Ads

Modal di Balik Surat Suara: Membaca Politik sebagai Investasi

Modal di Balik Surat Suara: Membaca Politik sebagai Investasi

Ditulis oleh: Akang Marta



Dalam politik Indonesia hari ini, beredar ungkapan sinis di kalangan elite ekonomi bahwa membangun partai kini setara dengan membangun bisnis. Ungkapan tersebut mencerminkan perubahan mendasar dalam cara partai dipahami dan dijalankan. Partai politik tidak lagi semata menjadi wadah perjuangan ideologis, melainkan instrumen ekonomi yang dapat dihitung nilai investasinya. Modal finansial menjadi prasyarat utama sebelum gagasan berbicara. Demokrasi pun perlahan bergeser dari ruang idealisme menuju arena transaksi.

Angka 50 miliar rupiah sering disebut sebagai modal awal realistis untuk membangun partai politik baru. Dana ini bukan digunakan untuk kampanye ideologis, melainkan untuk memenuhi syarat legalitas dan administratif. Negara mensyaratkan kepengurusan partai tersebar dari pusat hingga kecamatan. Biaya sewa kantor, operasional sekretariat, dan logistik di ribuan titik dengan cepat menghabiskan dana tersebut. Pada tahap ini, uang bekerja lebih keras daripada gagasan.

Selain infrastruktur fisik, partai membutuhkan figur publik sebagai wajah organisasi. Tokoh populer, purnawirawan, selebritas, atau aktivis terkenal menjadi magnet elektoral yang mahal. Proses perekrutan sering kali melibatkan insentif finansial atau fasilitas politik tertentu. Figur dijadikan alat legitimasi sekaligus daya tarik massa. Politik pun beroperasi dengan logika pemasaran, bukan kaderisasi.

Sebagai investasi, partai politik menawarkan berbagai skema pengembalian modal. Salah satunya adalah penentuan tiket pencalonan dan nomor urut legislatif. Banyak calon bersedia menyetor dana besar demi posisi strategis dalam kontestasi pemilu. Pada level Pilkada, dukungan partai sering dikaitkan dengan mahar politik bernilai miliaran rupiah. Di titik inilah modal awal mulai kembali dan berlipat.

Ketika partai berhasil menempatkan kader di lembaga eksekutif atau legislatif, nilai ekonominya meningkat drastis. Kekuasaan membuka akses terhadap proyek pemerintah, perizinan strategis, dan kebijakan publik. Partai berperan sebagai perantara antara penguasa dan pemilik modal. Kebijakan tidak lagi netral, melainkan menjadi alat tawar-menawar ekonomi. Negara perlahan dikendalikan oleh kepentingan pemodal politik.

Model politik berbasis modal berdampak langsung pada komposisi elite politik. Aktivis dengan idealisme tinggi tetapi tanpa sumber dana besar semakin sulit bertahan. Sebaliknya, pengusaha mendominasi ruang parlemen dan eksekutif. Politik berubah menjadi portofolio investasi jangka panjang. Diskursus publik pun bergeser dari kepentingan rakyat menuju perlindungan aset dan bisnis.

Jika praktik ini terus berlanjut, negara berisiko berubah menjadi negara korporasi. Pemerintah tidak lagi melayani warga, melainkan kepentingan investor politik. Kebijakan strategis dirumuskan di ruang tertutup yang jauh dari pengawasan publik. Regulasi menjadi alat legalisasi kepentingan ekonomi elite. Demokrasi kehilangan makna substantifnya.

Dalam sistem politik berbiaya tinggi, korupsi menjadi keniscayaan struktural. Banyak pejabat terjerat kasus hukum karena tekanan mengembalikan biaya politik. Setoran ke partai dan sponsor menjadi beban yang harus ditutup melalui penyalahgunaan kewenangan. Korupsi tidak lagi bersifat individual, melainkan sistemik. Siklus ini terus berulang tanpa koreksi serius.

Memutus mata rantai ini membutuhkan intervensi kebijakan yang tegas. Salah satu solusi adalah pembiayaan partai oleh negara secara proporsional dan transparan. Dengan demikian, ketergantungan pada pemodal swasta dapat dikurangi. Audit independen dan keterbukaan laporan keuangan partai harus menjadi kewajiban mutlak. Tanpa itu, demokrasi akan terus disandera modal.

Mendirikan partai politik mungkin menjadi investasi paling menguntungkan saat ini. Namun keuntungan tersebut dibayar mahal oleh rusaknya etika publik dan keadilan sosial. Demokrasi tidak seharusnya tunduk pada logika pasar. Ketika partai diperjualbelikan, suara rakyat kehilangan maknanya. Negara pun perlahan berubah menjadi milik segelintir orang.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel