Ads

Ketika Umpatan Menggantikan Argumen: Cermin Buram Budaya Diskursus Kita

Ketika Umpatan Menggantikan Argumen: Cermin Buram Budaya Diskursus Kita

Oleh: Akang Marta



Kalimat “boca koplak ra ngerti apa-apa kunuh.. kon ngapus aja kosi di grudug” mungkin terdengar sepele bagi sebagian orang. Ia sering meluncur begitu saja di kolom komentar media sosial, di grup percakapan, atau dalam perdebatan daring yang memanas. Namun di balik kesan spontan dan emosional itu, tersimpan persoalan yang jauh lebih dalam tentang cara kita berkomunikasi, menyikapi perbedaan, dan merawat ruang publik bersama.

Ungkapan tersebut, jika ditarik ke makna dasarnya, bukan sekadar kritik, melainkan penghinaan. Ia meniadakan ruang dialog, menutup kemungkinan klarifikasi, dan langsung memberi label kebodohan pada pihak lain. Inilah problem utama diskursus kita hari ini: perbedaan pendapat tidak lagi dihadapi dengan argumen, melainkan dengan umpatan.

Fenomena ini bukan muncul dari ruang hampa. Media sosial, dengan segala kecepatannya, telah mengubah cara manusia bereaksi. Orang tidak lagi punya waktu—or maybe kemauan—untuk berpikir jernih. Ketika emosi tersulut, jari lebih cepat bergerak daripada akal sehat. Maka lahirlah komentar-komentar kasar, sinis, dan merendahkan. Yang penting meluapkan emosi, bukan mencari kebenaran.

Masalahnya, ketika umpatan menjadi kebiasaan, ia perlahan dinormalisasi. Kalimat seperti “ra ngerti apa-apa” tidak lagi dipandang sebagai bentuk kekerasan verbal, tetapi dianggap ekspresi biasa. Padahal, kekerasan verbal memiliki dampak serius. Ia melukai martabat, menciptakan ketakutan, dan membangun tembok tebal antara “aku” dan “kamu”. Diskusi pun mati sebelum sempat hidup.

Lebih jauh, bahasa kasar sering kali menjadi jalan pintas bagi kemalasan berpikir. Daripada menyusun argumen, membaca konteks, atau memahami sudut pandang lain, seseorang memilih memaki. Ini bukan soal tidak mampu, melainkan tidak mau. Umpatan menjadi pengganti nalar. Dan ketika nalar ditinggalkan, yang tersisa hanyalah kebisingan.

Ironisnya, mereka yang paling keras berteriak “bodoh” sering kali enggan bercermin. Kritik memang perlu, tetapi kritik yang tidak disertai penjelasan hanya akan terdengar seperti teriakan kosong. Dalam ruang demokrasi, kebebasan berpendapat bukan berarti bebas menghina. Kebebasan berbicara selalu datang beriringan dengan tanggung jawab moral.

Ungkapan seperti “hapus saja kosmu di-grudug” juga mengandung ancaman simbolik. Ia bukan hanya merendahkan secara intelektual, tetapi juga mengintimidasi. Ini berbahaya, karena bahasa ancaman—sekecil apa pun—bisa menciptakan rasa takut. Orang menjadi enggan bersuara, bukan karena salah, tetapi karena tidak ingin menjadi sasaran caci maki. Di titik inilah ruang publik menjadi tidak sehat.

Kita perlu jujur mengakui bahwa budaya debat kita sedang sakit. Perbedaan pendapat dianggap serangan pribadi. Kritik dipahami sebagai permusuhan. Padahal, dalam masyarakat yang dewasa, perbedaan adalah keniscayaan. Tidak semua orang harus sepakat, tetapi semua orang berhak dihormati.

Bahasa adalah cermin cara berpikir. Ketika bahasa yang digunakan penuh amarah dan penghinaan, itu menandakan kegagalan kita mengelola emosi dan logika. Ini bukan soal kelas sosial, pendidikan, atau latar belakang budaya. Siapa pun bisa terjebak dalam pola ini jika tidak ada kesadaran untuk menahan diri.

Sebagian orang mungkin beralasan, “Ini cuma bercanda,” atau “Namanya juga emosi.” Namun bercanda yang merendahkan bukan lagi humor, melainkan agresi yang disamarkan. Emosi pun bukan pembenaran untuk melukai orang lain. Justru kedewasaan seseorang diuji saat ia mampu mengendalikan emosi di tengah perbedaan.

Jika kita tarik lebih luas, budaya umpatan ini berdampak langsung pada kualitas demokrasi. Demokrasi membutuhkan warga yang mau berdialog, mendengar, dan mengoreksi. Ketika diskursus dipenuhi makian, yang terjadi bukan pertukaran gagasan, melainkan adu ego. Yang paling keras bukan yang paling benar, tetapi yang paling tidak sabar.

Anak muda yang menyaksikan pola ini akan belajar satu hal: untuk didengar, kamu harus kasar. Ini warisan yang berbahaya. Kita sedang mencetak generasi yang percaya bahwa kekuatan terletak pada hinaan, bukan argumen. Padahal, perubahan sosial selalu lahir dari ide, bukan dari umpatan.

Bukan berarti kita harus selalu lembut dan manis. Kritik boleh tajam, bahkan keras. Namun keras tidak sama dengan kasar. Tajam tidak identik dengan menghina. Kritik yang kuat justru berdiri di atas data, logika, dan empati. Ia menusuk persoalan, bukan merendahkan orangnya.

Mengubah budaya ini memang tidak mudah. Ia membutuhkan keteladanan, kesabaran, dan kemauan untuk belajar. Kita perlu membiasakan diri bertanya sebelum mengumpat: apa yang sebenarnya ingin saya sampaikan? Apakah ini membantu atau justru memperkeruh? Apakah saya menyerang gagasan, atau menyerang manusia?

Ruang publik—baik daring maupun luring—adalah milik bersama. Menjaganya tetap sehat adalah tanggung jawab kolektif. Setiap kata yang kita ucapkan atau ketik berkontribusi membentuk iklim diskusi. Kita bisa memilih menjadi bagian dari solusi, atau memperparah masalah.

Pada akhirnya, kalimat kasar seperti “boca koplak ra ngerti apa-apa” mungkin memberi kepuasan sesaat bagi yang mengucapkannya. Namun ia tidak menyelesaikan apa pun. Ia tidak membuat lawan bicara lebih paham, tidak memperbaiki keadaan, dan tidak membuat kita lebih bijak. Yang ia lakukan hanyalah menambah daftar panjang kebisingan.

Jika kita ingin masyarakat yang lebih adil, demokratis, dan beradab, maka perubahan harus dimulai dari hal paling dasar: cara kita berbicara. Mengganti umpatan dengan argumen, mengganti hinaan dengan penjelasan, dan mengganti amarah dengan nalar. Karena dari situlah peradaban dibangun—bukan dari teriakan, tetapi dari percakapan yang bermakna.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel