Ads

Jaman Bengen Mah: Kesadaran Petani, Fogging Belerang, dan Ancaman Hama yang Kian Menakutkan

 

Jaman Bengen Mah: Kesadaran Petani, Fogging Belerang, dan Ancaman Hama yang Kian Menakutkan

Ditulis oleh: Kang Yana




Jaman bengen mah, sebelum istilah modernisasi pertanian terlalu sering diucapkan dalam forum-forum resmi, petani pemilik sawah sudah memiliki kesadaran dan kemandirian dalam menjaga lahannya. Mereka tidak menunggu program, tidak bergantung pada bantuan instan, dan tidak pula mengorbankan keselamatan demi solusi cepat. Salah satu contoh nyata adalah cara petani tempo dulu membasmi tikus sawah, musuh utama pertanian padi, dengan metode fogging belerang. Cara ini sederhana, murah, relatif aman, dan terbukti efektif menekan populasi tikus dari induk sampai cindil anak tikus langsung di lubang persembunyiannya.

Pengasapan belerang dilakukan secara periodik, biasanya setiap bulan. Tidak hanya menjelang tanam, tetapi sejak persiapan lahan, masa tanam, hingga pasca panen. Kegiatan ini dilakukan sendiri oleh pemilik sawah atau secara berkelompok antarpetani dalam satu hamparan. Ada kesadaran kolektif bahwa tikus tidak bisa dilawan secara parsial. Kalau satu petak bersih sementara yang lain dibiarkan, tikus akan berpindah. Maka fogging belerang dilakukan serentak, teratur, dan berkesinambungan.

Selain intervensi manusia, alam pada masa itu juga masih bekerja dengan baik. Musuh alami tikus seperti ular sawah dan burung hantu masih eksis. Burung hantu bahkan dikenal sangat efektif: dalam satu malam bisa memangsa satu hingga lima ekor tikus. Ular pun menjadi pengendali alami yang senyap tetapi konsisten. Kombinasi antara kesadaran petani, metode pengasapan, dan keberadaan predator alami membuat populasi tikus benar-benar terkendali. Sawah aman, hasil panen stabil, dan risiko gagal panen bisa ditekan.

Padahal jika dilihat dari sisi biologis, tikus adalah hama yang sangat berbahaya. Masa kehamilannya sangat singkat, hanya sekitar 19 hingga 23 hari, dengan rata-rata 21 hari untuk tikus rumah biasa. Yang lebih mengkhawatirkan, tikus betina bisa langsung hamil kembali hanya dalam waktu 24 jam setelah melahirkan. Sekali melahirkan, jumlah anaknya bisa dua hingga lima ekor cindil. Dalam hitungan bulan, satu pasangan tikus bisa berkembang menjadi puluhan bahkan ratusan ekor jika tidak dikendalikan. Ini bukan asumsi, melainkan fakta biologis.

Ironisnya, di tengah ancaman serius seperti itu, solusi yang kini justru banyak dipakai di lapangan adalah metode berbahaya: kabel listrik. Entah dari mana ide ini bermula, tetapi praktik memasang kabel berarus listrik di pematang sawah untuk mengusir tikus semakin dominan. Yang dikorbankan bukan hanya tikus, tetapi juga nyawa manusia. Sudah terlalu banyak korban jiwa akibat setrum sawah, baik petani sendiri, warga sekitar, maupun orang yang sekadar melintas. Solusi ini mahal, berisiko tinggi, dan sama sekali tidak berkelanjutan.

Padahal, jika mau jujur, fogging belerang jauh lebih aman dan murah. Belerang mudah didapat, cara penggunaannya sederhana, dan bisa dilakukan secara gotong royong. Tidak membutuhkan teknologi mahal, tidak mematikan manusia, dan tidak menimbulkan trauma sosial. Mengapa metode ini justru ditinggalkan? Apakah karena dianggap kuno? Atau karena tidak ada pihak yang diuntungkan secara ekonomi dari praktik yang mandiri dan kolektif?

Di sisi lain, isu ketahanan pangan kini sedang digencarkan oleh Presiden. Narasi besar tentang swasembada, stabilitas harga, dan kemandirian pangan sering disuarakan. Namun di tingkat bawah, realitasnya masih jauh dari ideal. Dinas pertanian di banyak daerah lebih dikenal sebagai penyedia bibit dan tempat pembagian alsintan. Fungsi pendampingan, edukasi hama, dan penguatan kesadaran ekologis petani justru terasa minim. Seolah urusan hama diserahkan sepenuhnya kepada petani, tanpa arahan metode yang aman dan efektif.

Lebih parah lagi, sebagian pemilik sawah saat ini terlena oleh harga padi yang sedang mahal. Ada perasaan aman semu: selama harga tinggi, kerugian dianggap bisa tertutup. Padahal hama tidak mengenal harga pasar. Tikus, serangga, dan penyakit tanaman justru berkembang lebih agresif ketika pengendalian melemah. Jika ledakan hama terjadi serentak, bukan hanya petani yang rugi, tetapi ketahanan pangan nasional ikut terancam.

Dan tikus bukan satu-satunya ancaman. Di sawah dan lingkungan sekitar, kini muncul hama lain yang populasinya juga luar biasa. Lembing, rambetuk, tomcat, dan kupu putih semakin sering menyerang. Dampaknya bukan hanya pada tanaman, tetapi juga pada warga. Tomcat misalnya, tidak hanya merusak ekosistem sawah, tetapi juga menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. Warga yang bukan pemilik sawah pun ikut terkena imbasnya, dari iritasi kulit hingga gangguan aktivitas sehari-hari.

Fenomena ini menunjukkan bahwa persoalan hama sudah melampaui urusan pertanian semata. Ia telah menjadi persoalan lingkungan dan kesehatan publik. Ketika sawah tidak dikelola secara ekologis, dampaknya merembet ke pemukiman. Ketika musuh alami punah karena habitat rusak, manusia harus menanggung akibatnya. Sayangnya, pendekatan kebijakan sering kali terfragmentasi, tidak holistik, dan kurang berpijak pada kearifan lokal.

Jaman bengen mah, petani memahami bahwa sawah adalah sistem hidup. Ada manusia, tanaman, hewan, dan alam yang saling terkait. Mengusir tikus bukan sekadar membunuh, tetapi menjaga keseimbangan. Fogging belerang dilakukan dengan perhitungan, tidak serampangan. Predator alami dilindungi, bukan diburu. Gotong royong menjadi kunci, bukan solusi individual yang berbahaya.

Kini, saat ketahanan pangan kembali menjadi isu strategis, seharusnya kita berani belajar dari masa lalu. Bukan untuk menolak kemajuan, tetapi untuk mengambil yang bijak. Menghidupkan kembali metode aman seperti fogging belerang, melindungi burung hantu dan ular sebagai pengendali alami, serta mengedukasi petani agar tidak tergoda solusi instan yang mematikan.

Jika tidak, maka yang “menakutkan” bukan hanya hama yang semakin ganas, tetapi juga kebijakan yang abai, kesadaran yang tumpul, dan keberanian kolektif yang perlahan menghilang. Jaman bengen mah, petani berdiri di atas kesadarannya sendiri. Pertanyaannya sekarang: apakah kita masih mau belajar dari kebijaksanaan itu, atau terus berjalan sambil menutup mata terhadap bahaya yang sudah di depan mata?

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel