Ads

Memilih Panggung Tawa daripada Kursi Kekuasaan

Memilih Panggung Tawa daripada Kursi Kekuasaan

Ditulis oleh: Akang Marta



Pertanyaan itu datang berkali-kali, dari berbagai arah, dengan nada yang hampir selalu sama. Setengah bercanda, setengah serius. “Bang Mongol, kenapa sih nggak jadi wali kota aja? Atau DPR kek?” Seolah kemampuan bicara lantang, keberanian mengkritik, dan popularitas otomatis harus berujung pada kursi kekuasaan. Mongol biasanya tidak menghela napas panjang atau menyusun jawaban diplomatis. Ia menjawab santai, nyaris tanpa beban, “Ngapain? Jadi stand up lebih cepat kaya.”

Jawaban itu sering memancing tawa, tapi di baliknya tersimpan logika yang jujur dan telanjang. Mongol paham betul bagaimana dunia bekerja. Ia tidak sedang meremehkan jabatan publik, tapi juga tidak ingin membohongi diri sendiri. Di dunia stand up comedy, waktu dihargai secara langsung. Lima belas menit tampil di luar kota, honor bisa mencapai puluhan juta rupiah. Tidak perlu menunggu masa jabatan, tidak perlu rapat berjam-jam, tidak perlu pencitraan. Lucu atau tidak, itu urusan penonton. Yang penting, DP masuk dulu.

Bandingkan dengan dunia politik. Untuk duduk di kursi DPR atau wali kota, seseorang harus melalui proses panjang: kampanye, konsolidasi, kompromi, dan sering kali konflik batin. Biaya politik mahal, energi terkuras, dan hasilnya belum tentu sebanding. Mongol melihat itu dengan mata terbuka. Ia tahu dirinya bukan tipe yang kuat menahan kata-kata. Ia terbiasa bicara apa adanya, dan dunia politik tidak selalu ramah pada kejujuran semacam itu.

Dunia hiburan lain pun tidak luput dari perbandingan. Sinetron, misalnya. Mongol sadar diri. Ia tahu wajahnya bukan tipe idola layar kaca yang digandrungi produser. Selama aktor-aktor bermuka malaikat masih hidup dan mendominasi jam tayang utama, peran Mongol paling jauh hanya figuran. Itupun sering kali tidak diingat penonton. Lebih menyedihkan lagi, di sinetron ada hukum tak tertulis: belum tayang, belum dibayar. Sudah capek akting, bisa saja adegan dipotong tanpa kabar.

Di stand up comedy, segalanya lebih jujur. Apa yang keluar dari mulutnya adalah miliknya sendiri. Tidak ada skrip yang diam-diam diubah, tidak ada dialog yang disensor tanpa pemberitahuan. Jika penonton tertawa, itu murni karena materi dan keberanian. Jika gagal, risikonya pun jelas: tidak lucu, tidak dipanggil lagi. Dunia ini keras, tapi adil dengan caranya sendiri.

Mongol juga memahami bahwa stand up bukan sekadar melucu. Panggung adalah ruang kebebasan. Di sana ia bisa berbicara tentang hidup, kemiskinan, ketimpangan, agama, hingga kekuasaan, tanpa harus memikirkan elektabilitas. Tawa menjadi jembatan antara kritik dan kenyataan. Penonton tertawa, lalu pulang dengan pikiran yang mungkin sedikit terusik. Itu bentuk pengaruh yang tidak tercatat di kertas suara, tapi nyata di kepala orang.

Banyak yang menganggap stand up terlalu ringan untuk disebut pengabdian. Mongol justru melihatnya sebagai cara bertahan hidup. Hidupnya sendiri penuh cerita yang tidak selalu manis. Dari kerasnya jalan hidup, ia belajar satu hal penting: kalau hidup tidak bisa selalu diperbaiki, setidaknya bisa ditertawakan. Humor bukan pelarian, tapi mekanisme bertahan. Dengan tertawa, luka tidak hilang, tapi tidak lagi sepenuhnya menguasai diri.

Ketika orang lain berlomba mengejar jabatan, Mongol memilih mengejar kebebasan. Kebebasan berbicara, kebebasan menertawakan diri sendiri, dan kebebasan menentukan jalan hidup tanpa harus menjelaskan ke semua orang. Ia tidak anti kekuasaan, tapi juga tidak silau olehnya. Baginya, kursi empuk sering kali menuntut punggung yang terlalu lurus dan mulut yang terlalu dijaga.

Pada akhirnya, pilihan Mongol sederhana. Ia memilih berdiri di panggung dengan mikrofon, daripada duduk di kursi kekuasaan dengan banyak batasan. Ia memilih tawa yang jujur, meski kadang pahit, daripada janji yang harus disesuaikan. Karena hidup, menurut Mongol, sudah cukup serius. Maka tugasnya tinggal satu: menertawakannya sekeras mungkin, sebelum hidup lebih dulu menertawakan kita.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel