Ads

Teror dan Chilling Effect: Ketika Ketakutan Mengganti Keberanian dalam Demokrasi

Teror dan Chilling Effect: Ketika Ketakutan Mengganti Keberanian dalam Demokrasi

Oleh: Akang Marta

Teror terhadap suara kritis bukan sekadar peristiwa individual yang berdiri sendiri. Ia adalah sinyal sosial, pesan simbolik, sekaligus peringatan sunyi bagi publik luas: berhati-hatilah jika ingin bersuara. Di titik inilah teror berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada ancaman fisik semata. Teror berpotensi menciptakan chilling effect, sebuah kondisi ketika kebebasan berekspresi secara formal masih dijamin, tetapi secara psikologis dan sosial dibekukan oleh rasa takut.

Chilling effect bukanlah konsep abstrak yang hanya hidup di ruang akademik. Ia nyata, terasa, dan bekerja perlahan dalam kesadaran kolektif. Ketika seseorang yang kritis diteror, yang gentar bukan hanya korban, tetapi juga ribuan orang lain yang menyaksikan. Mereka belajar satu hal: bersuara bisa berisiko. Dari situlah demokrasi mulai kehilangan denyutnya, bukan karena hukum berubah, melainkan karena warga memilih diam.

Dalam kasus teror terhadap para influencer dan figur publik yang mengkritik kebijakan negara, kita melihat bagaimana kritik yang disampaikan secara argumentatif dan bernada perbaikan justru dibalas dengan intimidasi simbolik. Ayam mati, telur busuk, coretan ancaman, dan surat intimidatif bukan sekadar tindakan iseng. Ia adalah bahasa kekuasaan informal yang bertujuan membungkam tanpa perlu berdebat, menakut-nakuti tanpa perlu menjelaskan.

Bahaya terbesar dari chilling effect adalah sifatnya yang tak kasat mata. Tidak ada larangan resmi, tidak ada sensor tertulis, tidak ada pasal baru yang disahkan. Namun, hasilnya sama: ruang publik menjadi sepi dari kritik. Orang mulai menimbang bukan lagi kebenaran argumen, melainkan risiko pribadi. Pertanyaannya bergeser dari “apakah ini benar?” menjadi “apakah ini aman bagi saya?”.

Ketika ketakutan mengambil alih, kualitas demokrasi menurun drastis. Demokrasi sejatinya hidup dari perbedaan pendapat, koreksi, dan dialog. Kritik berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial agar kekuasaan tidak berjalan tanpa arah. Namun ketika kritik dianggap ancaman, dan pengkritik diperlakukan sebagai musuh, maka yang lahir bukan stabilitas, melainkan stagnasi.

Fenomena chilling effect juga menciptakan ketimpangan suara. Mereka yang memiliki perlindungan, akses, atau kekuasaan mungkin tetap berani berbicara. Namun warga biasa, aktivis lokal, akademisi muda, atau relawan kemanusiaan akan berpikir dua kali. Akibatnya, yang terdengar di ruang publik hanyalah suara-suara aman, netral, atau bahkan menjilat. Kritik substantif perlahan menghilang.

Ironisnya, teror sering kali dibungkus dengan dalih menjaga ketertiban, stabilitas, atau persatuan. Padahal, persatuan yang dibangun di atas ketakutan bukanlah persatuan, melainkan kepatuhan semu. Ketertiban yang menyingkirkan kritik bukanlah ketertiban demokratis, melainkan keteraturan yang rapuh. Begitu tekanan dilepas, ketidakpuasan yang terpendam akan mencari jalan keluar dengan cara yang jauh lebih destruktif.

Chilling effect juga merusak hubungan antara negara dan warga. Ketika warga merasa tidak aman untuk berbicara, kepercayaan runtuh. Negara tidak lagi dipandang sebagai pelindung hak, melainkan sebagai entitas yang harus dihindari. Ini berbahaya, karena demokrasi hanya bisa bekerja jika ada rasa saling percaya antara penguasa dan yang dikuasai.

Dalam konteks penanganan kebijakan publik dan bencana, misalnya, kritik sering kali muncul dari empati. Kritik bukan untuk mempermalukan, tetapi untuk memperbaiki. Ketika kejanggalan disorot—entah soal distribusi bantuan, kesiapan infrastruktur, atau komunikasi pemerintah—itu adalah bentuk partisipasi warga. Namun jika partisipasi ini dibalas dengan teror, pesan yang sampai ke publik jelas: lebih aman diam daripada peduli.

Generasi muda, yang selama ini menjadi harapan demokrasi, juga terdampak langsung oleh chilling effect. Mereka hidup di era keterbukaan informasi, terbiasa berdiskusi, dan kritis terhadap narasi resmi. Namun ketika mereka melihat figur-figur yang vokal diteror, muncul dilema moral: antara keberanian dan keselamatan. Jika negara gagal melindungi mereka yang bersuara, maka idealisme muda bisa berubah menjadi sinisme.

Lebih jauh, chilling effect menciptakan normalisasi ketakutan. Teror yang awalnya mengejutkan, lama-kelamaan dianggap “risiko biasa”. Publik mulai berkata, “Makanya jangan terlalu vokal,” atau “Sudah tahu berisiko, kenapa bersuara.” Pernyataan semacam ini menunjukkan bahwa ketakutan telah diterima sebagai keniscayaan, bukan penyimpangan. Di titik ini, demokrasi benar-benar berada dalam bahaya.

Yang perlu dipahami, kritik terhadap kebijakan bukanlah serangan terhadap negara. Justru sebaliknya, kritik adalah upaya menyelamatkan negara dari kesalahan yang berulang. Negara yang kuat tidak alergi terhadap kritik, karena ia percaya pada kemampuannya untuk memperbaiki diri. Negara yang lemah justru melihat kritik sebagai ancaman eksistensial.

Mencegah chilling effect berarti memastikan bahwa teror tidak dibiarkan tanpa konsekuensi. Aparat penegak hukum harus hadir bukan hanya secara normatif, tetapi nyata dan tegas. Negara harus menunjukkan bahwa keselamatan warga yang bersuara adalah prioritas. Tanpa itu, jaminan kebebasan berekspresi hanya akan menjadi teks indah dalam undang-undang.

Pada akhirnya, pertanyaan mendasarnya sederhana: demokrasi seperti apa yang ingin kita bangun? Demokrasi yang sunyi karena takut, atau demokrasi yang riuh karena peduli? Jika teror dibiarkan menciptakan chilling effect, maka kita sedang bergerak menuju demokrasi prosedural tanpa roh. Sebaliknya, jika kritik dilindungi, meski tajam dan tidak nyaman, maka demokrasi akan tetap hidup.

Karena sejarah selalu mengajarkan satu hal: bukan teror yang membuat bangsa runtuh, melainkan ketakutan yang dibiarkan tumbuh tanpa perlawanan. Dan ketika ketakutan mengalahkan keberanian, saat itulah demokrasi benar-benar membeku.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel