Bekerja di Negeri Tanpa Moral
Bekerja di Negeri Tanpa Moral: Politik Kantor, Ilusi Meritokrasi, dan Seni Bertahan Hidup di Dunia Kerja Modern
Pada suatu fase dalam hidup profesional, banyak orang pernah berada pada titik keyakinan yang sama: bekerja dengan baik sudah cukup. Datang tepat waktu, menyelesaikan tugas dengan maksimal, tidak menjilat atasan, tidak bermain intrik, dan menjaga integritas dianggap sebagai fondasi yang kokoh untuk bertahan dan berkembang. Keyakinan ini tampak mulia, rasional, bahkan etis. Namun kenyataan sering kali datang dengan wajah yang berbeda. Dunia kerja, sebagaimana politik, tidak pernah benar-benar berdiri di atas moral semata.
Banyak profesional baru menyadari hal ini ketika mereka mulai tersingkir, dipinggirkan, atau dikalahkan oleh mereka yang tampak “biasa saja” secara kompetensi, namun unggul dalam membangun persepsi. Pada titik inilah muncul kesadaran pahit: kerja keras tanpa visibilitas adalah kerja yang sia-sia. Meritokrasi, yang sering diagungkan dalam slogan perusahaan dan modul HR, pada praktiknya sering kali hanya menjadi hiasan normatif. Yang bekerja di balik layar adalah politik—politik kantor yang senyap, sistemik, dan sering kali destruktif.
Politik kantor bukan fenomena yang terbatas pada perusahaan besar atau birokrasi pemerintahan. Ia hadir di mana pun ada struktur kekuasaan, kepentingan, dan sumber daya yang diperebutkan. Dari perusahaan keluarga, korporasi multinasional, hingga BUMN dan institusi publik, pola yang muncul nyaris serupa. Semua orang, dari level staf hingga direktur, pada satu titik pernah menjadi korban—atau pelaku—dari politik kantor.
Masalahnya, politik kantor jarang dibicarakan secara terbuka. Ia dianggap tabu, kotor, dan tidak etis. Akibatnya, banyak profesional yang memasuki dunia kerja dengan modal idealisme tinggi tetapi tanpa kecerdasan politik yang memadai. Mereka percaya bahwa hasil kerja akan “berbicara sendiri”. Padahal, dalam ekosistem organisasi modern, yang paling lantang sering kali bukan hasil, melainkan narasi tentang hasil tersebut.
Politik, dalam pengertian paling jujur, tidak bicara soal moral. Politik adalah keterampilan bertahan hidup. Ia adalah seperangkat strategi untuk mengamankan posisi, pengaruh, dan akses dalam situasi yang penuh ketidakpastian. Masalah muncul ketika keterampilan ini digunakan bukan untuk membangun, melainkan untuk menjatuhkan. Di sinilah politik berubah dari alat konstruktif menjadi senjata destruktif.
Salah satu bentuk paling umum dari politik kantor adalah apa yang bisa disebut sebagai preemptive strike. Ini bukan serangan frontal, melainkan upaya sistematis untuk melemahkan lawan sebelum lawan itu memiliki kesempatan untuk bersinar. Taktiknya halus: memainkan reputasi, membingkai narasi, menyebarkan cerita setengah benar, dan membentuk persepsi negatif secara perlahan. Korban sering kali baru menyadari ketika semuanya sudah terlambat—ketika reputasinya terlanjur rusak, dan pintu-pintu akses mulai tertutup.
Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa organisasi tidak hanya memiliki struktur formal yang tertulis di bagan HR. Di balik itu, ada struktur bayangan—shadow hierarchy—yang menentukan siapa benar-benar memiliki kuasa. Jabatan tidak selalu identik dengan pengaruh. Seorang staf biasa bisa memiliki kekuatan lebih besar dibanding manajer, jika ia memiliki kedekatan dengan pengambil keputusan. Inilah yang disebut sebagai proximity power.
Akses menjadi mata uang politik pertama. Akses bukan sekadar soal bisa masuk ke ruang rapat, tetapi tentang berada di ruang di mana keputusan dibentuk, bahkan sebelum rapat resmi digelar. Mereka yang mendapatkan informasi lebih awal memiliki keunggulan strategis. Sebaliknya, mereka yang selalu tahu belakangan bisa dipastikan berada di pinggiran kekuasaan.
Mata uang kedua adalah kepercayaan. Trust dibangun bukan hanya melalui kinerja, tetapi melalui interaksi sosial, kesamaan kepentingan, dan keselarasan agenda. Setiap percakapan, sekecil apa pun—di pantry, lift, atau saat makan siang—adalah transaksi politik yang bisa memperkuat atau melemahkan posisi seseorang. Kepercayaan di kantor bukan soal persahabatan tulus, melainkan soal sejauh mana seseorang dianggap aman dan berguna bagi kepentingan pihak lain.
Mata uang ketiga adalah persepsi. Inilah aspek paling krusial sekaligus paling berbahaya. Persepsi sering kali mengalahkan fakta. Narasi mengalahkan data. Orang yang mampu membingkai cerita tentang dirinya—dan orang lain—akan lebih unggul dibanding mereka yang hanya fokus pada pekerjaan teknis. Dunia kerja modern lebih menghargai signal daripada substance. Yang terlihat dianggap ada; yang tidak terlihat dianggap tidak bekerja.
Dari sinilah lahir kenyataan pahit: orang yang pandai berbicara sering kali lebih menang dibanding orang yang pandai bekerja. Ini bukan karena kerja keras tidak penting, tetapi karena kerja keras yang tidak dikomunikasikan tidak pernah masuk ke dalam kesadaran kolektif organisasi. Penilaian kinerja, KPI, dan appraisal sering kali hanya menjadi formalitas administratif. Keputusan sesungguhnya sudah dibuat jauh sebelum formulir diisi dan presentasi dilakukan.
Dalam banyak kasus, narasi tentang seseorang dibangun bahkan sebelum ia diberi kesempatan untuk berbicara. Kesalahan kecil dibesarkan, umpan balik dijadikan diagnosis, dan kegagalan diframing sebagai bukti ketidakmampuan struktural. Inilah yang disebut sebagai pre-determined narrative building. Ketika seseorang masuk ke ruang appraisal, ia sejatinya hanya sedang menjalani ritual pengesahan keputusan yang telah diambil sebelumnya.
Di titik ini, banyak orang mulai menyadari bahwa apa yang selama ini mereka sebut sebagai “menjilat” atau “cari muka” sebenarnya adalah bentuk lain dari impression management. Bukan soal kehilangan integritas, tetapi soal memahami bahwa organisasi bekerja dengan logika persepsi. Membangun impresi bukan berarti berbohong, melainkan memastikan bahwa kontribusi tidak tenggelam dalam kebisingan politik.
Namun, politik kantor tidak selalu harus destruktif. Dalam kondisi tertentu, ia justru menjadi alat transformasi. Perubahan besar dalam organisasi jarang berhasil hanya dengan argumen rasional di forum resmi. Ia membutuhkan koalisi, negosiasi informal, dan kerja politik yang matang. Banyak keputusan penting sebenarnya sudah “diamankan” melalui percakapan di luar ruang rapat. Rapat formal sering kali hanya berfungsi sebagai legitimasi.
Masalahnya, tidak semua orang siap dengan realitas ini. Banyak profesional yang memilih untuk bersikap netral, apatis, atau sekadar “bekerja dan pulang”. Pilihan ini sah, tetapi tidak bebas risiko. Dalam organisasi yang sedang berguncang, mereka yang pasif sering kali menjadi korban termudah—kambing hitam yang dikorbankan demi menyelamatkan struktur di atasnya.
Netralitas dalam politik kantor bukanlah posisi aman. Ia justru rentan. Tanpa proteksi politik, seseorang mudah dijadikan collateral damage. Oleh karena itu, kecerdasan politik bukan berarti harus selalu mengambil sisi, melainkan memahami kapan harus mendekat, kapan harus menjaga jarak, dan kapan harus mundur. Ini yang bisa disebut sebagai diplomatic positioning.
Diplomasi dalam politik kantor menuntut kemampuan untuk berjalan di antara kubu tanpa terjebak secara terbuka. Bagi sebagian orang, ini terdengar seperti kemunafikan. Namun dalam praktiknya, ini adalah seni menjaga relasi tanpa mengorbankan diri. Mereka yang berhasil sering kali tampil sebagai “kuda hitam”—tidak menonjol di awal, tetapi muncul kuat ketika situasi memuncak.
Semua ini menunjukkan bahwa dunia kerja bukanlah ruang netral. Ia adalah medan kontestasi. Di dalamnya, orang-orang berjuang bukan hanya untuk promosi, tetapi untuk bertahan. Ketika posisi terancam, loyalitas bisa berubah, teman bisa menjadi lawan, dan prinsip bisa dinegosiasikan. Dalam situasi seperti ini, mengharapkan moralitas murni adalah bentuk ken naifan yang mahal.
Apakah ini berarti kita harus meninggalkan nilai? Tidak juga. Tetapi nilai tanpa strategi adalah bunuh diri profesional. Kerja keras tetap penting, kompetensi tetap krusial, tetapi tanpa kecerdasan politik, semuanya bisa runtuh dalam sekejap. Kunci bertahan bukan memilih antara kerja atau politik, melainkan menggabungkan keduanya secara sadar.
Langkah paling dasar yang harus dipelajari setiap profesional adalah membaca peta kekuasaan. Ini tidak diajarkan di onboarding, tidak tertulis di SOP, dan tidak ada di modul pelatihan. Ia hanya bisa dipelajari melalui kepekaan, observasi, dan pengalaman. Siapa makan siang dengan siapa, siapa yang paling sering dimintai pendapat, siapa yang bisa mengubah keputusan setelah rapat—semua itu adalah petunjuk.
Pada akhirnya, politik kantor adalah realitas yang tidak bisa dihindari. Ia bukan soal menjadi jahat, tetapi soal menjadi sadar. Sadar bahwa organisasi adalah ekosistem kekuasaan. Sadar bahwa bertahan membutuhkan lebih dari sekadar niat baik. Dan sadar bahwa dalam dunia kerja modern, yang bertahan bukan yang paling benar, melainkan yang paling adaptif.
Kesadaran inilah yang harus dibawa ke masa depan. Bukan untuk menjadi predator, tetapi agar tidak terus menjadi korban. Karena di dunia tanpa moral, bertahan hidup adalah seni—dan seni itu bernama politik.
