Ads

Tidak Semua Muka Ditakdirkan Jadi Pangeran: Jalan Panjang Menuju Panggung

Tidak Semua Muka Ditakdirkan Jadi Pangeran: Jalan Panjang Menuju Panggung

Ditulis oleh: Akang Marta



Teman-teman, mari kita jujur sejak awal. Untuk jadi artis di negeri ini, ada syarat tidak tertulis yang semua orang tahu tapi jarang diucapkan dengan lantang. Pertama: muka harus ganteng. Kedua: koneksi harus banyak. Ketiga: uang jangan pas-pasan. Kalau tiga itu tidak terpenuhi, jangan harap jalannya lurus. Jalannya pasti belok-belok, naik turun, bahkan kadang jatuh ke got—secara harfiah.

Saya sadar betul posisi saya di peta industri hiburan. Dengan muka seperti saya, main sinetron itu bukan soal akting, tapi soal kesadaran diri. Muka saya ini bukan tipe pemeran utama. Jangankan jadi cowok idaman, jadi figuran romantis saja rasanya memaksa. Realistis saja, selama Aliando masih hidup, selama Al Ghazali masih hidup, selama Chiko Jericho, Jefri Nichol, Junot, dan semua cowok-cowok rahang tegas itu masih eksis, saya tahu jatah saya di sinetron bukan pegang tangan perempuan di taman.

Saya kebagian jatuh dari pohon. Atau ditabrak mobil. Atau jadi setan tanpa dialog.

Sinetron pertama saya, pemeran utamanya Om Indro. Beliau adalah legenda hidup komedi Indonesia. Judul sinetronnya Naik Enak Turun Oga. Saya senang luar biasa waktu diajak. Dalam hati saya mikir, “Wah ini awal karier. Ini momentum.” Sampai akhirnya saya tahu peran saya apa. Saya jadi kuntilanak.

Bukan kuntilanak yang filosofis. Bukan kuntilanak yang curhat trauma hidup. Kuntilanak tanpa dialog. Tugas saya cuma satu: naik ke atas pohon pakai tangga. Sutradara bilang, “Oke, Mongol. Action.” Saya naik. Cut. Selesai. Itu saja. Tidak ada dialog, tidak ada pengulangan emosional, tidak ada motivasi karakter. Saya cuma properti hidup.

Dari situ saya belajar satu hal penting: dunia hiburan tidak kejam, tapi jujur. Kalau mukamu cocok jadi kuntilanak, ya jadilah kuntilanak dengan sepenuh hati.

Perjalanan itu berlanjut. Ada satu sinetron yang menurut saya paling membanggakan secara nama: Ganteng-Ganteng Serigala. Dari judulnya saja sudah jelas, ini bukan habitat saya. Tapi ketika saya diajak main, saya senang bukan main. “Wah,” pikir saya, “akhirnya saya sejajar dengan Aliando.” Saya datang ke lokasi dengan penuh harap, mungkin kali ini saya punya dialog. Mungkin saya jadi om bijak. Mungkin minimal tetangga yang menasihati.

Nyampai lokasi, asisten sutradara bilang, “Oke, Ngol. Sekarang jadwal lu scene 9.” Saya tanya polos, “Dialognya mana?” Dia jawab santai, “Enggak ada, Bang. Abang cuma ditabrak.”

Saya pikir bercanda. Ternyata tidak. Di adegan itu, saya lagi jalan, lalu mobil datang, nabrak saya, saya terlempar, jatuh ke got, meninggal. Selesai. Tidak ada kelanjutan. Tidak ada proses sekarat. Tidak ada monolog penyesalan. Langsung mati. Bahkan Google pun mencatatnya singkat.

Dari situ saya sadar, kadang hidup memang tidak memberi kita panggung untuk bicara. Tapi memberi kita peran untuk jatuh.

Dan jatuh pun bisa jadi bagian dari cerita, kalau kita mau bangkit.

Saya tidak pernah menganggap ini sebagai penghinaan. Justru ini pengingat. Bahwa tidak semua orang ditakdirkan bersinar dengan wajah. Ada yang bersinar dengan konsistensi. Ada yang bertahan dengan mental. Ada yang hidup dengan cara mengambil semua peluang selama tidak melanggar etika, moral, dan hukum.

Prinsip saya sederhana: selama halal, selama tidak merugikan orang lain, selama tidak menginjak nilai hidup, ambil. Jangan pilih-pilih gengsi. Gengsi tidak bayar listrik. Gengsi tidak isi bensin. Gengsi tidak bikin dapur ngebul.

Yang paling penting, jangan pernah berpikir masa lalu menentukan mentoknya hidup kita. Saya tahu rasanya dicap. Saya tahu rasanya orang melihat kita sebagai “itu loh, yang dulu.” Tapi hidup bukan museum. Kita tidak harus selamanya dipajang di masa lalu.

Jangan pernah bilang, “Ah, gue kan mantan warga binaan, hidup gue ya segini-gini aja.” Tidak. Selama kita mau bekerja lebih keras dari rasa malu, lebih konsisten dari rasa takut, dan lebih jujur dari rasa putus asa, selalu ada jalan.

Saya tidak berdiri hari ini karena saya paling ganteng. Jelas tidak. Saya juga tidak berdiri karena koneksi saya luar biasa sejak awal. Tidak juga. Saya berdiri karena saya mau ambil semua peluang yang orang lain anggap kecil. Saya mau jatuh berkali-kali tanpa menyalahkan nasib. Saya mau ditertawakan tanpa berhenti berjalan.

Hidup ini bukan soal jadi pemeran utama di cerita orang lain. Hidup ini soal jadi pemeran utama di hidup sendiri. Walaupun kadang ceritanya absurd. Kadang perannya cuma “orang yang ditabrak lalu mati.” Tapi selama kita hidup di dunia nyata, cerita belum selesai.

Jadi buat teman-teman yang hari ini merasa tidak punya modal, tidak punya wajah, tidak punya koneksi, saya mau bilang satu hal: jangan menyerah dulu. Dunia ini luas. Jalannya tidak satu. Dan tidak semua orang harus ganteng untuk bisa sampai.

Buktinya? Saya masih berdiri.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel