasa pahit kopi adalah refleksi dari kejujuran hidup. Hidup di usia dewasa jarang sekali memberikan rasa manis tanpa syarat. Ada kegagalan yang harus ditelan, ada harga diri yang terkadang harus dikesampingkan demi kelangsungan hidup keluarga, dan ada keletihan yang tidak bisa disuarakan.

Menyesap kopi pahit adalah cara mereka merayakan realita tersebut. Ada kepuasan batin ketika seseorang mampu menikmati sesuatu yang pahit dan tetap merasa tenang. Kopi menjadi simbol ketabahan. Setiap tegukan adalah pengingat bahwa meskipun hari ini terasa berat dan getir, mereka masih memiliki kendali untuk menikmatinya. Ketenangan yang didapat dari secangkir kopi bukan datang dari kafeinnya semata, melainkan dari keberhasilan mereka untuk duduk diam dan tidak melakukan apa-apa selain merasakan detik demi detik yang berlalu.

Asap sebagai Visualisasi Pelepasan

Rokok, di sisi lain, menawarkan bentuk ketenangan yang berbeda—yang lebih bersifat visual dan ritmis. Ada sebuah mekanisme psikologis yang unik di balik aktivitas merokok. Ketika seorang laki-laki menarik napas dalam-dalam melalui rokoknya dan kemudian menghembuskannya perlahan, ia sebenarnya sedang melakukan latihan pernapasan (deep breathing) yang secara biologis menenangkan sistem saraf.

Namun lebih dari itu, asap yang mengepul keluar dari mulut adalah visualisasi dari beban pikiran yang dilepaskan. Masalah cicilan, konflik dengan atasan, atau kecemasan akan masa depan seolah-olah ikut terbang dan memudar bersama asap tersebut ke udara bebas. Bagi mereka, memandang asap yang menari-nari ditiup angin adalah bentuk meditasi paling sederhana. Di saat mereka tidak bisa berteriak karena harus menjaga citra sebagai laki-laki yang kuat, kepulan asap itu mewakili suara hati mereka yang ingin lepas bebas.

Membeli Waktu yang Melambat

Dunia saat ini bergerak terlalu cepat. Kita dipaksa untuk terus mengejar, membandingkan diri dengan pencapaian orang lain di media sosial, dan terjebak dalam produktivitas yang toksik. Ketenangan menjadi barang mewah. Dalam konteks ini, rokok dan kopi adalah alat untuk "membeli waktu".

Satu batang rokok memiliki durasi sekitar lima hingga tujuh menit. Secangkir kopi bisa dinikmati dalam lima belas menit. Ini adalah durasi waktu yang sudah mereka "pesan" agar dunia tidak boleh mengganggu mereka. Jika seseorang mengajak bicara atau memberikan tugas tambahan saat mereka sedang merokok dan ngopi, biasanya laki-laki akan memberikan jawaban singkat atau isyarat untuk menunggu. Ini adalah benteng pertahanan terakhir mereka untuk menjaga kesehatan mental. Mereka membutuhkan jeda sebelum kembali terjun ke dalam peperangan hidup yang sesungguhnya.

Kesunyian yang Berbicara

Sering kita melihat dua atau tiga laki-laki duduk bersama di warung kopi, namun mereka tidak saling berbicara. Mereka hanya duduk, merokok, dan menatap ke depan. Orang awam mungkin menganggap suasana itu canggung, namun bagi laki-laki, itu adalah puncak dari kenyamanan.

Inilah yang disebut dengan solidaritas dalam kesunyian. Mereka saling memahami bahwa masing-masing sedang menikmati "ketenangan" yang mereka beli tadi. Tidak perlu banyak kata untuk menjelaskan rasa lelah setelah bekerja seharian. Cukup dengan denting sendok kopi dan cahaya kecil dari ujung rokok, mereka sudah saling menguatkan. Di sana, ketenangan dibeli secara kolektif. Mereka merasa aman karena berada di lingkungan yang tidak menghakimi kepahitan dan kepulan asap mereka.

Mengapa Harus Sekarang?

Mungkin muncul pertanyaan, "Kenapa harus dengan cara yang tidak sehat?". Kita harus jujur bahwa akses terhadap dukungan kesehatan mental bagi laki-laki dewasa masih sangat terbatas, baik secara biaya maupun stigma sosial. Laki-laki yang mengeluh sering dicap lemah, dan laki-laki yang pergi ke psikolog sering dianggap tidak tangguh.

Maka, kopi seharga lima ribu rupiah dan sebatang rokok menjadi alternatif yang paling terjangkau dan instan untuk mendapatkan "terapi" singkat. Ini adalah cara mereka bertahan hidup (survival mechanism). Mereka lebih memilih merusak paru-paru secara perlahan daripada harus meledak secara emosional dan merusak kebahagiaan orang-orang yang mereka cintai. Ini adalah bentuk pengorbanan sunyi yang jarang disadari.

Menghargai Jeda Mereka

Jika Anda melihat seorang laki-laki dewasa—apakah itu ayah Anda, suami Anda, atau saudara Anda—sedang asyik dengan kopi dan rokoknya, pahamilah bahwa ia sedang tidak sekadar bersantai. Ia sedang melakukan perjalanan ke dalam dirinya sendiri. Ia sedang memulihkan jiwanya yang terkoyak oleh tuntutan dunia.

Ia sedang membeli ketenangan agar besok pagi ia punya cukup tenaga untuk kembali bangun, tersenyum, dan berkata kepada keluarganya, "Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja." Padahal, ia sendiri pun tidak tahu apakah semua akan baik-baik saja. Namun, berkat ketenangan yang ia beli sore ini, ia punya keberanian untuk menghadapi ketidakpastian itu.

Pada akhirnya, rokok akan habis menjadi abu, dan kopi akan kering di dasar cangkir. Namun, ketenangan yang mereka dapatkan—meskipun sesaat—adalah bahan bakar yang menjaga dunia ini tetap berputar melalui tangan-tangan laki-laki yang rela menelan pahit demi memberikan manis bagi orang lain.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel