Ads

Kolom Wali Murid dan Demokrasi Sehari-hari: Tempat Protes yang Sering Terlupa


Kolom Wali Murid dan Demokrasi Sehari-hari: Tempat Protes yang Sering Terlupa

Ditulis oleh: Akang Marta


“Protes bae bari, gah tinggal nulis ning kolom wali murid kuh. Protes mah ning DPR kah gunae apa coba?” Kalimat ini terdengar ceplas-ceplos, bahkan terkesan guyon. Namun di balik keluguannya, tersimpan kritik sosial yang tajam dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Ia berbicara tentang arah protes, tentang sasaran keluhan, dan tentang betapa seringnya kita salah alamat ketika menyuarakan ketidakpuasan.

Dalam kehidupan bernegara, DPR sering diposisikan sebagai simbol tempat menyampaikan aspirasi. Namun bagi sebagian besar rakyat kecil, DPR terasa jauh, tinggi, dan asing. Sementara persoalan yang kita hadapi justru sangat dekat: sekolah anak, lingkungan sekitar, pelayanan publik harian. Ironisnya, hal-hal yang dekat ini justru sering tidak diselesaikan di ruang yang tepat.

Ambil contoh sederhana: masalah pendidikan anak. Ketika orang tua merasa tidak puas—entah soal nilai, metode belajar, atau sikap guru—yang pertama kali muncul sering kali bukan dialog, melainkan keluhan yang melebar. Kadang ditulis panjang di media sosial, kadang dibicarakan ke sana kemari, bahkan kadang diseret ke isu besar seolah-olah sistem pendidikan nasional yang salah. Padahal, di rapot anak ada kolom wali murid yang disediakan khusus untuk menyampaikan catatan, masukan, dan keberatan.

Kolom itu sering kosong. Bukan karena tidak ada masalah, tetapi karena jarang dimanfaatkan. Orang tua lebih memilih protes di luar ruang yang semestinya. Seolah menulis di kolom wali murid itu tidak penting, tidak bergengsi, atau tidak akan didengar. Padahal justru di situlah komunikasi paling efektif bisa dimulai.

Protes yang tepat sasaran adalah bentuk kecerdasan sosial. Tidak semua masalah harus dibawa ke level tertinggi. Tidak semua keluhan harus dibesarkan. Ada masalah yang cukup diselesaikan dengan dialog sederhana, dengan bahasa yang sopan, dan dengan niat mencari solusi, bukan mencari menang.

Kolom wali murid bukan sekadar formalitas administrasi. Ia adalah ruang demokrasi paling dasar dalam dunia pendidikan. Di sana orang tua bisa menyampaikan pandangan, harapan, bahkan kritik, tanpa harus melukai siapa pun. Guru membaca, sekolah mencatat, dan komunikasi pun terbangun. Sayangnya, ruang kecil ini sering diabaikan.

Ketika orang tua memilih protes ke tempat yang jauh—ke media sosial, ke grup WhatsApp yang panas, bahkan ke isu-isu politik besar—yang terjadi sering kali bukan penyelesaian, melainkan keributan. Masalah kecil menjadi besar. Emosi mengalahkan akal. Anak yang seharusnya dilindungi justru terjebak di tengah konflik orang dewasa.

Pertanyaan “Protes mah ning DPR kah gunae apa?” sebenarnya menyentil kebiasaan kita yang gemar menyalahkan sistem besar, tetapi malas membenahi hal-hal kecil di sekitar. Kita ingin perubahan, tetapi enggan memulai dari ruang yang tersedia. Kita ingin didengar, tetapi tidak mau berbicara di tempat yang tepat.

DPR memang punya fungsi besar dalam negara. Namun tidak semua masalah hidup harus dibawa ke sana. Jika anak kesulitan membaca, itu bukan urusan DPR. Jika tulisan anak belum rapi, itu bukan isu nasional. Jika komunikasi guru dan orang tua tersendat, itu bukan konspirasi negara. Itu persoalan mikro yang butuh pendekatan mikro pula.

Budaya protes yang sehat bukan tentang seberapa keras suara kita, tetapi seberapa tepat arah suara itu. Protes yang salah alamat hanya akan melelahkan semua pihak. Guru merasa diserang, orang tua merasa tidak didengar, dan anak menjadi korban ketegangan.

Menulis di kolom wali murid memang tidak viral. Tidak ada like, tidak ada komentar, tidak ada sorotan. Tapi justru di situlah nilainya. Ia sunyi, tetapi bermakna. Ia sederhana, tetapi berdampak. Dari sanalah perbaikan nyata bisa dimulai.

Sering kali, orang tua merasa sungkan atau ragu menulis. Takut dianggap cerewet, takut salah kata, atau takut menyinggung. Padahal, selama disampaikan dengan niat baik dan bahasa yang beradab, masukan orang tua justru sangat dibutuhkan. Guru bukan orang yang anti-kritik. Yang mereka harapkan hanyalah kritik yang membangun, bukan yang menghakimi.

Protes tidak harus marah. Kritik tidak harus kasar. Aspirasi tidak harus disampaikan dengan emosi. Justru protes yang tenang, jelas, dan tepat sasaran sering kali lebih didengar dan lebih dihargai.

Ketika kita terbiasa menyelesaikan masalah di ruang yang tepat, kita sedang mendidik anak tentang cara berdemokrasi yang sehat. Anak belajar bahwa masalah tidak diselesaikan dengan teriak, tetapi dengan dialog. Tidak dengan menyebar kemarahan, tetapi dengan menyampaikan pendapat secara bertanggung jawab.

Bayangkan jika setiap orang tua memanfaatkan kolom wali murid dengan baik. Sekolah akan memiliki banyak masukan nyata. Guru akan lebih memahami harapan orang tua. Dan anak akan tumbuh dalam lingkungan yang komunikatif, bukan penuh prasangka.

Sebaliknya, jika semua keluhan dibawa ke ruang yang salah, ke tempat yang jauh dari substansi, maka yang terjadi hanyalah kebisingan. Masalah tetap ada, tetapi solusi tidak pernah sampai.

Ungkapan sederhana itu sejatinya adalah ajakan untuk kembali ke akal sehat. Proteslah, tapi di tempat yang benar. Sampaikan keberatan, tapi dengan cara yang bijak. Jangan lompat terlalu jauh, jika yang dekat saja belum diselesaikan.

Karena perubahan besar selalu dimulai dari ruang kecil. Dari kolom wali murid yang sering kita abaikan. Dari percakapan sederhana yang sering kita hindari. Dari keberanian untuk berbicara langsung, bukan berteriak dari kejauhan.

Pada akhirnya, demokrasi bukan hanya urusan gedung parlemen. Demokrasi hidup di rumah, di sekolah, di lingkungan sehari-hari. Dan jika ruang kecil itu kita rawat dengan baik, mungkin kita tidak perlu terlalu sering bertanya: protes ke DPR itu gunanya apa.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel