Sejarah Blikiyeng: Antara Prestasi Sejati dan Pengakuan yang Bisa Dibeli
Sejarah Blikiyeng: Antara Prestasi Sejati dan Pengakuan yang Bisa Dibeli
Ditulis oleh: M. Nurudin
Sejarah sering kali digambarkan sebagai panggung besar tempat nama-nama diabadikan, prestasi dipahat, dan jasa dikenang lintas generasi. Banyak orang percaya bahwa sejarah akan mencatat siapa saja yang sungguh-sungguh bekerja, berjuang, dan memberi manfaat bagi zamannya. Keyakinan itu tidak sepenuhnya keliru. Namun, sebagaimana kata orang tua dahulu—jare wa Kaji—kenyataannya tidak selalu sesederhana itu. Kadang sejarah blikiyeng, mencatat dengan cara yang aneh, bahkan mencatat siapa saja yang berani mengaku, entah benar-benar berbuat atau sekadar pandai menulis kisah tentang dirinya sendiri.
Dalam logika ideal, sejarah adalah hasil dari peristiwa nyata, kerja keras, pengorbanan, dan dampak yang dirasakan oleh banyak orang. Ia seharusnya berpihak pada kebenaran dan fakta. Namun dalam praktiknya, sejarah sering kali disusun oleh mereka yang memiliki kuasa: kuasa politik, kuasa ekonomi, atau kuasa atas narasi. Maka tidak mengherankan jika muncul sindiran tajam: ora perlu gawe apa-apa, tinggal tuku, ditulis dewek, sing penting duwe duit kanggo tuku-e. Sebuah kritik pahit bahwa pengakuan sejarah kadang bisa dibeli, bukan diperjuangkan.
Ungkapan ini bukan sekadar keluhan, melainkan refleksi sosial yang lahir dari pengalaman panjang masyarakat melihat bagaimana tokoh-tokoh tertentu tiba-tiba dielu-elukan, namanya terpampang di mana-mana, sementara mereka yang benar-benar bekerja di akar rumput justru dilupakan. Sejarah, yang seharusnya menjadi cermin kejujuran, kadang berubah menjadi etalase pencitraan. Siapa yang punya modal untuk menulis, mencetak, mendanai seminar, atau membangun monumen, dialah yang berpeluang besar “dicatat”.
Di sinilah ironi itu bermula. Banyak pelaku yang benar-benar bekerja dalam diam, tanpa panggung dan sorotan, justru tidak pernah masuk buku sejarah. Mereka mungkin petani yang menjaga pangan, guru yang mencerdaskan desa, buruh yang menggerakkan ekonomi, atau aktivis yang membela keadilan tanpa pamrih. Mereka tidak menulis tentang diri mereka sendiri. Mereka tidak punya uang untuk membeli pengakuan. Akibatnya, nama mereka perlahan hilang ditelan waktu, sementara sejarah justru ramai dengan mereka yang pandai mengklaim.
Sejarah blikiyeng—miring dan licin—karena sering kali lebih mendengar suara yang keras daripada kebenaran yang sunyi. Dalam banyak kasus, yang dicatat bukan siapa yang paling berjasa, melainkan siapa yang paling mampu mengemas cerita. Narasi menjadi lebih penting daripada realitas. Fakta dikalahkan oleh retorika. Prestasi digeser oleh klaim sepihak. Inilah sebabnya mengapa sejarah tidak selalu identik dengan kebenaran mutlak.
Namun demikian, bukan berarti usaha dan prestasi sejati menjadi sia-sia. Sejarah memang bisa dicurangi dalam catatan formal, tetapi ingatan kolektif masyarakat sering kali lebih jujur. Orang-orang mungkin lupa nama yang tertulis di prasasti, tetapi mereka ingat siapa yang benar-benar hadir saat dibutuhkan. Mereka ingat siapa yang bekerja tanpa banyak bicara. Mereka ingat siapa yang tidak menjual jasa demi pengakuan. Dalam ingatan semacam inilah, sejarah alternatif hidup dan bertahan.
Ungkapan sapa bae sing ngaku mangga menggambarkan betapa longgarnya klaim dalam ruang publik. Siapa pun boleh mengaku pahlawan, penggagas, atau pelopor. Tinggal bagaimana ia membungkus ceritanya. Jika cukup meyakinkan dan didukung dana, klaim itu bisa diterima sebagai “sejarah resmi”. Inilah yang membuat orang-orang bijak memilih diam. Bukan karena tidak mampu berbicara, tetapi karena sadar bahwa kebenaran sejati tidak selalu membutuhkan pengakuan instan.
Masalahnya, generasi hari ini hidup di zaman dokumentasi masif. Media sosial, buku biografi pesanan, dan konten digital membuat proses “mencatat sejarah” semakin mudah dimanipulasi. Seseorang bisa tampak besar hanya karena sering muncul, bukan karena benar-benar memberi dampak. Dalam konteks ini, sindiran ora perlu gawe apa-apa menjadi semakin relevan. Kerja nyata kalah pamor dibanding kerja citra.
Namun sejarah sejati tidak hanya hidup di buku dan arsip. Ia hidup dalam akibat. Jika seseorang benar-benar berprestasi, dampaknya akan terasa meski namanya tidak disebut. Sistem yang berjalan lebih baik, masyarakat yang lebih mandiri, atau nilai yang terus diwariskan adalah bukti yang tidak bisa dibeli. Sebaliknya, prestasi palsu cepat atau lambat akan runtuh karena tidak memiliki fondasi.
Masyarakat Jawa sejak lama memahami ini. Karena itu muncul sikap eling lan waspada, berhati-hati terhadap klaim dan sanjungan. Orang tua sering mengingatkan bahwa jangan tergesa-gesa percaya pada cerita besar yang datang dari satu mulut. Sejarah harus diuji, dilihat dari banyak sudut, dan dibandingkan dengan realitas. Jika tidak, kita hanya akan menjadi konsumen cerita, bukan pencari kebenaran.
Pada akhirnya, sejarah memang akan mencatat, tetapi cara mencatatnya tidak selalu adil. Ada yang dicatat karena jasa, ada pula yang dicatat karena kemampuan membeli narasi. Kesadaran inilah yang membuat orang bijak tidak terlalu sibuk mengejar pengakuan sejarah. Mereka lebih fokus pada kerja nyata dan manfaat jangka panjang. Bagi mereka, jika sejarah manusia lupa, biarlah. Yang penting, kerja mereka tidak sia-sia di hadapan nurani dan Tuhan.
Maka ketika kita membaca atau mendengar kisah-kisah besar, ada baiknya kita bertanya: siapa yang menulis, untuk siapa, dan dengan kepentingan apa? Sejarah bukan kitab suci yang bebas dari kepentingan. Ia adalah medan tafsir. Dan di medan itulah, kejujuran diuji.
Sejarah boleh saja blikiyeng, boleh dicurangi, bahkan boleh dibeli. Tetapi kebenaran yang lahir dari kerja nyata akan selalu menemukan jalannya sendiri. Entah lewat ingatan rakyat, teladan yang diwariskan, atau akibat baik yang terus hidup. Di situlah letak keadilan yang tidak selalu tertulis, tetapi terasa.
