Ritual Kecil yang Membocorkan Watak Bangsa: Sebuah Pengakuan Nasional tentang Ngupil
Ritual Kecil yang Membocorkan Watak Bangsa: Sebuah Pengakuan Nasional tentang Ngupil
Ditulis oleh: Akang Marta
Mari kita bicara jujur tentang satu kebiasaan kecil yang jarang dibahas di forum resmi, tidak pernah masuk kurikulum pendidikan karakter, tapi sangat menentukan wajah keseharian kita sebagai bangsa: ngupil.
Ini bukan topik menjijikkan. Ini topik jujur.
Dan kejujuran, seperti yang kita tahu, sering kali terasa tidak nyaman.
Orang bule ngupil, langsung selepet.
Selesai.
Tidak ada drama. Tidak ada observasi lanjutan. Tidak ada fase refleksi. Mereka memperlakukan kotoran hidung seperti sampah biasa: diambil, dibuang, move on. Hidup berlanjut.
Orang Indonesia?
Ngupil adalah proses.
Ada tahapan. Ada kesadaran. Ada penilaian. Bahkan, jika kita mau jujur sepenuhnya, ada unsur seni dan filsafat kecil di dalamnya.
Pertama: diambil.
Kedua: diputar.
Ketiga: dinilai teksturnya.
Keempat: baru dibuang—kadang di tempat yang pantas, kadang di tempat yang sama sekali tidak pantas.
Ini bukan pembelaan.
Ini pengakuan dosa kolektif.
Ngupil di Indonesia bukan sekadar tindakan kebersihan. Ia adalah ritual mikro yang mencerminkan cara berpikir kita. Kita tidak bisa sekadar melakukan dan selesai. Kita harus memeriksa. Kita harus memastikan. Kita harus merasakan.
Bangsa ini memang seperti itu.
Dalam banyak hal, kita tidak pernah puas hanya dengan hasil. Kita ingin tahu prosesnya. Kita ingin memastikan apakah sesuatu itu “layak” sebelum dilepas. Bahkan terhadap sesuatu yang jelas-jelas harus dibuang.
Ngupil menjadi metafora sempurna tentang karakter kita:
terlalu teliti pada hal kecil,
tapi sering ceroboh pada hal besar.
Perhatikan betul.
Tidak ada orang Indonesia yang ngupil dengan ekspresi kosong. Selalu ada tatapan sekilas. Entah ke jari sendiri, entah ke ujung kuku. Ada momen singkat evaluasi: kering atau basah, keras atau lunak, besar atau kecil. Itu semua terjadi dalam hitungan detik, tapi penuh kesadaran.
Seolah-olah kita berkata dalam hati,
“Oh, begini rupanya.”
Dan setelah itu?
Barulah muncul dilema etika: dibuang ke mana?
Di sinilah kebudayaan kita benar-benar bicara.
Ada yang buang di tisu. Ini golongan idealis.
Ada yang buang di tanah. Ini golongan pragmatis.
Ada yang buang di bawah kursi, di balik meja, di tembok tersembunyi. Ini golongan oportunis.
Dan ada juga yang… menyimpannya di jari terlalu lama sambil mencari waktu yang tepat. Ini golongan perencana.
Semua ada.
Tidak ada yang benar-benar bersih. Tidak ada yang benar-benar polos.
Dan lucunya, kita tahu ini salah.
Kita sadar ini tidak pantas.
Tapi kita tetap melakukannya.
Ini persis seperti banyak kebiasaan sosial lain di negeri ini. Kita paham aturan, tapi sering menundanya. Kita tahu yang ideal, tapi memilih yang praktis. Kita mengakui dosa kecil sambil berharap tidak ada yang melihat.
Ngupil adalah dosa sunyi.
Tidak dicatat. Tidak ditegur. Tidak dihukum.
Tapi semua orang melakukannya.
Dan di situlah letak kejujurannya.
Kita sering membanggakan budaya besar: gotong royong, toleransi, sopan santun. Tapi kebudayaan sejati justru terlihat dari kebiasaan kecil yang tidak pernah dipamerkan. Dari apa yang kita lakukan saat tidak ada kamera. Dari cara kita membuang hal yang seharusnya tidak ada.
Orang bule membuang cepat karena mereka dibesarkan dengan batas privat yang tegas. Tubuh adalah urusan personal. Kotoran adalah sesuatu yang tidak perlu direnungkan. Bersih ya bersih, kotor ya buang.
Indonesia berbeda.
Tubuh kita adalah bagian dari ruang sosial. Bahkan kotoran pun kita perlakukan dengan perhatian. Kita tidak sekadar membuang, kita berinteraksi.
Ini bisa terdengar menjijikkan, tapi juga manusiawi.
Karena bangsa ini memang tidak terbiasa dengan sikap ekstrem. Kita tidak hitam-putih. Kita abu-abu. Kita tengah-tengah. Bahkan dalam hal ngupil.
Dan jangan salah.
Kebiasaan ini tidak eksklusif milik orang kampung, orang kota, orang miskin, atau orang berpendidikan rendah. Di ruang rapat, di dalam mobil pribadi, di balik masker, di sudut lift—ritual ini tetap terjadi. Diam-diam. Cepat-cepat. Tapi nyata.
Masker, di masa pandemi, bahkan sempat menjadi alibi nasional.
Ngupil menjadi lebih berani. Lebih bebas. Lebih percaya diri. Kita seolah berkata, “Akhirnya ada ruang aman.” Ini bukan kemunduran moral. Ini adaptasi budaya.
Dan dari situ kita belajar satu hal penting:
bangsa ini sangat pandai beradaptasi, tapi kurang disiplin dalam konsistensi.
Kita bisa menyesuaikan diri dengan situasi apa pun. Tapi soal kebiasaan kecil yang benar, kita sering menunda. Kita lebih nyaman dengan kompromi kecil daripada perubahan besar.
Ngupil mengajarkan kita tentang kontradiksi itu.
Tentang bagaimana kita peduli kebersihan, tapi masih suka jalan pintas. Tentang bagaimana kita tahu etika, tapi sering mencari celah. Tentang bagaimana kita jujur pada diri sendiri, tapi tidak selalu bertanggung jawab pada ruang bersama.
Namun, jangan buru-buru menghakimi.
Karena justru di pengakuan dosa kolektif inilah ada harapan.
Bangsa yang bisa menertawakan kebiasaan kotornya sendiri adalah bangsa yang masih punya refleksi. Kita belum kebal kritik. Kita belum sepenuhnya munafik. Kita masih bisa bercermin, meski cerminnya agak buram.
Ngupil bukan kebanggaan.
Tapi ia adalah pengingat.
Bahwa peradaban tidak dibangun hanya dari pidato besar dan slogan moral. Ia dibangun dari kebiasaan kecil yang sering dianggap sepele. Dari cara kita memperlakukan hal yang tidak terlihat. Dari pilihan sederhana saat tidak ada yang memperhatikan.
Dan mungkin, suatu hari nanti,
revolusi mental bangsa ini benar-benar dimulai
bukan dari seminar,
bukan dari baliho,
tapi dari satu keputusan kecil:
ambil, buang dengan benar, lalu selesai.