Dari Jalan Longsor hingga Hutan Gundul: Bencana yang Menelanjangi Wajah Negara
Dari Jalan Longsor hingga Hutan Gundul: Bencana yang Menelanjangi Wajah Negara
Ditulis oleh: Akang Marta
Ada satu kalimat yang terasa sederhana, nyaris kasual, namun menyimpan jeritan panjang tentang negeri ini: “Saya enggak tahu lagi kilo-kiloan, Kak. Ini gerak terus.” Kalimat itu bukan lahir dari ruang diskusi ber-AC, bukan pula dari meja rapat penuh peta dan grafik. Ia lahir dari lumpur, dari jalan yang runtuh, dari jembatan yang hampir ambruk, dari mobil empat roda yang masih saja selip meski dikawal keberanian anak-anak muda desa. Kalimat itu adalah potret Indonesia saat bencana datang: bergerak terus, tapi tak tahu sudah sejauh apa negara benar-benar hadir.
Kisah relawan yang menempuh dua jam perjalanan untuk jarak yang mungkin hanya dua puluh kilometer seharusnya menjadi alarm keras bagi nurani publik. Dua puluh kilometer yang di kota besar bisa ditempuh sambil mendengarkan dua lagu, di Aceh Tengah berubah menjadi pertaruhan nyawa. Jalan rusak, batu berserakan, sungai-sungai baru muncul menggantikan kebun, jembatan dipegangi warga dari bawah agar mobil bantuan bisa melintas. Ini bukan adegan film bencana; ini realitas yang dialami warga Desa Kalasigi, Kecamatan Bintang, Takengon, dan desa-desa lain yang namanya bahkan sering salah sebut di layar kaca.
Ironisnya, di saat medan begitu brutal, narasi yang mengalir ke publik sering kali terdengar rapi dan optimistis. Data disampaikan, jumlah alat berat disebutkan, persentase pemulihan dipamerkan. Namun di lapangan, relawan hanya melihat satu ekskavator bekerja sendirian, menjadi bottleneck yang menyebabkan antrean panjang mobil bantuan. Satu alat berat untuk longsor puluhan kilometer. Di titik inilah jurang antara laporan dan kenyataan menganga lebar.
Yang lebih menyayat adalah gambaran kehidupan sehari-hari warga pascabencana. Tidak ada listrik. Lampu menyala dari inverter mobil, dari aki yang diperas dayanya. Air bersih? Ada, tapi bukan karena sistem negara bekerja, melainkan karena mata air baru muncul akibat tanah yang terbelah. Wudu dilakukan dengan satu ember, mandi dilakukan dengan penuh penghematan. Di daerah lain, warga bahkan mandi dengan air hujan, berdiri di bawah langit yang sama yang sebelumnya membawa petaka. Ketahanan ini sering dipuji sebagai “resiliensi masyarakat”, tapi kita jarang bertanya: sampai kapan resiliensi dijadikan alasan untuk menormalisasi keterlambatan negara?
Bencana ini bukan sekadar soal banjir dan longsor. Ia adalah krisis kehidupan. Kebun kopi hilang, tertimbun tanah. Mata pencaharian lenyap. Anak-anak tak sekolah, bukan karena malas, tetapi karena jalan terputus dan gedung rusak. Mereka menyebutnya dengan satu kata sederhana namun memilukan: “bungkus”. Bungkus kebun kami, bungkus hidup kami. Ketika ekonomi lokal runtuh, bantuan logistik hanya menunda kelaparan, bukan memulihkan martabat.
Di tenda-tenda darurat—yang bahkan belum layak disebut tenda—anak-anak mengalami luka terbuka. Kaki bengkak karena tertusuk kayu hanyut yang terpendam lumpur. Batuk-batuk akibat udara lembap dan kotor. Tenaga medis bekerja 24 jam, empat orang untuk melayani puluhan warga, berpindah dari satu dusun ke dusun lain. Mereka datang bukan dengan konvoi, tetapi dengan niat. Bukan dengan kamera, tetapi dengan perban dan stetoskop. Jika negara ingin belajar tentang arti pengabdian, lihatlah para relawan ini.
Pertanyaan besar kemudian muncul: mengapa kondisi seperti ini bisa berlangsung hampir sebulan? Dari 25 November hingga menjelang akhir Desember, NGO masih bekerja pada fase respon awal, padahal secara teori seharusnya sudah masuk tahap pemulihan. Di sinilah istilah “defisit governance” menemukan relevansinya. Bukan karena tidak ada anggaran, bukan karena tidak ada niat, tetapi karena sistem komando, koordinasi, dan kejujuran informasi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Perdebatan tentang status bencana nasional pun mencuat. Sebagian pihak khawatir tentang citra negara, tentang travel warning, tentang dampak ekonomi. Namun di hadapan anak-anak yang kakinya bengkak dan warga yang berjalan di tepi jurang untuk membeli beras, argumen itu terdengar jauh. Apa arti citra jika nyawa dipertaruhkan? Apa arti statistik pariwisata jika satu desa terisolasi tanpa kepastian?
Penolakan atau kehati-hatian terhadap bantuan asing juga perlu dilihat dengan kacamata kemanusiaan, bukan semata politik. Bantuan people to people bukanlah ancaman kedaulatan. Ia adalah solidaritas sesama manusia. Ironis ketika utang berbunga diterima tanpa polemik besar, tetapi beras dan obat dari saudara ditanggapi dengan kecurigaan. Dalam bencana, yang paling sahih menentukan “butuh atau tidak” adalah korban, bukan negara dari balik meja.
Namun, persoalan paling mendasar dari semua ini mungkin bukan pada respon darurat, melainkan pada akar bencana itu sendiri. Banjir dan longsor ini bukan sekadar akibat hujan ekstrem. Ia adalah akumulasi panjang dari deforestasi, pembalakan liar, dan konversi hutan menjadi kebun industri. Hutan yang seharusnya menjadi cawan penampung air dibabat. Air yang seharusnya menjadi rezeki berubah menjadi bala. Di sinilah bencana ekologis bertemu dengan bencana politik.
Data tentang jutaan hektare sawit ilegal yang “dinormalisasi” atau “diputihkan” menjadi bukti betapa lemahnya efek jera. Ketika pelanggaran besar dilegalkan, pesan yang sampai ke lapangan jelas: rusaklah hutan, negara akan datang belakangan untuk memaafkan. Yang menanggung akibatnya bukan oligarki kayu atau sawit, melainkan petani kecil, anak-anak desa, dan warga yang rumahnya hanyut. Mengapa yang terus disalahkan justru rakyat kecil yang dianggap tak paham lingkungan, sementara aktor besar nyaris tak tersentuh?
Dalam konteks kepemimpinan, kritik yang disampaikan para aktivis dan ulama bukanlah sekadar kemarahan. Ia adalah panggilan etis. Dalam tradisi Islam, pemimpin bukan hanya rain—pengurus rakyat—tetapi juga junnah, tameng yang melindungi. Pemimpin sejati tidak kenyang sebelum rakyatnya kenyang. Ia tidak tidur nyenyak sebelum yakin tak ada warganya kelaparan. Kisah Khalifah Umar yang berkeliling malam hari bukan romantisme sejarah, melainkan standar moral kepemimpinan.
Sayangnya, yang sering tampak justru sebaliknya. Wisata bencana kembali menjadi luka lama yang terbuka. Pejabat datang, kamera menyala, foto diambil, lalu pergi. Di media sosial, pujian mengalir. Di lapangan, lumpur tetap setinggi betis. Bahasa tubuh pejabat—makan enak, cerutu, senyum di depan kamera—menjadi simbol yang menyakitkan bagi korban. Ini bukan soal niat individu, tetapi soal sensitivitas etika publik yang hilang.
Sebagian pihak mencoba menenangkan dengan argumentasi hukum dan otonomi daerah. Pemerintah pusat, kata mereka, harus menghormati kewenangan daerah. Benar. Namun, dalam bencana besar, publik tidak ingin mendengar lemparan tanggung jawab. Bagi korban, pemerintah adalah satu wajah. Mereka tidak membedakan pusat, provinsi, atau kabupaten. Ketika bantuan tak datang, yang dirasakan adalah ketidakhadiran negara, bukan kekeliruan administrasi.
Yang lebih berbahaya adalah ketika kritik diperlakukan sebagai serangan. Padahal, kritik adalah bentuk cinta paling jujur dari warga kepada negaranya. Rakyat yang bersuara bukan ingin menjatuhkan, tetapi ingin memperbaiki. Ketika relawan melaporkan kekurangan, seharusnya negara berterima kasih, bukan tersinggung. Negara yang kuat adalah negara yang mau mendengar kabar buruk dan bertindak cepat.
Kisah tentang kayu-kayu hanyut yang menumpuk di pesantren, melukai anak-anak, adalah metafora besar tentang masalah kita. Kayu-kayu itu bukan hanya benda fisik, tetapi simbol dari dosa ekologis yang kita biarkan menumpuk. Membersihkannya butuh alat berat, butuh koordinasi, butuh keputusan cepat. Sama seperti membersihkan tata kelola kehutanan kita: butuh keberanian politik, bukan sekadar wacana.
Opini publik hari ini terbelah antara empati dan frustrasi. Empati kepada korban yang luar biasa tabah. Frustrasi kepada negara yang terasa lamban dan defensif. Di tengah itu, doa sering diucapkan, dan doa memang penting. Namun doa tanpa ikhtiar struktural hanya akan mengulang siklus duka. Kita butuh perubahan nyata: transparansi data, percepatan alat berat, perlindungan hutan yang sungguh-sungguh, dan kepemimpinan yang berani mengakui kekurangan.
Bencana di Aceh dan Sumatera ini seharusnya menjadi cermin besar bagi Indonesia. Ia menelanjangi wajah negara apa adanya: kuat di atas kertas, rapuh di lapangan; kaya narasi, miskin empati operasional. Jika kita gagal belajar, maka hujan berikutnya hanya tinggal menunggu waktu untuk kembali menjadi petaka.
Pada akhirnya, pertanyaannya sederhana namun menohok: ketika jalan hancur, jembatan runtuh, kebun hilang, dan anak-anak terluka, di mana sebenarnya negara berdiri? Di sisi laporan, atau di sisi lumpur? Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan apakah bencana ini hanya menjadi berita musiman, atau menjadi titik balik menuju Indonesia yang lebih jujur, adil, dan manusiawi.
