Ketika Akunmu Diblokir Bukan Berarti Bersalah
Ketika Akunmu Diblokir Bukan Berarti Bersalah
Ditulis oleh: Kang Yana
Kalau akun kamu diblokir seseorang, belum tentu kamu salah. Kalimat ini terdengar sederhana, namun menyimpan makna yang dalam tentang relasi manusia, kejujuran, dan cara orang menghadapi kebenaran. Di era media sosial, pemblokiran sering dianggap sebagai tanda konflik, kesalahan, atau bahkan dosa sosial. Padahal, tidak selalu demikian. Bisa jadi, pemblokiran justru merupakan bentuk pelarian, cara paling mudah bagi seseorang untuk menyembunyikan kedok kebohongannya agar tidak terbaca oleh orang lain.
Tidak semua orang siap berhadapan dengan kejujuran. Ada yang memilih menjauh bukan karena benci, tetapi karena takut. Takut rahasianya terbuka, takut topengnya jatuh, atau takut citra yang selama ini dibangun runtuh seketika. Maka tombol “blokir” menjadi benteng pertahanan terakhir. Sekali ditekan, seolah masalah selesai. Padahal, yang dilakukan hanyalah menutup mata, bukan menyelesaikan persoalan.
Dalam kehidupan digital, seseorang bisa dengan mudah menampilkan versi terbaik dari dirinya. Senyum dipilih, kata disaring, cerita diedit sedemikian rupa agar tampak sempurna. Namun ada orang-orang tertentu yang mampu membaca celah. Bukan karena sok tahu, tetapi karena peka. Mereka membaca dari sikap, dari perubahan nada, dari kejanggalan yang tidak sinkron antara kata dan perbuatan. Ketika seseorang merasa “terbaca”, di situlah kepanikan muncul.
Pemblokiran sering kali bukan soal kamu terlalu kepo, terlalu jujur, atau terlalu banyak bertanya. Bisa jadi kamu hanya hadir sebagai cermin. Dan tidak semua orang sanggup bercermin lama-lama. Apalagi jika yang terlihat bukan wajah indah, melainkan retakan-retakan kecil yang selama ini disembunyikan. Daripada berbenah, sebagian orang memilih menghilangkan cerminnya.
Ada perbedaan besar antara menjaga jarak untuk kesehatan mental dan memblokir demi menutupi kebohongan. Yang pertama lahir dari kesadaran, yang kedua lahir dari ketakutan. Orang yang jujur tidak takut dibaca. Orang yang tulus tidak gelisah saat ditanya. Sebaliknya, orang yang hidup dalam kepalsuan akan selalu merasa terancam oleh kehadiran siapa pun yang kritis dan peka.
Ketika kamu diblokir, wajar jika muncul pertanyaan dalam hati: “Salahku di mana?” Namun jangan terlalu cepat menyalahkan diri sendiri. Tidak semua penolakan adalah refleksi dari kesalahan kita. Kadang itu adalah refleksi dari konflik batin orang lain. Mereka sedang berperang dengan diri sendiri, dan kamu hanya kebetulan berada di medan yang sama.
Dalam banyak kasus, orang memblokir bukan karena kamu menyerang, tetapi karena kamu tidak bisa dibohongi. Kamu mungkin tidak pernah menuduh, tidak pernah membuka aib, bahkan tidak pernah berkata kasar. Kamu hanya konsisten menjadi diri sendiri. Dan bagi sebagian orang, kejujuran yang tenang justru lebih menakutkan daripada serangan terbuka.
Hidup mengajarkan bahwa tidak semua hubungan harus dipertahankan. Ada yang pergi karena selesai, ada yang menghilang karena tidak sanggup melanjutkan sandiwara. Ketika seseorang memblokirmu tanpa penjelasan, mungkin itu caranya mengakhiri peran yang sudah terlalu melelahkan untuk dimainkan. Dan kamu tidak perlu memaksa mereka kembali jika itu berarti mereka harus terus berbohong.
Pemblokiran juga bisa menjadi tanda bahwa kamu telah naik kelas. Kedewasaan sering kali membuat kita tidak lagi cocok dengan kebisingan lama. Orang-orang yang dulu nyaman berbagi kepalsuan akan merasa asing dengan ketenangan dan kejelasan. Maka jarak pun tercipta, bukan karena kamu berubah menjadi buruk, tetapi karena kamu tumbuh.
Yang perlu kamu jaga adalah hati. Jangan biarkan satu tombol “blokir” membuatmu meragukan nilai dirimu sendiri. Jangan biarkan tindakan orang lain menentukan harga dirimu. Kamu tidak kehilangan apa pun yang sejati. Justru mungkin kamu sedang diselamatkan dari hubungan yang dibangun di atas kebohongan.
Jika kamu tetap memilih diam, itu bukan kekalahan. Diam kadang adalah bentuk kebijaksanaan tertinggi. Kamu tidak perlu membalas dengan drama, sindiran, atau pembenaran panjang. Kebenaran tidak selalu perlu diumumkan. Waktu akan melakukan tugasnya sendiri. Topeng yang dipakai terlalu lama pada akhirnya akan terasa sesak bagi pemakainya.
Ada satu hal yang perlu diingat: orang yang memblokirmu mungkin bisa menghapus keberadaanmu dari layar, tetapi tidak dari kenyataan. Kebenaran tidak ikut terblokir. Ia tetap hidup, bernafas, dan suatu saat akan menemukan jalannya sendiri. Entah melalui peristiwa, entah melalui orang lain, entah melalui kesadaran pelan-pelan yang datang saat sendirian.
Maka berdamailah dengan keadaan. Tidak semua orang yang pergi perlu dikejar, dan tidak semua yang menutup pintu perlu diketuk kembali. Fokuslah pada hidupmu, pada pertumbuhanmu, pada kejujuran yang kamu jaga. Itu jauh lebih berharga daripada validasi siapa pun di dunia maya.
Jika suatu hari kamu dibuka kembali, bersikaplah biasa. Jangan sombong, jangan dendam. Jika tidak pernah dibuka kembali, itu pun tidak apa-apa. Hidup tidak berhenti hanya karena satu hubungan terputus. Justru sering kali, ruang kosong itu memberi tempat bagi hal-hal yang lebih sehat dan lebih jujur untuk masuk.
Pada akhirnya, pemblokiran hanyalah simbol. Yang lebih penting adalah pelajaran di baliknya. Bahwa menjadi jujur memang tidak selalu membuat kita disukai, tetapi selalu membuat kita tenang. Bahwa tidak semua orang yang menjauh adalah musuh, sebagian hanya belum siap berteman dengan kebenaran.
Jadi, kalau akun kamu diblokir seseorang, jangan buru-buru merasa bersalah. Bisa jadi kamu hanya terlalu terang bagi mereka yang memilih hidup dalam bayangan. Tetaplah menjadi dirimu sendiri. Sebab hidup yang jujur mungkin sepi, tetapi tidak pernah palsu.
