Ads

Syarifah Badrun dari Cempaka

 

Syarifah Badrun dari Cempaka

Jejak Sunyi Seorang Perempuan yang Menjadi Tanda

Ditulis oleh: Akang Marta


Tanah Cempaka dan Bisikan Sejarah

Di tanah Cempaka, Banjarbaru, hidup seorang perempuan yang namanya tidak tercatat dalam kitab-kitab besar. Ia tidak pernah berdiri di mimbar, tidak pula memimpin majelis ilmu. Namun kisah hidupnya menembus batas logika dan rasionalitas biasa. Namanya beredar dari mulut ke mulut, dari warung ke surau, dari pasar ke rumah duka. Perempuan itu dikenal sebagai Syarifah Badrun.

Cempaka bukan sekadar wilayah geografis, melainkan ruang kultural yang menyimpan lapisan sejarah panjang. Tanah ini dikenal sebagai daerah pendulangan intan yang telah hidup sejak berabad-abad lalu. Tradisi, mistisisme, dan kerja keras menyatu dalam denyut kehidupan warganya. Di tengah ruang sosial seperti itulah Syarifah Badrun tumbuh dan menjalani hidupnya. Ia lahir, hidup, dan wafat di tanah yang sama.

Tidak ada catatan tertulis tentang tanggal kelahirannya. Sejarah hidupnya tidak disusun melalui arsip resmi atau dokumen negara. Kisahnya bertahan melalui ingatan kolektif masyarakat. Justru karena itu, narasi tentang dirinya terasa hidup dan terus bergerak. Ia menjadi cerita yang selalu diperbarui oleh pengalaman orang-orang.

Syarifah Badrun bukan tokoh publik dalam pengertian modern. Ia tidak mencari pengaruh, apalagi kekuasaan. Kehadirannya justru terasa dalam kesenyapan. Dari kesenyapan itulah, masyarakat mulai memberi makna. Dari sanalah, sebuah nama perlahan menjadi tanda.

Nasab yang Mengalir Sunyi

Syarifah Badrun lahir dari nasab yang oleh umat Islam dianggap mulia. Ia merupakan keturunan Nabi Muhammad ï·º dari jalur Hasan bin Ali. Dalam silsilah keluarganya, ia berada pada generasi ke-35 dari Rasulullah. Nasab ini tidak ia jadikan kebanggaan sosial. Ia menjalani hidup sebagaimana warga kampung lainnya.

Pada generasi ke-22 dalam silsilah keluarganya, tercatat nama Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Ulama besar sufi itu dikenal sebagai pendiri Tarekat Qadiriyah. Dengan demikian, Syarifah Badrun tumbuh dalam dua tradisi yang beririsan. Lingkungan habaib dan tradisi tasawuf menjadi udara kultural yang ia hirup sejak kecil. Namun tidak ada kisah ia dididik secara formal dalam dunia tarekat.

Ayahnya bernama Habib Yusuf bin Ibrahim Al-Qadiri Al-Hani. Ibunya adalah Syarifah Tasmiah, perempuan dari Cempaka. Dari ayah dan ibunya, mengalir dua dunia yang berbeda namun saling menyapa. Dunia pengembaraan dakwah dan dunia kampung yang bersahaja. Dari pertemuan itulah, Syarifah Badrun lahir.

Nasab dalam tradisi habaib bukan sekadar garis keturunan. Ia juga memuat tanggung jawab moral dan spiritual. Namun Syarifah Badrun tidak pernah tampil sebagai penjaga simbol nasab itu. Ia tidak menuntut penghormatan apa pun. Bahkan, banyak orang mengenalnya hanya sebagai “Acil” biasa. Justru di situlah, keistimewaannya mulai terasa.

Ayah Pengembara dari Kalkuta

Habib Yusuf bin Ibrahim lahir di Kalkuta, India. Ayahnya berasal dari Irak, membawa jejak Timur Tengah ke anak benua India. Pada masa muda, Habib Yusuf merantau ke Nusantara. Bersama saudara-saudaranya, ia berdagang sekaligus berdakwah. Indonesia menjadi tanah singgah yang kemudian dipilih sebagai tempat menetap.

Menurut penuturan Habib Hasan bin Ali, keponakan Syarifah Badrun, keluarga ini menyebar di berbagai wilayah Kalimantan Selatan. Ada yang tinggal di Kampung Keramat, Kampung Melayu, Banjarmasin, dan Cempaka. Habib Yusuf sendiri memiliki beberapa istri di tempat-tempat tersebut. Syarifah Tasmiah adalah istrinya yang menetap di Cempaka. Dari rahimnya lahirlah Syarifah Badrun.

Habib Yusuf dikenal sebagai sosok berilmu dan bersahaja. Untuk menafkahi keluarga, ia meracik dan menjual jamu. Ia menguasai banyak bahasa dan memiliki koleksi kitab yang cukup banyak. Reputasinya bahkan dikenal hingga ke Jawa Timur. Hubungannya dengan para ulama besar terjalin secara informal namun kuat.

Habib Yusuf wafat dan dimakamkan di Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut. Jarak makamnya sekitar satu jam perjalanan dari Banjarbaru. Meski berpisah tempat, warisan spiritualnya tetap mengalir. Dari ayah inilah, Syarifah Badrun mewarisi ketenangan dan keberanian hidup sederhana. Tanpa banyak kata, ayah itu menanamkan nilai.

Kehidupan Rumah Tangga dan Kesendirian

Syarifah Badrun sempat menikah dengan Habib Sulaiman Baharun. Dari pernikahan itu, ia dikaruniai seorang anak bernama Habib Jafar. Kehidupan rumah tangganya tidak banyak diketahui orang. Tidak ada kisah glamor, tidak pula tragedi besar yang dicatat. Semuanya berlangsung sunyi dan biasa.

Habib Jafar kelak mengikuti jejak ibunya dalam jalan spiritual yang tak lazim. Sejak remaja, akal duniawinya disebut telah diangkat. Ia hidup dalam kondisi yang sulit dipahami oleh nalar umum. Seperti ibunya, ia tidak berkarier, tidak pula menempuh pendidikan formal tinggi. Namun kehadirannya meninggalkan kesan mendalam bagi banyak orang.

Syarifah Badrun menjalani hidup sebagai ibu kampung. Ia berinteraksi dengan tetangga, pergi ke pasar, dan berjalan kaki ke berbagai tempat. Ia menjalin hubungan harmonis dengan ibu-ibu tirinya. Bahkan, ia kerap berjalan dari Cempaka ke Kampung Keramat hanya untuk bersilaturahmi. Hubungan keluarga baginya adalah jalan ibadah.

Dalam kesehariannya, ia sering membawa satu buntalan kecil. Orang Banjar menyebutnya puntalan. Isinya kain kafan yang ia persiapkan untuk akhir hidupnya. Ia sering tertawa sendiri dan berbicara tanpa lawan bicara. Perilakunya kerap dianggap aneh, namun tidak pernah menyakiti siapa pun.

Kewajaran yang Diangkat

Tidak ada catatan pendidikan formal Syarifah Badrun. Ia tidak diketahui belajar di pesantren atau berguru kepada ulama tertentu. Ia juga tidak pernah berdakwah secara terbuka. Tidak ada kitab yang ditulisnya, tidak ada majelis yang diasuhnya. Dalam ukuran biografi ulama, ia nyaris tak memenuhi syarat.

Namun, suatu hari setelah melahirkan Habib Jafar, kewarasannya disebut “diangkat”. Sejak saat itu, perilaku dan ucapannya semakin sulit dipahami secara rasional. Masyarakat melihat perubahan yang signifikan. Ia menjadi semakin bebas dari norma sosial biasa. Namun justru dari situ, banyak orang merasakan kehadiran yang berbeda.

Masyarakat kemudian menyematkan gelar wali majdzub kepadanya. Dalam tradisi sufi, wali majdzub adalah orang yang akal duniawinya ditarik oleh Allah. Ia hidup dalam keadaan tertarik penuh kepada Tuhan. Dunia tidak lagi menjadi pusat orientasinya. Karena itu, tindakannya kerap tampak ganjil.

Gelar ini tentu tidak diterima semua kalangan. Ada yang menganggapnya sekadar orang dengan gangguan jiwa. Ada pula yang memandangnya sebagai wali Allah. Perbedaan itu berlangsung tanpa konflik terbuka. Masyarakat Cempaka memilih bersikap pragmatis dan empatik. Mereka menilai berdasarkan pengalaman langsung.

Karamah sebagai Pembeda

Dalam tradisi Islam, mukjizat hanya diberikan kepada nabi dan rasul. Mukjizat bersifat terbuka dan bertujuan membuktikan kenabian. Sementara itu, karamah diberikan kepada orang saleh. Karamah tidak untuk dipamerkan, bahkan sebaiknya disembunyikan. Ia hadir sebagai hadiah kedekatan dengan Allah.

Dalam kasus Syarifah Badrun, karamah menjadi garis pembeda utama. Banyak warga mengaku merasakan langsung keajaiban yang menyertainya. Cerita-cerita itu menyebar dari mulut ke mulut. Tidak melalui media, tidak pula dicatat secara resmi. Justru karena itu, kisahnya bertahan sebagai ingatan hidup.

Salah satu kisah datang dari Habib Hasan bin Ali. Ia pernah mengantar seorang kenalan dari Palangkaraya menemui Syarifah Badrun. Namun orang itu tidak dapat melihatnya meski ia duduk di warung seberang jalan. Ketika ditanya, Syarifah Badrun menolak bertemu karena menyebut orang itu maling. Dari situ, Habib Hasan memahami sesuatu yang tak terucap.

Ada pula kesaksian Siti Maimunah yang merawatnya selama dua tahun terakhir hidupnya. Selama sakit, Syarifah Badrun hanya terbaring di kasur. Ia makan, buang air, dan berganti pakaian di tempat yang sama. Namun kasur itu selalu bersih tanpa kotoran. Maimunah mengaku melihat sendiri hal itu.

Kesalehan Sosial yang Diam

Di balik kisah-kisah ajaib, ada kebiasaan sederhana yang paling mengesankan. Syarifah Badrun sering pergi ke pasar Martapura membeli beras. Beras itu kemudian dijual kembali dengan harga jauh lebih murah. Ia hanya menjual kepada orang miskin. Ia tidak mencari keuntungan, bahkan sering merugi.

Harga beras yang dibelinya bisa dua kali lipat dari harga jual. Namun ia tetap melakukannya secara konsisten. Ia juga memilih kios yang sedang sepi. Seolah ingin membantu pedagang kecil sekaligus pembeli miskin. Perilaku ini dikonfirmasi oleh banyak narasumber. Tidak ada motif ekonomi di sana.

Yang lebih mengherankan, ia tidak bekerja dan tidak meminta sedekah. Namun uangnya selalu ada. Masyarakat menyebutnya sebagai karamah. Namun yang lebih penting adalah nilai kemanusiaan di baliknya. Ia hadir sebagai penolong tanpa pamrih. Ia menolong tanpa menjelaskan alasan.

Kesalehan Syarifah Badrun tidak berisik. Ia tidak membutuhkan pengakuan. Ia hadir dalam tindakan kecil yang konsisten. Di situlah, tasawuf menemukan bentuk sosialnya. Bukan dalam kata, tetapi dalam perbuatan. Bukan dalam simbol, tetapi dalam keberpihakan.

Wafat dan Warisan Sunyi

Syarifah Badrun wafat pada 29 Syawal 1421 Hijriah atau 25 Januari 2001 Masehi. Usianya diperkirakan lebih dari 60 tahun. Ia wafat di rumah kecilnya di Cempaka. Hari wafatnya diingat banyak orang sebagai hari yang berbeda. Beberapa warga mencium bau harum yang semerbak.

Ia dimakamkan di rumahnya sendiri. Tanah itu sebelumnya dipinjamkan oleh keluarga Masniah. Keluarga itu tidak pernah berniat menjual tanah tersebut. Mereka menghibahkannya sebagai bentuk penghormatan. Rumah itu kemudian berubah menjadi kubah makam.

Di sampingnya, dimakamkan pula putranya Habib Jafar yang wafat pada 2014. Di belakang makam, dibangun pendopo untuk peziarah. Fasilitas wudu dan tempat istirahat disediakan. Foto hitam putih Syarifah Badrun dipasang di atas pendopo. Wajahnya menatap sunyi.

Kini, makam itu menjadi salah satu titik ziarah di Cempaka. Orang datang dengan berbagai hajat. Ada yang datang karena keyakinan, ada pula karena rasa ingin tahu. Syarifah Badrun telah pergi, namun namanya tetap hidup. Ia menjadi tanda yang terus dibaca ulang.

Antara Tasawuf dan Budaya Banjar

Menurut Mursalin, dosen sejarah peradaban Islam UIN Antasari, tasawuf berkembang belakangan dalam sejarah Islam. Ia dipengaruhi oleh filsafat Persia dan Yunani pada masa Abbasiyah. Konsep wali dan makrifat lahir dari pertemuan berbagai tradisi intelektual. Tidak semua umat Islam menerima tasawuf secara utuh.

Namun Islam Banjar memiliki corak yang berbeda. Islam masuk ke Banjar melalui jalur budaya dan sufistik. Ia tidak disebarkan melalui perang. Masyarakat Banjar telah lama akrab dengan konsep kesaktian. Tradisi pra-Islam turut membentuk penerimaan itu.

Karena itu, kehadiran wali majdzub relatif mudah diterima. Masyarakat tidak melihatnya sebagai ancaman akidah. Mereka melihatnya sebagai bagian dari keseharian. Tradisi lokal dan ajaran Islam saling menyesuaikan. Dari situ lahir Islam Banjar yang toleran dan sinkretik.

Dalam konteks itu, Syarifah Badrun bukan anomali. Ia adalah kelanjutan dari tradisi panjang. Ia hadir sebagai simpul antara agama, budaya, dan kemanusiaan. Bukan untuk dipuja, tetapi untuk dipahami. Bukan untuk ditiru secara literal, tetapi untuk direnungkan.

Perempuan, Wali, dan Kesetaraan

Dalam sejarah ulama Banjar, tokoh perempuan sangat jarang disebut. Masyarakat modern Banjar cenderung patriarkis. Namun dalam tradisi lama, konsep gender lebih egaliter. Simbol-simbol budaya Banjar menunjukkan keseimbangan laki-laki dan perempuan. Kekuasaan dan kebijaksanaan tidak dibatasi jenis kelamin.

Dalam Islam, ilmu tidak memiliki gender. Kedekatan kepada Tuhan tidak ditentukan oleh jenis kelamin. Syarifah Badrun hadir sebagai pengingat akan hal itu. Ia menunjukkan bahwa kesalehan tidak membutuhkan legitimasi struktural. Ia hadir melalui pengalaman hidup.

Masyarakat menghormatinya bukan karena ia perempuan atau keturunan Nabi. Mereka menghormatinya karena merasakan manfaat kehadirannya. Dalam dunia yang penuh kebisingan, ia hadir sebagai keheningan yang menyejukkan. Dalam dunia yang penuh klaim, ia hadir tanpa klaim.

Syarifah Badrun mungkin tidak ingin dikenang. Namun masyarakat memilih untuk mengingat. Dalam ingatan itulah, ia terus hidup. Bukan sebagai legenda kosong. Melainkan sebagai pelajaran tentang kemanusiaan, kesalehan, dan keberanian hidup sederhana. Di tanah Cempaka, kisah itu terus berbisik.

Penutup

Kisah Syarifah Badrun mengajarkan bahwa kebenaran tidak selalu lahir dari pusat kekuasaan. Ia bisa tumbuh di pinggir kampung, di rumah kecil, di pasar sederhana. Ia mengajarkan bahwa kesalehan tidak selalu berbentuk ceramah. Kadang ia hadir sebagai sekarung beras yang dijual murah. Dalam dunia yang sibuk mencari bukti, Syarifah Badrun hadir sebagai tanda. Sunyi, namun bermakna.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel