Doa, Ekor Ikan, dan Pelajaran Iman yang Setengah Waspada
Doa, Ekor Ikan, dan Pelajaran Iman yang Setengah Waspada
Ditulis oleh: Akang Marta
Waktu Mongol masih sekolah di sebuah asrama Kristen, jam makan siang selalu jadi momen paling ramai sekaligus paling jujur. Jujur karena di situlah karakter manusia keluar tanpa sensor. Anak-anak yang siang hari hafal ayat, sore hari hafal antrean, dan malam hari hafal cara bertahan hidup. Meja makan panjang, piring berderet, dan satu menu yang hampir selalu sama: ikan.
Pembagian lauk adalah ujian iman tersendiri. Ikan dibagi rata, kata pengurus. Tapi definisi “rata” di asrama ternyata sangat fleksibel. Ada yang dapat daging tebal, ada yang dapat bagian tengah, dan entah kenapa, Mongol hampir selalu dapat ekor. Lengkap dengan tulang, sirip, dan harapan palsu. Teman di sebelahnya mengunyah dengan khidmat, sementara Mongol mengunyah dengan imajinasi.
Namun asrama adalah tempat belajar menerima. Mongol menatap ekor ikan di piringnya dengan wajah penuh keikhlasan. Ia teringat pelajaran rohani pagi itu: bersyukur dalam segala hal. Maka sebelum makan, ia menundukkan kepala dan mulai berdoa dengan suara pelan tapi penuh keyakinan. “Tuhan Yesus, terima kasih atas daging yang Engkau berikan hari ini,” katanya, meski yang ada di piring lebih mirip bukti sisa perjuangan ikan, bukan daging utuh.
Doa selesai. Mongol mengangkat kepala. Dan di situlah keajaiban itu terjadi. Ekor ikan yang sejak awal setia menemaninya, tiba-tiba berubah menjadi kepala. Bukan secara metaforis, bukan juga karena iman yang naik level. Mukjizat itu sederhana dan sangat manusiawi: ikan itu berpindah tangan. Entah kapan, entah bagaimana, tapi jelas bukan dari langit. Mukjizat, Pak. Mukjizat oper-oper.
Mongol terdiam. Antara ingin tertawa dan ingin menyadari bahwa Tuhan memang bekerja dengan cara yang misterius, sering kali lewat tangan manusia yang lapar. Sejak hari itu, ia mulai memahami bahwa iman dan realitas tidak selalu berjalan di jalur yang sama. Doa memang penting, tapi kewaspadaan juga bagian dari hikmat.
Pengalaman itu melekat kuat. Bukan karena kehilangan ekor ikan, tapi karena pelajaran hidup yang menyertainya. Mongol mulai belajar satu ayat yang kemudian ia tafsirkan dengan sangat kontekstual: “Berjaga-jagalah dan berdoalah.” Ayat itu terdengar agung di mimbar, tapi di meja makan asrama, artinya sangat praktis.
Sejak saat itu, setiap doa makan punya ritual baru. Kepala tetap tunduk, tangan tetap terlipat, tapi satu mata menutup, satu mata membuka. Iman jalan, ikan aman. Bukan karena tidak percaya, tapi karena percaya saja kadang tidak cukup kalau duduknya terlalu dekat dengan orang lapar.
Asrama mengajarkan Mongol banyak hal. Tentang kebersamaan, tentang kesederhanaan, dan tentang bagaimana manusia bisa sangat kreatif saat berhadapan dengan lauk terbatas. Ia belajar bahwa mukjizat tidak selalu menambah, kadang hanya memindahkan. Dan sering kali, yang paling cepat menikmati mukjizat adalah mereka yang paling sigap.
Cerita ikan itu mungkin terdengar lucu, tapi di situlah Mongol belajar membaca hidup. Bahwa dunia ini tidak selalu adil, tapi selalu bisa ditertawakan. Bahwa doa adalah bentuk kepercayaan, dan kewaspadaan adalah bentuk tanggung jawab. Keduanya tidak saling bertentangan, justru saling melengkapi.
Kini, ketika Mongol menceritakan kisah itu di panggung, tawa penonton pecah. Tapi di balik tawa itu, ada pesan sederhana yang tidak pernah ia khotbahkan, hanya ia ceritakan. Bahwa iman tidak membuat kita kebal dari kenyataan, tapi memberi kita cara untuk menyikapinya.
Dan sampai hari ini, setiap kali Mongol melihat ikan di piringnya, ada refleks kecil yang tak pernah hilang. Bukan trauma, bukan curiga, hanya senyum kecil yang mengingatkannya pada masa lalu. Pada doa yang tulus, ekor ikan yang jujur, dan kepala ikan yang datang tanpa diminta.
Karena hidup, seperti makan di asrama, penuh kejutan kecil. Ada yang manis, ada yang pahit, ada yang berpindah tanpa pamit. Maka berdoalah, tapi tetaplah sadar. Percaya, tapi jangan lengah. Sebab dalam hidup, iman yang baik selalu berjalan beriringan dengan mata yang setengah terbuka.