Ads

Guru di Tengah Transformasi: Makna Baru Beban Kerja dalam Permendikdasmen No. 11 Tahun 2025

 

Guru di Tengah Transformasi: Makna Baru Beban Kerja dalam Permendikdasmen No. 11 Tahun 2025

Ditulis oleh: Akang Marta


Pendidikan tidak pernah berdiri di ruang hampa. Ia selalu bergerak mengikuti perubahan zaman, kebutuhan masyarakat, serta tuntutan negara terhadap kualitas sumber daya manusia. Dalam konteks inilah Permendikdasmen No. 11 Tahun 2025 hadir sebagai salah satu tonggak penting yang mengatur ulang beban kerja guru secara lebih adaptif dan realistis. Regulasi ini bukan sekadar dokumen administratif, melainkan cermin cara negara memandang peran guru di abad ke-21.

Selama bertahun-tahun, beban kerja guru sering dipersepsikan secara sempit, seolah-olah kualitas profesionalisme hanya bisa diukur dari jumlah jam tatap muka di kelas. Angka minimal 24 jam pelajaran (JP) menjadi patokan kaku yang sering kali mengabaikan realitas kerja guru di lapangan. Guru yang aktif membimbing siswa, mengembangkan proyek pembelajaran, atau melakukan pendampingan intensif kerap merasa kerja nyatanya tidak sepenuhnya diakui secara formal.

Permendikdasmen No. 11 Tahun 2025 mencoba menjawab problem tersebut dengan pendekatan yang lebih kontekstual. Regulasi ini menegaskan bahwa beban kerja minimal 24 JP tidak harus selalu dipenuhi melalui pembelajaran tatap muka konvensional. Pembelajaran berbasis projek, pendampingan belajar, serta aktivitas pedagogis lain yang relevan kini diakui sebagai bagian sah dari jam kerja guru. Dengan demikian, negara mulai mengakui kompleksitas peran guru yang sesungguhnya.

Pendekatan ini mencerminkan perubahan paradigma pendidikan. Guru tidak lagi diposisikan semata-mata sebagai penyampai materi, melainkan sebagai fasilitator, pendamping, dan pembimbing proses belajar. Dalam kurikulum yang menekankan penguatan karakter, kreativitas, dan berpikir kritis, peran guru justru semakin luas. Mengukur kerja guru hanya dari jumlah jam mengajar jelas tidak lagi memadai.

Di banyak sekolah, khususnya di daerah, guru sering kali menjalankan peran ganda. Selain mengajar, mereka mendampingi siswa yang mengalami kesulitan belajar, mengelola projek berbasis komunitas, hingga menjadi jembatan antara sekolah dan orang tua. Permendikdasmen ini memberi ruang pengakuan formal terhadap kerja-kerja yang selama ini “tak terlihat” dalam laporan administrasi.

Namun demikian, kebijakan ini juga membawa tantangan baru. Fleksibilitas dalam pemenuhan 24 JP menuntut sistem penilaian dan pelaporan yang lebih akuntabel. Sekolah dan pemerintah daerah harus memastikan bahwa pengakuan jam projek dan pendampingan benar-benar berbasis kerja nyata, bukan sekadar rekayasa administrasi. Tanpa pengawasan yang baik, kebijakan progresif ini berpotensi disalahgunakan.

Di sisi lain, regulasi ini memberi peluang bagi guru untuk mengembangkan pembelajaran yang lebih bermakna. Projek lintas mata pelajaran, pendampingan individual, dan pembelajaran kontekstual kini tidak lagi dianggap sebagai “tambahan”, melainkan inti dari tugas profesional guru. Hal ini sejalan dengan semangat Merdeka Belajar yang menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif dalam proses pendidikan.

Bagi guru, Permendikdasmen No. 11 Tahun 2025 juga membawa pesan simbolik yang penting: negara mulai mendengarkan realitas kerja mereka. Pengakuan terhadap variasi bentuk kerja pedagogis adalah langkah menuju penghormatan yang lebih manusiawi terhadap profesi guru. Guru tidak lagi dipaksa menyesuaikan praktik pendidikan dengan aturan yang kaku, melainkan diberi ruang untuk berinovasi.

Dalam konteks kesejahteraan dan karier, regulasi ini juga berdampak signifikan. Pemenuhan beban kerja sering kali menjadi syarat administratif untuk tunjangan dan pengembangan profesional. Dengan definisi kerja yang lebih luas, guru yang selama ini aktif namun “kurang jam” secara formal kini memiliki peluang yang lebih adil. Ini penting untuk menjaga motivasi dan integritas profesi.

Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kesiapan ekosistem pendidikan. Kepala sekolah memegang peran strategis dalam menerjemahkan regulasi ke dalam praktik yang adil dan transparan. Tanpa kepemimpinan yang visioner, fleksibilitas justru bisa berubah menjadi sumber konflik internal di sekolah.

Lebih jauh, Permendikdasmen No. 11 Tahun 2025 juga menuntut perubahan budaya birokrasi pendidikan. Pelaporan kerja guru tidak bisa lagi sekadar berbasis angka, tetapi harus disertai narasi kualitas dan dampak pembelajaran. Ini menuntut kemampuan reflektif, dokumentasi yang jujur, serta sistem digital yang mendukung transparansi.

Dari sudut pandang peserta didik, kebijakan ini berpotensi meningkatkan kualitas pengalaman belajar. Guru yang tidak lagi tertekan oleh tuntutan jam tatap muka berlebihan memiliki ruang untuk mendampingi siswa secara lebih personal. Proses belajar menjadi lebih manusiawi, dialogis, dan relevan dengan kehidupan nyata.

Pada akhirnya, Permendikdasmen No. 11 Tahun 2025 adalah pengingat bahwa pendidikan adalah proses relasional, bukan mekanis. Jam pelajaran hanyalah alat ukur, bukan tujuan. Yang terpenting adalah kualitas interaksi, ketulusan pendampingan, dan dampak nyata terhadap tumbuh kembang peserta didik.

Jika kebijakan ini dijalankan dengan niat baik, pengawasan yang adil, dan pemahaman yang mendalam, maka ia dapat menjadi titik balik dalam profesionalisme guru Indonesia. Guru tidak lagi diukur semata dari waktu, tetapi dari makna kerja yang mereka hadirkan. Di sanalah pendidikan menemukan ruhnya kembali.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel