Ads

Otonomi Daerah di Tengah Bencana: Antara Kemandirian Negara, Kejujuran Data, dan Jeritan Kemanusiaan

Otonomi Daerah di Tengah Bencana: Antara Kemandirian Negara, Kejujuran Data, dan Jeritan Kemanusiaan

Ditulis oleh: Akang Marta





Bencana yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera tidak hanya memunculkan duka dan solidaritas, tetapi juga membuka kembali perdebatan klasik tentang otonomi daerah, status bencana nasional, serta relasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan rakyat. Di ruang publik, muncul narasi bahwa bencana ini tidak ditetapkan sebagai bencana nasional karena pemerintahan daerah—mulai dari desa, kecamatan, kabupaten, hingga provinsi—masih berfungsi dan komunikasi dengan pusat tidak terputus. Negara, dalam pandangan ini, masih “mampu”. Otonomi daerah dijadikan landasan utama: selama daerah menyatakan sanggup, pusat tidak boleh gegabah mengambil alih sepenuhnya. Namun pertanyaannya, apakah ukuran “mampu” cukup ditentukan oleh laporan administratif, atau harus diukur dari realitas kemanusiaan di lapangan?

Secara normatif, argumen tersebut memang berdiri di atas dasar hukum yang kuat. Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machtstaat). Otonomi daerah memberikan kewenangan luas kepada kepala daerah untuk mengurus wilayahnya, termasuk dalam penanganan bencana. Selama roda pemerintahan daerah masih berputar dan jalur komunikasi dengan pusat berjalan, maka secara yuridis negara belum berada dalam kondisi darurat nasional. Dalam kerangka ini, Presiden dipandang konsisten berpegang pada aturan, bukan bertindak berdasarkan tekanan opini atau emosi sesaat. Bahkan, prinsip klasik salus populi suprema lex esto—keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi—dijadikan legitimasi bahwa negara hadir dengan caranya sendiri, turun langsung ke lapangan, tanpa harus mengubah status bencana.

Namun, hukum tidak pernah hidup di ruang hampa. Ia selalu berhadapan dengan kenyataan sosial. Otonomi daerah, yang semula dirancang sebagai instrumen demokratisasi dan pemerataan, dalam situasi bencana justru bisa menjelma menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memberi ruang bagi daerah untuk bergerak cepat tanpa menunggu komando pusat. Di sisi lain, ia berpotensi menjadi tameng birokratis yang menunda intervensi lebih besar, ketika daerah sebenarnya sudah berada di ambang kelelahan struktural. Ketika gubernur tidak mengirimkan surat “tidak mampu”, apakah itu berarti rakyat di desa-desa terpencil benar-benar aman dan tertangani?

Di sinilah letak persoalan paling sensitif: ukuran “mampu” sering kali ditentukan oleh elit pemerintahan, bukan oleh korban. Pemerintah daerah bisa saja masih menjalankan fungsi administratif—rapat berjalan, surat-menyurat aktif, laporan dikirim—namun di lapangan warga masih hidup tanpa listrik, tanpa air bersih, dan tanpa kepastian. Relawan yang turun langsung melihat tenda pengungsian penuh sesak, jalan terputus, dan distribusi bantuan yang tidak merata. Mereka menyaksikan realitas yang sering kali tidak sepenuhnya tertangkap oleh laporan berjenjang dari desa ke kecamatan, dari bupati ke gubernur, lalu ke pusat. Ketika informasi tereduksi di setiap jenjang, maka yang sampai ke presiden bisa jadi hanya potongan-potongan yang sudah “diperhalus”.

Narasi bahwa Presiden ingin menunjukkan Indonesia sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat tentu patut diapresiasi. Kemandirian adalah nilai penting dalam sejarah dan identitas nasional. Namun, kemandirian tidak identik dengan menutup diri dari evaluasi kritis, apalagi dari solidaritas yang lebih luas. Dalam konteks bencana, mandiri seharusnya berarti jujur mengukur kemampuan sendiri. Bangsa yang berdaulat bukan bangsa yang menolak mengakui keterbatasan, melainkan bangsa yang berani mengatakan: “Di titik ini, kami membutuhkan dukungan lebih besar.” Kemandirian tanpa kejujuran justru berisiko berubah menjadi ilusi kolektif.

Di sisi lain, tidak adil pula jika negara dituduh abai begitu saja. Fakta menunjukkan bahwa aparat TNI dan Polri bekerja 24 jam, bahkan ratusan personel mengalami luka dan kelelahan. Relawan kemanusiaan dari berbagai penjuru datang tanpa dibayar, meninggalkan keluarga demi membantu sesama. Pemerintah pusat menyatakan bahwa bantuan sudah berskala nasional, anggaran digelontorkan, dan koordinasi lintas kementerian berjalan. Presiden turun langsung ke lokasi, makan bersama warga, dan mendengar keluhan mereka. Semua ini menunjukkan adanya empati dan usaha nyata. Persoalannya bukan ada atau tidaknya kerja, melainkan apakah kerja itu terorganisir dengan cukup cepat dan efektif.

Kritik utama yang mengemuka bukanlah soal niat, melainkan soal tata kelola. Banyak pihak menilai bahwa problem terbesar terletak pada komunikasi dan koordinasi. Informasi dari bawah sering tersendat atau terdistorsi sebelum sampai ke pengambil keputusan. Pemerintah desa mungkin kewalahan, pemerintah kecamatan tidak sepenuhnya menangkap urgensi, bupati dan gubernur berada di bawah tekanan politik dan administratif. Akibatnya, pusat menerima gambaran yang belum utuh. Dalam kondisi seperti ini, berpegang teguh pada otonomi daerah tanpa mekanisme verifikasi lapangan yang kuat justru berpotensi menunda respons yang lebih masif.

Perdebatan ini semakin kompleks ketika dimensi ekologis masuk ke dalamnya. Banyak analis menegaskan bahwa bencana di Sumatera bukan semata bencana alam, melainkan bencana ekologis—hasil dari deforestasi, pembalakan liar, dan tata kelola sumber daya alam yang bermasalah. Jika benar demikian, maka penanganan bencana tidak bisa berhenti pada distribusi bantuan dan pemulihan fisik semata. Ia harus menyentuh akar persoalan: penegakan hukum terhadap korporasi perusak lingkungan, evaluasi kebijakan kehutanan, dan reformasi tata ruang. Pemerintah menyatakan telah menertibkan jutaan hektare kawasan hutan dan memproses puluhan perusahaan bermasalah. Ini langkah penting, tetapi publik berhak menuntut transparansi dan konsistensi: apakah penegakan hukum ini akan menyentuh aktor besar, atau berhenti pada “tumbal” kecil?

Di sinilah otonomi daerah kembali diuji. Banyak izin lingkungan dan konsesi hutan berada di ranah daerah. Ketika bencana terjadi akibat akumulasi kebijakan yang keliru, tanggung jawab menjadi kabur: pusat menyalahkan daerah, daerah menyalahkan pusat, sementara korban menanggung akibatnya. Dalam situasi seperti ini, rakyat tidak peduli pada pembagian kewenangan. Mereka hanya melihat satu entitas bernama “negara”. Ketika negara gagal menghadirkan kejelasan, yang lahir adalah ketidakpercayaan.

Isu lain yang tidak kalah penting adalah kecenderungan membenturkan relawan dengan pemerintah. Seolah-olah ada kompetisi antara “negara” dan “rakyat”. Padahal, relawan adalah bagian dari rakyat, dan negara seharusnya menjadi orkestrator utama dari seluruh energi sosial tersebut. Ketika relawan bersuara kritis, itu bukan berarti mereka anti-pemerintah. Justru mereka sering menjadi mata dan telinga paling jujur di lapangan. Mengabaikan atau mendeligitimasi suara relawan sama saja dengan menutup salah satu saluran informasi paling vital dalam situasi darurat.

Solidaritas rakyat Indonesia dalam bencana ini patut dicatat sebagai modal sosial luar biasa. Donasi mengalir, bantuan datang dari berbagai daerah, dan rasa persatuan menguat. Dalam perspektif sosiologi Durkheim, ini adalah bentuk solidaritas organik yang hidup. Namun solidaritas rakyat tidak boleh dijadikan alasan bagi negara untuk merasa cukup. Solidaritas justru harus diperkuat dengan sistem yang rapi, transparan, dan responsif. Tanpa itu, solidaritas bisa berubah menjadi frustrasi kolektif ketika rakyat merasa usahanya tidak diimbangi oleh kinerja negara.

Kekhawatiran tentang dampak politik juga tidak bisa diabaikan. Sejarah menunjukkan bahwa bencana yang ditangani secara lamban atau tidak sensitif sering kali berujung pada krisis kepercayaan dan gejolak politik. Munculnya simbol-simbol perlawanan atau kekecewaan di daerah bencana adalah sinyal yang tidak boleh diremehkan. Bukan karena rakyat ingin mempolitisasi penderitaan, tetapi karena mereka merasa suaranya tidak cukup didengar. Dalam konteks ini, kecepatan dan kejujuran menjadi kunci, bukan sekadar kepatuhan prosedural.

Pertanyaan mendasarnya kemudian menjadi: apakah otonomi daerah harus dipahami secara kaku, atau secara substantif? Jika otonomi dimaknai hanya sebagai pembagian kewenangan administratif, maka ia mudah menjadi alasan pembenar untuk lambannya respons. Tetapi jika otonomi dimaknai sebagai tanggung jawab moral untuk memastikan keselamatan rakyat di wilayahnya, maka ukuran “mampu” harus diturunkan langsung ke lapangan, bukan hanya ke meja birokrasi. Presiden, dalam kerangka ini, tidak cukup hanya menunggu laporan formal, tetapi perlu sistem verifikasi independen yang memastikan suara rakyat sampai tanpa tereduksi.

Pada akhirnya, opini publik ini tidak bertujuan mencari kambing hitam atau membenarkan satu pihak. Ini adalah upaya refleksi kolektif. Bencana di Sumatera adalah ujian bagi semua: pemerintah pusat, pemerintah daerah, aparat, relawan, dan masyarakat luas. Otonomi daerah adalah amanat reformasi yang mulia, tetapi dalam situasi ekstrem ia harus diiringi dengan fleksibilitas, empati, dan keberanian mengambil keputusan luar biasa. Keselamatan rakyat memang hukum tertinggi, tetapi keselamatan itu tidak boleh hanya menjadi kutipan filsuf, melainkan realitas yang dirasakan warga di tenda-tenda pengungsian.

Jika negara ingin benar-benar menunjukkan kemandirian dan kedaulatan, maka cara terbaik bukanlah dengan menegaskan “kami masih mampu” semata, tetapi dengan memastikan bahwa tidak ada satu pun warga yang merasa ditinggalkan. Kejujuran data, keterbukaan terhadap kritik, koordinasi yang rapi, dan penegakan hukum yang tegas terhadap perusak lingkungan adalah fondasi kedaulatan sejati. Tanpa itu, otonomi daerah berisiko berubah dari solusi menjadi masalah, dan bencana akan terus berulang dengan pola debat yang sama.

Bencana ini seharusnya menjadi titik balik. Bukan hanya untuk memperbaiki jalan dan rumah, tetapi juga untuk membenahi cara negara mendengar rakyatnya. Di antara hukum dan kemanusiaan, di antara otonomi dan solidaritas, negara dituntut memilih jalan yang paling berpihak pada kehidupan. Karena pada akhirnya, sejarah tidak akan mengingat seberapa rapi laporan disusun, tetapi seberapa cepat dan jujur negara menyelamatkan warganya.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel