Negara Swasta dan Matinya Diskursus: Refleksi Hukum dan Demokrasi di Ambang Otoritarianisme Baru
Negara Swasta dan Matinya Diskursus: Refleksi Hukum dan Demokrasi di Ambang Otoritarianisme Baru
Oleh: Akang Marta
Tahun 2025 segera berakhir, namun ia tidak meninggalkan kita dalam ketenangan. Sebaliknya, tahun ini menyisakan luka yang menganga pada tubuh bangsa: bencana ekologi yang kian masif akibat eksploitasi lahan di Sumatera dan Papua, korupsi yang bertransformasi menjadi dinasti kekeluargaan di daerah-daerah, hingga kemunduran supremasi hukum yang disebut-sebut sebagai "pembangkangan konstitusi." Dalam sebuah dialog kritis di "Ruang Tamu BDM," Sarwiis Bastaman, Sekretaris Jenderal Serikat Pengacara Indonesia (SPI), memberikan refleksi tajam bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Kita sedang menyaksikan transisi dari Rule of Law menuju Rule by Law, di mana negara perlahan-lahan berubah menjadi "Negara Swasta."
1. Mundurnya Jarum Jam Hukum: Dari Kepastian Menuju Kenisbian
Esensi dari sebuah negara demokrasi adalah hukum yang menjadi panglima. Namun, menurut Sarwiis, dunia hukum kita saat ini justru mengalami regresi. Hukum tidak lagi menjadi ukuran batas kekuasaan, melainkan menjadi alat bagi selera penguasa. Dalam dunia akademik, kita mengenal istilah Rule of Law, di mana setiap tindakan negara harus berlandaskan hukum yang adil. Namun, realita di Indonesia saat ini lebih mencerminkan Rule by Law—hukum digunakan sebagai instrumen untuk melegitimasi kepentingan subjektif penguasa.
Indikator kemunduran ini sangat nyata. Pertama, ketidakpastian hukum yang ekstrem. Aturan bisa berubah hampir setiap tahun demi mengakomodasi kebutuhan pragmatis. Kedua, masifnya korupsi yang tidak pernah surut meskipun institusi penegak hukum terus bekerja. Ketiga, adanya fenomena kriminalisasi yang lahir dari penafsiran hukum yang sewenang-wenang. Ketika hukum kehilangan independensinya dan para aktor hukumnya—termasuk organisasi advokat dan akademisi—terserap ke dalam pusaran kekuasaan, maka hukum hanya menjadi "remah-remah kue" yang dinikmati oleh elit.
2. Anatomi Penduduk "Jam Pasir" dan Rapuhnya Kelas Menengah
Salah satu alasan mengapa hukum dan demokrasi kita mudah dibajak adalah struktur sosial yang tidak sehat. Sarwiis menggambarkan Indonesia seperti "Jam Pasir": besar di elit, besar di rakyat bawah, namun sangat tipis di kelas menengah.
Idealnya, sebuah negara demokrasi yang stabil memiliki struktur "Trapesium," di mana kelas menengah—yang terdiri dari kaum intelektual, profesional, dan pengusaha mandiri—menjadi lapisan yang paling gemuk. Kelas menengah inilah yang seharusnya memiliki bargaining power (daya tawar) dan berfungsi sebagai pengawal kebijakan. Namun, ketika kelas menengah tipis dan dependen pada kekuasaan, mereka kehilangan independensinya. Lidah mereka menjadi kelu untuk mengkritik karena takut kehilangan akses ekonomi. Akibatnya, kontrol terhadap kekuasaan menghilang.
3. Bisnis Partai Politik: Lahirnya Oligarki dan ROI Politik
Fenomena yang paling mengkhawatirkan adalah pergeseran peran partai politik. Sarwiis menyebutnya sebagai "Bisnis Partai." Partai politik kini bukan lagi wadah kaderisasi ideologi, melainkan perusahaan penyedia "tiket" politik. Dalam ekosistem ini, jabatan publik diperlakukan sebagai investasi swasta.
Statistik menunjukkan bahwa biaya untuk menjadi anggota DPR kini bisa mencapai Rp50 miliar. Ini adalah angka yang mustahil dipenuhi oleh aktivis politik yang hanya bermodal idealisme. Akibatnya, rekrutmen politik jatuh ke tangan pemilik modal (oligark). Ketika terpilih, orientasi pejabat tersebut adalah Return on Investment (ROI) atau pengembalian modal. Inilah akar penyebab mengapa korupsi di tingkat kepala daerah (Gubernur, Bupati) hingga legislatif terus terjadi. Mereka bukan sedang mengabdi, mereka sedang berbisnis.
4. Matinya Oposisi dan Reduksi Demokrasi
Parlemen (DPR) yang seharusnya menjadi panggung diskursus dan devil's advocate terhadap kebijakan pemerintah, kini terjebak dalam disfungsi. Anggota DPR kehilangan otonomi individualnya karena tersandera oleh sistem fraksi dan ancaman Pergantian Antar Waktu (PAW). DPR kini hanya berfungsi sebagai "tukang stempel" kebijakan eksekutif.
Kekhawatiran Sarwiis diperkuat dengan munculnya gagasan untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD atau penunjukan Gubernur oleh Presiden. Baginya, ini adalah diagnosis yang salah terhadap penyakit korupsi. Masalahnya bukan pada sistem pemilihan langsungnya, melainkan pada pembiayaan politiknya. Mengembalikan pemilihan ke DPRD hanya akan memindahkan lokasi transaksi suap dari rakyat ke elit dewan, yang justru semakin menjauhkan rakyat dari kedaulatan. Ini adalah langkah mundur (backward) menuju era otoritarianisme lama.
5. Jalan Keluar: Memutus Rantai Dana Swasta dan Sanksi Partai
Untuk menghentikan laju kehancuran ini, diperlukan langkah-langkah ekstrem yang sistemik:
Nasionalisasi Pembiayaan Politik: Partai politik harus dibiayai sepenuhnya atau mayoritas oleh APBN/APBD. Dengan demikian, negara memiliki hak untuk melakukan audit ketat dan menerapkan merit system. Ini akan memungkinkan aktivis berprestasi namun tidak berharta untuk tetap bisa memimpin tanpa harus berhutang pada oligarki.
Hukuman Administratif bagi Partai: Jika seorang kepala daerah atau anggota legislatif terbukti korupsi, sanksi tidak boleh hanya dijatuhkan pada individu tersebut. Partai politik pengusungnya harus didiskualifikasi dari pencalonan di daerah tersebut pada periode berikutnya. Ini akan memaksa partai untuk melakukan skrining ketat terhadap moralitas calonnya.
Calon Independen di Legislatif: Membuka ruang bagi calon independen di DPR dapat membantu memecahkan kebuntuan partai politik. Hal ini memberikan alternatif bagi rakyat untuk memilih wakil yang tidak terikat pada kepentingan ketua umum partai.
Memperkuat DPD: Dewan Perwakilan Daerah (DPD) harus diberikan kewenangan yang setara dengan DPR agar legitimasi mereka yang berasal langsung dari provinsi benar-benar memiliki taring dalam kebijakan nasional.
Kesimpulan
Indonesia sedang berada di persimpangan jalan. Jika kita membiarkan "Negara Swasta" ini terus berkembang, maka demokrasi hanyalah sampul bagi kekuasaan absolut para pemilik modal. Kita membutuhkan diskursus yang jujur, keberanian kelas menengah untuk tidak lagi "mingkem," dan penegakan hukum yang bukan sekadar menjalankan peraturan, tapi mencari keadilan.
Reformasi 1998 memang telah mengubah lakonnya, namun jika sistem rekrutmen dan pembiayaan politiknya tetap sama, maka kita hanya sedang menonton drama otoritarianisme lama dengan judul yang baru. Ketenangan sejati bagi rakyat hanya bisa dibeli dengan integritas hukum, bukan dengan kepulan asap janji politik yang menguap begitu saja.
