Ads

Kerja Intelektual: Ketika Ibadah, Akal, dan Martabat Manusia Bertemu

Kerja Intelektual: Ketika Ibadah, Akal, dan Martabat Manusia Bertemu

Oleh: Akang Marta



Dalam tradisi keilmuan Islam, kisah para wali dan ulama bukan sekadar cerita spiritual yang berhenti di ruang ibadah. Ia sering kali justru menjadi cermin tajam untuk membaca realitas sosial, ekonomi, dan budaya manusia. Salah satu kisah yang relevan sepanjang zaman adalah dialog antara seorang Waliyullah besar, Abu Hasan Asy-Syadzili, dengan para santrinya. Sebuah dialog sederhana, tetapi mengandung pesan mendalam tentang makna ibadah, kecerdasan, dan kerja intelektual.

Ketika para santri bertanya mengapa sang syekh tidak memperpanjang wirid selepas sholat, tidak memutar tasbih seperti mereka, lalu pergi begitu saja, Abu Hasan Asy-Syadzili menjawab dengan kalimat yang singkat namun mengguncang kesadaran: “Ibadatul quluub khoirun min ibadatil jawarikh”—ibadah hati lebih utama daripada ibadah fisik. Pernyataan ini bukan merendahkan wirid atau amalan lahiriah, melainkan meluruskan cara pandang tentang esensi ibadah itu sendiri.

Ibadah hati adalah kesadaran, keikhlasan, kejernihan niat, dan kehadiran akal dalam setiap tindakan. Ia tidak selalu tampak, tidak selalu terdengar, dan sering kali tidak bisa dipamerkan. Namun justru di situlah letak nilainya. Dalam konteks ini, Abu Hasan Asy-Syadzili mengajarkan bahwa spiritualitas sejati tidak berhenti pada gerakan tubuh, tetapi hidup dalam kesadaran intelektual dan kedalaman batin.

Menariknya, pesan ini sejatinya sangat relevan dengan logika dunia modern. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menyaksikan bagaimana kerja intelektual memiliki nilai ekonomi dan sosial yang jauh lebih tinggi dibanding kerja fisik semata. Buruh bangunan yang mencangkul, mengangkat semen, dan bekerja dari pagi hingga sore, sering kali hanya digaji sekitar delapan puluh hingga seratus ribu rupiah per hari. Sementara seorang komisaris perusahaan, yang mungkin hanya hadir seminggu sekali, mendapatkan bayaran yang berkali-kali lipat.

Realitas ini kerap dipersepsikan sebagai ketidakadilan sosial. Namun jika ditarik lebih dalam, ada satu pesan penting yang sering terlewat: dunia menghargai kerja otak, keputusan strategis, dan tanggung jawab intelektual. Bukan semata soal duduk santai atau bekerja sebentar, tetapi tentang nilai pikiran yang digunakan untuk menggerakkan sistem, membuat kebijakan, dan menanggung risiko besar.

Sayangnya, dalam masyarakat kita, kerja intelektual sering kali disalahpahami. Banyak orang mengira berpikir adalah pekerjaan ringan, bahkan dianggap “tidak kerja”. Anak muda yang membaca, berdiskusi, atau menulis sering dicap “kebanyakan teori”. Sebaliknya, kerja fisik dipandang lebih mulia karena terlihat berkeringat. Padahal, Islam sendiri sejak awal memuliakan ilmu, akal, dan pemikiran. Wahyu pertama yang turun bukan perintah bekerja dengan tangan, melainkan perintah membaca: Iqra’.

Kerja intelektual bukan berarti menafikan kerja fisik. Keduanya saling melengkapi. Namun masalah muncul ketika kerja fisik tidak diiringi upaya peningkatan kecerdasan. Seseorang bisa mencangkul sawah seumur hidup, tetapi jika tidak pernah belajar, berpikir, dan berinovasi, maka ia akan tetap berada pada posisi yang sama. Di sinilah pesan Abu Hasan Asy-Syadzili menjadi relevan: kualitas batin dan akal menentukan kualitas hidup.

Dalam konteks ibadah, kerja intelektual berarti memahami makna sholat, bukan sekadar menghafal bacaan. Memahami nilai puasa, bukan sekadar menahan lapar. Memahami zakat, bukan sekadar menggugurkan kewajiban. Ketika ibadah dilakukan dengan kesadaran intelektual, maka ia melahirkan etika sosial, kejujuran, dan tanggung jawab. Sebaliknya, ibadah fisik tanpa pemahaman sering kali berhenti sebagai ritual kosong.

Dalam dunia kerja, logika yang sama berlaku. Mereka yang dibayar mahal bukan karena ototnya kuat, tetapi karena pikirannya bernilai. Keputusan yang salah dari seorang intelektual bisa merugikan banyak orang. Karena itu, bayarannya tinggi. Di sinilah masyarakat perlu jujur pada diri sendiri: jika ingin hidup lebih baik, maka investasi terbesar adalah pada kecerdasan, bukan semata tenaga.

Sayangnya, sistem pendidikan kita sering kali gagal menanamkan kesadaran ini. Sekolah masih terlalu fokus pada hafalan, bukan pada daya pikir. Banyak lulusan pintar secara administratif, tetapi miskin nalar kritis. Akibatnya, mereka sulit bersaing di dunia yang menghargai ide, inovasi, dan solusi. Kerja intelektual tidak tumbuh dari kepatuhan membuta, tetapi dari keberanian berpikir.

Pesan “kalau ingin bayarannya besar, ya harus pinter, harus cerdas” bukan ajakan elitis, melainkan panggilan kesadaran. Cerdas bukan berarti harus bergelar tinggi, tetapi mau belajar, mau berpikir, dan mau memperbaiki diri. Cerdas adalah sikap mental, bukan semata status sosial.

Lebih jauh, kerja intelektual juga memiliki dimensi moral. Akal yang tidak dibimbing hati bisa melahirkan keserakahan. Karena itu, Abu Hasan Asy-Syadzili menekankan ibadah hati. Kerja otak harus disertai keikhlasan dan tanggung jawab. Tanpa itu, kecerdasan bisa berubah menjadi alat penindasan.

Dalam konteks bangsa, kita membutuhkan lebih banyak kerja intelektual yang jujur. Bukan intelektual pesanan, bukan pemikir bayaran, tetapi mereka yang menggunakan akalnya untuk kepentingan publik. Negara yang maju bukan negara dengan tenaga kerja murah, tetapi negara dengan warga yang berpikir.

Akhirnya, kisah sederhana tentang wirid dan tasbih ini mengajarkan kita satu hal penting: kualitas hidup, baik spiritual maupun material, ditentukan oleh kedalaman kesadaran. Ibadah hati melahirkan kejernihan akal. Kerja intelektual melahirkan martabat. Dan ketika keduanya bersatu, manusia tidak hanya hidup untuk bertahan, tetapi untuk memberi makna.

Karena pada akhirnya, dunia dan akhirat sama-sama menghargai satu hal: manusia yang berpikir.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel