Dari Genggam Kepalan ke Genggam Keselamatan: Evolusi Jiwa Seorang Pendekar
Dari Genggam Kepalan ke Genggam Keselamatan: Evolusi Jiwa Seorang Pendekar
Ditulis oleh: Akang Marta
Watak seorang petarung, khususnya pendekar yang menapaki jalan seni penca, pada mulanya hampir selalu seragam. Ada bara di dada, ada panggilan untuk menguji diri. Pertarungan dipandang sebagai ruang pembuktian, medan kejujuran antara kemampuan dan kenyataan. Sparing demi sparing dijalani, gelanggang demi gelanggang disambangi. Tujuannya sederhana namun dalam: mengetahui sejauh mana ilmu bela diri yang telah dipelajari benar-benar hidup di tubuh dan jiwa. Kalah bukan aib, melainkan alarm untuk belajar lebih giat, mencari guru yang lebih mumpuni, dan memperhalus jurus serta batin.
Pada fase awal itu, pertarungan adalah bahasa. Setiap benturan menjadi kalimat, setiap jatuh menjadi tanda baca. Pendekar muda belajar membaca dirinya sendiri melalui luka, peluh, dan rasa sakit. Ia percaya bahwa semakin sering bertarung, semakin tajam naluri dan refleksnya. Ada keyakinan bahwa keberanian harus diuji di bawah tekanan, dan ketangguhan ditempa oleh risiko. Di titik ini, dunia terasa hitam-putih: menang atau kalah, maju atau mundur, menyerang atau bertahan.
Saya pun pernah berada di fase itu. Belajar seni penca pada pendekar pilih tanding, kepada Uwa saya sendiri, Abah Rumli Yasin—adik kandung Buya Syakur Yasin dan juga kakak kandung ibu saya—memberi saya disiplin yang keras namun jujur. Dari beliau saya belajar bahwa jurus bukan sekadar rangkaian gerak, melainkan keputusan yang harus diambil cepat dan tepat. Selain itu, saya juga berguru kepada almarhum Abah Akmal di Segeran, sosok yang mengajarkan ketenangan sebagai inti kekuatan. Dari dua jalur itu, tubuh saya belajar bertarung, sementara batin saya belajar menimbang.
Namun sejak awal, niat belajar seni penca bukan untuk menjadi orang sakti. Ilmu ini saya pelajari untuk menjaga keamanan kawasan Pesantren Cadangpinggan di malam hari. Pada masa itu, malam adalah ruang tanggung jawab. Siapa pun pelaku kejahatan yang berani masuk kawasan tersebut harus siap berhadapan dengan saya. Tugas ini bukan tentang mencari nama, melainkan memastikan santri dan lingkungan aman. Ada rasa percaya diri yang tumbuh, bukan karena sombong, tetapi karena kesiapan.
Kepercayaan diri itu membuat saya tak gentar berjalan malam sendirian, ke mana pun. Gelap tidak menakutkan; justru kewaspadaan menjadi sahabat. Dua belas tahun lalu, kemampuan itu benar-benar diuji saat menolong korban pembegalan di Toang Larangan Jambe. Malam itu, saya harus bertarung dengan empat begal sekaligus. Pilihannya tajam dan kejam: saya atau mereka, esok hari mungkin hanya tinggal nama. Tidak ada ruang ragu. Dalam situasi seperti itu, latihan bertahun-tahun berbicara lebih lantang daripada rasa takut. Alhamdulillah, korban dan kendaraannya selamat, dan saya antarkan pulang ke rumahnya.
Pengalaman semacam itu sering disalahpahami sebagai romantisasi kekerasan. Padahal bagi seorang pendekar, itu adalah ujian etika. Kapan harus maju, kapan harus berhenti. Kapan kekuatan menjadi keharusan, kapan ia harus ditahan. Pada usia muda, jawaban sering condong ke maju. Namun waktu adalah guru yang paling sabar dan tegas. Seiring bertambahnya usia, pelajaran itu mengubah arah.
Di penghujung perjalanan banyak pendekar, watak pun berbalik. Mereka yang dahulu rajin mencari pertarungan, justru menjadi pihak yang paling menghindarinya. Bukan karena takut, melainkan karena paham betul harga dari sebuah benturan. Mereka tahu bahwa satu langkah keliru bisa berujung panjang. Mereka mengerti bahwa kemenangan sejati bukanlah menumbangkan lawan, melainkan mencegah pertarungan itu sendiri. Di sinilah seni penca menemukan maknanya yang paling halus.
Kini, saya pun berada di fase itu. Saya sebisa mungkin menghindari pertarungan, dan sudah tidak ingin bertarung. Keluyuran malam pun tak lagi menarik. Bukan karena nyali menyusut, tetapi karena ingin mencari selamat. Ada pergeseran orientasi: dari menguji batas, menjadi menjaga kesinambungan. Dari adu kekuatan, menjadi adu kebijaksanaan dengan keadaan.
Apalagi ketika aksi begal atau geng motor kembali marak, seperti yang terjadi baru-baru ini di sekitar Gang 6 Karangampel, dengan kabar korban masuk RS Krangkeng Indramayu. Realitas semacam ini menuntut kewaspadaan yang berbeda. Bukan heroisme spontan, melainkan kehati-hatian kolektif. Jalanan malam hari tidak lagi menjadi ruang latihan, melainkan ruang risiko yang harus diminimalkan.
Tangan saya, memang, bukan hanya biasa memegang kitab. Dulu, ia juga terbiasa memegang senjata. Namun itu dulu. Sekarang, prioritas saya bergeser. Kitab memberi saya cahaya untuk membaca hidup; pengalaman memberi saya alasan untuk memilih selamat. Ini bukan penyangkalan masa lalu, melainkan pengakuan bahwa setiap fase memiliki hikmahnya sendiri.
Watak pendekar yang matang adalah watak yang tahu kapan berhenti. Ia tidak anti-konflik, tetapi anti-kesia-siaan. Ia memahami bahwa keberanian tanpa kebijaksanaan adalah undangan bagi petaka. Ia juga paham bahwa menjaga diri adalah bagian dari menjaga amanah. Seni penca, pada akhirnya, bukan tentang menang di gelanggang, melainkan menang atas ego.
Karena itu, bagi siapa pun yang masih sering keluar malam, pesan saya sederhana: selalu hati-hati. Bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk saling menjaga. Kejahatan yang mulai ramai bukan panggung untuk pembuktian, melainkan sinyal untuk memperkuat solidaritas dan kewaspadaan. Pilih jalan yang aman, hindari situasi yang tak perlu, dan ingat bahwa pulang dengan selamat adalah kemenangan yang paling nyata.
Begitulah evolusi jiwa seorang pendekar. Dari kepalan yang siap menghantam, menuju genggaman yang memilih keselamatan. Dari ambisi menguji diri, menuju kebijaksanaan menjaga diri dan orang lain. Di titik ini, saya percaya: puncak ilmu bela diri bukan terletak pada seberapa keras kita bisa menyerang, melainkan seberapa bijak kita bisa menahan.
