Ads

Ironi Kepemimpinan: Ketika Sistem Lebih "Sakit" daripada Masalahnya

 

Ironi Kepemimpinan: Ketika Sistem Lebih "Sakit" daripada Masalahnya

Ditulis oleh: Yahya Anshori


Sindiran tentang otak pemimpin yang "dikencingi kecoa" bukan sekadar banyolan pasar, melainkan sebuah manifestasi kegeraman kolektif terhadap ketidakmampuan seorang pucuk pimpinan dalam mengelola organisasi. Istilah "keuyuan coro" (dikencingi kecoa) dalam budaya lokal sering kali merujuk pada kondisi seseorang yang sedang tidak waras pikirannya, tidak logis tindakannya, atau kehilangan akal sehat dalam mengambil keputusan. Namun, plot twist yang menyebutkan bahwa justru "kecoanya yang masuk rumah sakit" menunjukkan betapa "beracunnya" atau kacaunya pemikiran di tingkat atas, sehingga masalah sekecil apa pun justru akan hancur atau sakit saat bersentuhan dengan sistem yang dipimpinnya.

Kepemimpinan Tanpa Logika dan Akal Sehat

Dalam sebuah organisasi, Direktur Utama (Dirut) adalah nakhoda. Jika nakhoda dianggap memiliki pikiran yang "kotor" atau tidak jernih—seperti metafora dikencingi kecoa—maka seluruh kebijakan yang keluar akan bersifat anomali. Kita sering melihat pemimpin yang membuat kebijakan yang justru menyulitkan bawahannya, menghamburkan anggaran untuk hal yang tidak perlu, atau lebih mengutamakan ego pribadi daripada keberlangsungan lembaga.

Metafora ini menggambarkan tingkat kontaminasi pemikiran yang sudah akut. Jika pemimpin sudah kehilangan daya kritis dan akurasi dalam berpikir, maka setiap interaksi dengan realitas (yang dilambangkan dengan kecoa) akan berujung pada kegagalan. Menariknya, kecoa dikenal sebagai makhluk paling tangguh di bumi yang bisa selamat dari radiasi nuklir. Namun, dalam sindiran ini, kecoa pun kalah dan masuk rumah sakit. Ini adalah sarkasme tingkat tinggi: "Masalah yang sangat tangguh sekalipun akan menyerah karena kebobrokan sistem yang Anda pimpin."

Fenomena Kontraktor Bermasalah dan Lingkaran Kekuasaan

Opini publik ini sangat relevan jika dikaitkan dengan karut-marut pengerjaan proyek di daerah, seperti yang sering dikeluhkan masyarakat Indramayu. Ketika pemimpin (Dirut/Bupati/Pejabat) dikelilingi oleh "lingkaran dalam" yang hanya mementingkan setoran dan keuntungan pribadi, maka kualitas kerja akan terabaikan.

Ada korelasi antara pemimpin yang "otaknya bermasalah" dengan menjamurnya kontraktor nakal. Seorang pemimpin yang jernih tidak akan membiarkan uang rakyat sebesar Rp398 juta hanya menjadi jalan sepanjang 200 meter. Hanya pemimpin yang "pikirannya dikencingi kecoa"—alias dibutakan oleh materi dan kekuasaan—yang akan membiarkan ketimpangan tersebut terjadi di depan mata.

Kekuasaan yang "Beracun"

Kalimat "coro e sing manjing rumah sakit" memberikan pesan bahwa lingkungan kerja yang dipimpin oleh orang seperti itu sudah sangat toksik. Siapa pun yang mencoba masuk ke dalam sistem, meskipun dia membawa masalah kecil atau mencoba mencari celah, justru akan terjepit oleh kekacauan manajemen tersebut.

Rakyat sering kali menjadi "coro" (kecoa) dalam kacamata elit: dianggap kecil, mengganggu, dan tidak berdaya. Namun, ketika rakyat mencoba masuk ke dalam sistem birokrasi untuk menuntut haknya, mereka justru dibuat "sakit" oleh birokrasi yang berbelit, janji-janji palsu, dan manipulasi data. Sistem yang dipimpin oleh orang yang tidak kompeten bukan lagi menjadi solusi, melainkan menjadi rumah sakit baru bagi mereka yang mencari keadilan.

Peringatan tentang Batas Kekuasaan

Opini publik harus terus menyuarakan bahwa posisi strategis seperti Direktur Utama atau Kepala Daerah bukanlah tempat untuk bermain-main dengan akal sehat. Ingatlah bahwa jabatan hanyalah amanah lima tahunan. Jika selama menjabat, pola pikir yang digunakan sudah tidak sehat, maka warisan yang ditinggalkan hanyalah kerusakan.

Rakyat saat ini mulai menandai siapa saja pengusaha, anggota dewan, maupun pejabat yang masuk dalam lingkaran "otak coro" ini. Transparansi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Jika transfer dana miliaran rupiah dilakukan tanpa dasar yang jelas, atau pengerjaan proyek fisik dilakukan secara asal-asalan demi mengejar setoran "mana-mene" (sana-sini), maka tunggu saatnya rakyat akan bertindak sebagai "obat pembersih" bagi otak-otak yang sudah terkontaminasi tersebut.

Perlunya Islah Pemikiran

Sebagaimana momentum islah di Lirboyo yang menekankan kembalinya kepemimpinan pada jalur yang benar dan direstui para sesepuh, organisasi di tingkat mana pun butuh "pembersihan otak". Pemimpin harus sadar kapan mereka harus berhenti mendengarkan bisikan-bisikan yang merusak dan mulai mendengarkan nurani rakyat.

Jangan sampai metafora ini terus melekat. Jangan sampai pemimpin dianggap begitu buruknya sehingga masalah yang masuk ke mejanya justru menjadi lebih parah. Sudah saatnya Indramayu dan lembaga-lembaga di dalamnya dipimpin oleh orang-orang yang otaknya jernih, hatinya bersih, dan tindakannya nyata untuk kemaslahatan, bukan untuk kepentingan lingkaran dalam yang haus kekuasaan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel