Ads

Ketika Tawa Bertemu Duka: Panggung Paling Sunyi dalam Hidup Mongol

Ketika Tawa Bertemu Duka: Panggung Paling Sunyi dalam Hidup Mongol

Ditulis oleh: Akang Marta



Banyak orang mengira puncak keberanian seorang komika adalah tampil di depan Presiden, pejabat tinggi, atau ribuan penonton di stadion. Lampu terang, kamera menyorot, dan satu kesalahan bisa jadi headline. Tapi bagi Mongol, itu semua belum ada apa-apanya. Keberanian paling ekstrem dalam hidupnya bukanlah stand up di istana, melainkan stand up di rumah duka. Di hadapan jenazah. Di tengah tangis keluarga. Di situ, mikrofon terasa lebih berat dari biasanya.

Bayangkan suasananya. Orang-orang berpakaian hitam, wajah muram, isak tangis terdengar dari sudut ruangan. Aroma bunga bercampur kesedihan. Mongol duduk dengan kepala penuh tanda tanya, ketika tiba-tiba MC berdiri dan berkata dengan suara lantang, “Baik hadirin sekalian, sebelum acara dilanjutkan, mari kita dengarkan stand up komedi dari Mongol.” Saat itu juga, dunia seperti berhenti sebentar.

Di kepala Mongol, semua logika berantakan. Ia menoleh ke kiri, ke kanan, memastikan tidak salah dengar. Ini rumah duka, bukan kafe. Ini pemakaman, bukan open mic. Di depan ada peti mati, bukan meja penonton. Mongol sempat berpikir, “Ini orang mati nggak bisa lapor polisi sih…” tapi yang hidup? Itu urusan lain.

Hatinya bimbang. Naluri kemanusiaan berteriak: ini tidak pantas. Tapi naluri profesional komika berbisik: ini panggung. Mongol sudah hampir menolak dengan sopan ketika satu kalimat sakti meluncur pelan, nyaris seperti wahyu duniawi: “Tenang Bang, nanti ditransfer.” Seketika iman Mongol naik level. Bukan iman surgawi, tapi iman finansial.

Angkanya disebut. Sepuluh menit. Empat puluh juta. Dalam hitungan detik, Mongol melakukan perhitungan batin paling cepat sepanjang hidupnya. Dosa sosial versus cicilan hidup. Etika versus saldo rekening. Akhirnya ia menarik napas panjang. Sepuluh menit saja, katanya dalam hati. Sepuluh menit bisa mengubah banyak hal.

Mongol naik ke depan. Mikrofon di tangan. Tatapan hadirin menancap tajam. Tidak ada yang siap tertawa, termasuk dirinya sendiri. Ia membuka materi dengan sangat hati-hati, memilih humor yang absurd tapi lembut, tidak menyinggung jenazah, tidak menyentuh keluarga. Tawa kecil mulai terdengar. Bukan tawa lepas, tapi tawa terpaksa, seperti orang yang lupa sebentar bahwa mereka sedang berduka.

Anehnya, suasana perlahan mencair. Tangis tidak berhenti, tapi ada jeda. Ada ruang napas. Mongol sadar, di situ ia tidak sedang melucu untuk lucu, tapi memberi sela di antara kesedihan. Sepuluh menit berlalu lebih cepat dari yang ia bayangkan. Tepuk tangan terdengar, pelan tapi tulus. Mongol turun panggung dengan perasaan campur aduk: lega, bingung, dan sedikit bersalah.

Ia pikir tugasnya selesai di situ. Ternyata belum. Keluarga meminta Mongol ikut ambulans menuju pemakaman. Mongol mengangguk, masih setengah tidak percaya pada hidup. Ia naik ambulans. Di belakang: peti mati. Di samping: Mongol dengan tas kecil. Di depan: sopir yang wajahnya bingung, mungkin bertanya-tanya kenapa perjalanan terakhir seseorang ditemani komika.

Ambulans melaju perlahan. Sirene tidak dinyalakan. Mongol duduk diam, menatap lurus. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merenung tentang profesinya. Stand up yang biasanya penuh tawa, kini bertemu langsung dengan kematian. Dua kutub paling ekstrem dalam hidup manusia. Tertawa dan berakhir.

Di dalam ambulans itu, Mongol menyadari satu hal penting. Humor bukan hanya tentang hiburan. Kadang ia hadir sebagai penyangga jiwa. Sebagai jeda kecil agar manusia tidak runtuh sepenuhnya. Bahkan di rumah duka, tawa bisa punya tempat, selama niatnya bukan mengejek, tapi menemani.

Ketika ambulans berhenti dan Mongol turun, transfer benar-benar masuk. Real. Nyata. Tapi yang tertinggal bukan hanya uang. Ada cerita yang tidak akan pernah ia ulangi sembarangan. Ada pengalaman yang hanya bisa dipahami oleh orang yang pernah berdiri di panggung paling sunyi di dunia.

Sejak hari itu, Mongol tidak lagi mengukur keberanian dari siapa yang duduk di kursi penonton. Bukan Presiden, bukan pejabat. Tapi seberapa sunyi ruangan itu, dan seberapa berat tawa yang harus dikeluarkan. Karena kadang, stand up paling berani bukan yang paling keras, tapi yang paling tidak pada tempatnya—namun tetap dibutuhkan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel