Menakar Keadilan di Penghujung Tahun: PP 49/2025 dan Ujian Keberpihakan Gubernur terhadap Nasib Buruh
Menakar Keadilan di Penghujung Tahun: PP 49/2025 dan Ujian Keberpihakan Gubernur terhadap Nasib Buruh
Ditulis oleh: Akang Marta
Desember 2025 menjadi bulan yang penuh dengan ketegangan sosiopolitik di Indonesia. Di tengah persiapan masyarakat menyambut pergantian tahun, jutaan pasang mata tertuju pada kantor-kantor gubernur di seluruh tanah air. Isunya tunggal namun krusial: penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk tahun 2026. Lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan, yang baru saja disahkan, ternyata belum menjadi "obat penawar" yang memuaskan bagi semua pihak. Sebaliknya, ia menjadi panggung baru bagi Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan elemen buruh lainnya untuk menguji sejauh mana pemerintah daerah berani berpihak pada kesejahteraan rakyatnya di tengah himpitan regulasi pusat.
Eskalasi Gerakan Buruh: Lebih dari Sekadar Demonstrasi
Rencana demonstrasi maraton yang dipimpin oleh Presiden KSPI, Said Iqbal, mulai tanggal 23 hingga 30 Desember 2025, bukan sekadar ritual tahunan. Ini adalah manifestasi dari kegelisahan mendalam terhadap formula pengupahan yang dianggap belum mencerminkan realitas kebutuhan hidup di lapangan. Keputusan buruh untuk mengalihkan fokus aksi dari Istana Negara ke kantor-kantor gubernur menunjukkan pergeseran strategi yang cerdas namun penuh tekanan. Buruh ingin menegaskan bahwa meski ada PP 49/2025 yang bersifat nasional, peran Gubernur sebagai representasi negara di daerah tetap memiliki ruang diskresi moral untuk menentukan nasib ekonomi jutaan keluarganya.
Tuntutan penggunaan indeks alfa sebesar 0,9 bukan muncul dari ruang hampa. Angka ini mewakili harapan buruh agar pertumbuhan ekonomi tidak hanya dinikmati oleh pemilik modal, tetapi juga terdistribusi secara nyata ke dalam dompet para pekerja. Indeks alfa dalam rumus pengupahan adalah variabel krusial yang menentukan seberapa besar kontribusi tenaga kerja dihargai dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan menuntut alfa 0,9, buruh sedang mengirimkan pesan bahwa mereka tidak ingin lagi menjadi "pelengkap penderita" dalam statistik kemajuan ekonomi.
Jakarta sebagai Episentrum Pertarungan Simbolis
DKI Jakarta, sebagai wajah ekonomi Indonesia, menjadi medan tempur paling sengit dalam dialektika pengupahan ini. Angka Rp5.898.511 yang diusulkan KSPI berdasarkan perhitungan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) adalah sebuah tuntutan yang sangat rasional jika melihat inflasi pangan dan biaya transportasi di ibu kota yang kian melambung. Namun, realitas di meja perundingan menunjukkan kebuntuan yang klasik.
Sidang Dewan Pengupahan DKI Jakarta yang berlarut-larut hingga malam hari mencerminkan tarik-menarik kepentingan yang tajam. Di satu sisi, pengusaha melalui Apindo menawarkan angka Rp5.675.585 (alfa 0,55), sebuah angka yang bagi buruh dianggap sebagai "upah bertahan hidup", bukan "upah layak". Di sisi lain, Pemprov DKI mencoba mengambil jalan tengah dengan angka Rp5.729.876 (alfa 0,75). Jarak sekitar 160 ribu rupiah antara usulan pemerintah dan buruh mungkin terlihat kecil di atas kertas, namun bagi seorang pekerja dengan upah minimum, angka itu adalah selisih antara mampu membeli susu anak atau harus memotong jatah makan harian.
Dilema Pramono Anung: Antara Regulasi dan Keadilan Sosial
Pj Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung Wibowo, kini berada di persimpangan jalan yang menentukan warisan kepemimpinannya. Janjinya untuk bersikap adil terhadap pengusaha maupun buruh adalah sebuah pernyataan politik yang diplomatis, namun eksekusinya di bawah bayang-bayang PP 49/2025 adalah tantangan yang nyata.
PP 49/2025 hadir dengan maksud memberikan kepastian hukum dan standarisasi nasional. Namun, publik bertanya-tanya: apakah standarisasi ini akan menyeret semua daerah ke batas bawah yang seragam, atau justru menjadi instrumen untuk mengangkat derajat hidup buruh? Jika Gubernur hanya sekadar menjadi "stempel" bagi formula yang kaku dari pusat tanpa mempertimbangkan KHL Jakarta yang unik, maka kepercayaan publik terhadap otonomi daerah dalam melindungi warga akan luntur. Pramono harus membuktikan bahwa "sikap adil" bukan berarti membagi beban secara rata, melainkan memastikan bahwa pihak yang paling rentan—yakni buruh—tidak semakin terperosok dalam kemiskinan struktural.
Analisis Kesenjangan: Mengapa Alfa 0,9 Menjadi Harga Mati?
Ketimpangan usulan antara pengusaha (0,55), pemerintah (0,75), dan buruh (0,9) menunjukkan adanya perbedaan fundamental dalam memandang tenaga kerja. Sektor pengusaha cenderung melihat upah sebagai komponen biaya produksi yang harus ditekan demi daya saing. Sebaliknya, buruh melihat upah sebagai instrumen utama konsumsi domestik yang menggerakkan roda ekonomi nasional.
Jika pemerintah daerah akhirnya menetapkan upah dengan indeks alfa yang rendah, maka daya beli masyarakat akan tergerus. Ekonomi Indonesia yang sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga akan terkena dampak jangka panjang. Buruh yang sejahtera akan berbelanja, dan belanja tersebut akan menghidupkan UMKM serta sektor ritel lainnya. Oleh karena itu, tuntutan KSPI sebenarnya memiliki landasan ekonomi makro yang kuat; menaikkan upah secara layak adalah investasi bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, bukan sekadar beban biaya.
Kritik Terhadap PP 49/2025: Kepastian untuk Siapa?
Penerbitan PP 49/2025 oleh Menteri Ketenagakerjaan seharusnya menjadi solusi atas kegaduhan pengupahan di tahun-tahun sebelumnya. Namun, ancaman aksi dari 38 provinsi membuktikan bahwa regulasi ini masih menyimpan lubang-lubang ketidakadilan. Kritik publik sering kali tertuju pada bagaimana regulasi pusat sering kali gagal menangkap dinamika mikro di daerah. Aceh dan Papua Pegunungan yang belum mengumumkan UMP hingga mendekati jatuh tempo adalah sinyal bahwa "standarisasi nasional" tersebut sulit diaplikasikan di wilayah dengan karakteristik ekonomi dan logistik yang ekstrem.
Demonstrasi sepekan yang direncanakan buruh adalah sebuah bentuk pengawasan publik terhadap pelaksanaan PP ini. Masyarakat sipil harus melihat ini bukan sebagai gangguan ketertiban umum, melainkan sebagai mekanisme "check and balances" dalam demokrasi ekonomi. Tanpa tekanan dari jalanan, penguasa cenderung memilih jalan yang paling sedikit resistensinya, yang biasanya berpihak pada stabilitas investasi jangka pendek daripada kesejahteraan sosial jangka panjang.
Momentum Ujian Kepemimpinan Nasional
Tahun 2026 akan menjadi tahun yang berat jika pondasi pengupahannya rapuh. Pengumuman UMP pada 24 Desember 2025 bukan sekadar pengumuman angka, melainkan pernyataan sikap tentang siapa yang sebenarnya dilindungi oleh negara. Apakah PP 49/2025 akan diingat sebagai aturan yang membawa keadilan, atau justru sebagai simbol pengabdian negara pada kepentingan modal?
Gubernur di seluruh Indonesia, khususnya di DKI Jakarta, memegang kunci untuk meredam gejolak sosial ini. Dengan mengakomodasi tuntutan buruh yang berbasis pada Kebutuhan Hidup Layak, pemerintah daerah sebenarnya sedang memitigasi risiko kerusuhan sosial dan kemiskinan di masa depan. Rakyat sedang memantau: apakah para pemimpin daerah ini adalah pemimpin yang bernyali untuk membela perut rakyatnya, atau hanya sekadar administrator yang tunduk pada teknokrasi pusat yang kering akan empati?
Seminggu ke depan akan menjadi catatan sejarah penting. Aksi KSPI di 38 provinsi akan menjadi barometer seberapa kuat solidaritas kelas pekerja Indonesia saat ini. Di sisi lain, respons para gubernur akan menjadi cerminan seberapa tulus janji-janji kampanye mereka untuk menyejahterakan rakyat kecil. Di atas semua angka-angka alfa dan nominal rupiah, yang dipertaruhkan adalah martabat kemanusiaan para pekerja Indonesia yang menjadi tulang punggung bangsa ini.
