Ads

Menakar Masa Depan Nahdlatul Ulama: Refleksi Islah Lirboyo dan Jalan Terjal Menuju Kemandirian Khittah

Menakar Masa Depan Nahdlatul Ulama: Refleksi Islah Lirboyo dan Jalan Terjal Menuju Kemandirian Khittah

Ditulis oleh: Akang Marta




Peristiwa islah di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, bukan sekadar pertemuan seremonial antara dua pucuk pimpinan tertinggi Nahdlatul Ulama, melainkan sebuah manifestasi mendalam dari kematangan spiritual dan organisasional kaum sarungan dalam menghadapi badai internal. Kehadiran Rais Aam K.H. Miftachul Akhyar dan Ketua Umum Gus Yahya Cholil Staquf di satu meja, di bawah naungan doa para masyaikh dan Mustasyar, mengirimkan sinyal kuat kepada jutaan warga Nahdliyin bahwa Jam’iyyah ini memiliki mekanisme penyembuhan diri yang unik dan tak lekang oleh zaman. Dalam sejarah panjangnya, NU selalu diuji oleh perbedaan sudut pandang, namun pertemuan di Lirboyo membuktikan bahwa tradisi ketakziman kepada sesepuh tetap menjadi jangkar yang mampu menahan laju perpecahan. Rekonsiliasi ini menjadi sangat krusial karena ia dilakukan di sebuah pesantren yang memiliki akar sejarah kuat, menegaskan bahwa kembalinya NU ke jati dirinya haruslah dimulai dari rahim pesantren, bukan dari meja-meja birokrasi yang dingin dan teknokratis semata.

Kesepakatan untuk menggelar Muktamar sesegera mungkin adalah keputusan yang sangat visioner sekaligus berisiko jika tidak dikawal dengan hati-hati. Muktamar merupakan forum kedaulatan tertinggi yang tidak hanya berfungsi untuk memilih pemimpin, tetapi juga sebagai ruang kontemplasi kolektif untuk merumuskan arah organisasi di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks. Dengan melibatkan para Mustasyar, sesepuh, dan pengasuh pondok pesantren dalam penentuan teknis muktamar, PBNU sedang berupaya mengembalikan marwah kepemimpinan kolektif-kolegial yang sempat dirasa memudar oleh sebagian kalangan. Langkah ini secara tidak langsung merupakan pengakuan bahwa legitimasi kepemimpinan di NU tidak hanya bersandar pada struktur formal administratif, melainkan pada restu dan bimbingan moral para ulama sepuh yang selama ini menjadi penjaga gawang spiritual organisasi. Tanpa restu dari Syuriyah dan Mustasyar, kepemimpinan eksekutif di NU akan kehilangan ruh dan keberkahannya, sebuah konsep yang mungkin sulit dipahami dalam kacamata manajemen organisasi modern namun menjadi fondasi utama dalam dunia pesantren.

Simbolisme dalam pertemuan Lirboyo, seperti momen Gus Yahya yang menghampiri Rais Aam untuk mengembalikan tongkat yang tertinggal, membawa pesan emosional yang mendalam bagi publik. Tongkat dalam tradisi pesantren bukan sekadar alat bantu jalan, melainkan simbol otoritas, tanggung jawab, dan bimbingan. Tindakan Gus Yahya tersebut mencerminkan sikap tawadhu seorang murid kepada guru, sekaligus menegaskan bahwa kendali spiritual organisasi tetap berada di tangan Syuriyah. Islah ini menjadi oase di tengah kegelisahan warga NU yang sempat menyaksikan ketegangan struktural dalam beberapa waktu terakhir. Harapannya, harmonisasi ini bukan sekadar gencatan senjata sementara demi kepentingan muktamar, melainkan perubahan paradigma dalam mengelola perbedaan pendapat di masa depan agar tidak lagi menjadi konsumsi publik yang kontraproduktif. Kita harus mengingat bahwa ketika elit NU berselisih, yang paling terdampak adalah warga di akar rumput yang kehilangan arah rujukan moral.

Analisis yang disampaikan oleh Lukman Hakim Saifuddin mengenai perlunya menata ulang relasi NU dengan negara menjadi poin krusial dalam opini publik pasca-islah ini. Kemandirian organisasi adalah harga mati yang harus terus diperjuangkan. Sejarah mencatat bahwa NU selalu berada pada posisi paling kuat ketika ia mampu menjaga jarak yang proporsional dengan kekuasaan. Tidak terlalu melekat sehingga kehilangan daya kritisnya, namun tidak juga terlalu menjauh sehingga kehilangan peran strategisnya dalam pembangunan bangsa. Islah Lirboyo harus menjadi momentum bagi PBNU untuk mengevaluasi diri, terutama mengenai sejauh mana keterlibatan organisasi dalam urusan-urusan yang bersifat pragmatis-ekonomi yang berpotensi mencederai independensi dan marwah ulama di mata umat. Ketergantungan yang terlalu besar pada fasilitas negara seringkali menjadi "perangkap emas" yang secara perlahan dapat mengikis keberanian organisasi dalam menyuarakan kebenaran, terutama saat kebijakan pemerintah bersinggungan dengan kemaslahatan rakyat kecil.

Persoalan konsesi tambang yang menjadi salah satu materi aspirasi warga Nahdliyin merupakan ujian nyata bagi kepemimpinan hasil islah ini. Ada desakan moral yang sangat kuat agar NU kembali fokus pada urusan dasar yakni pendidikan, kesehatan, dan dakwah. Keterlibatan dalam industri ekstraktif seperti pertambangan, selain secara teknis bukan merupakan keahlian utama organisasi, juga membawa risiko kerusakan lingkungan yang secara fiqih telah diingatkan oleh Muktamar sebelumnya sebagai hal yang harus dihindari. Islah di Lirboyo akan terasa jauh lebih bermakna jika diikuti dengan keberanian untuk mendengar suara akar rumput yang menginginkan NU tetap bersih dari kepentingan korporasi yang berseberangan dengan semangat pelestarian alam dan keadilan sosial. Jika NU terjebak dalam bisnis tambang yang kontroversial, dikhawatirkan hal itu akan menciptakan konflik kepentingan yang akut dan melemahkan posisi tawar NU sebagai organisasi masyarakat sipil terbesar di dunia.

Mari kita bedah lebih dalam mengenai relasi tradisi dan modernisasi. NU seringkali terjepit di antara tuntutan untuk menjadi organisasi modern yang lincah dengan tradisi penghormatan kiai yang bersifat paternalistik. Islah Lirboyo menunjukkan bahwa tradisi sebenarnya bukan penghambat, melainkan solusi. Ketika aturan administratif (AD/ART) mengalami kebuntuan tafsir atau terjadi kemacetan komunikasi antar-organ, maka instrumen kearifan lokal berupa tabayyun dan sowan kepada kiai sepuh menjadi kunci pembuka. Namun, ke depan, NU tidak boleh hanya mengandalkan islah sesaat. Muktamar mendatang harus merumuskan sistem yang lebih ajeg agar fungsi Syuriyah sebagai pengendali kebijakan benar-benar berwibawa secara struktural, bukan hanya secara kultural. Perampingan fungsi atau penguatan wewenang Ahlu Halli wal Aqdi (AHWA) mungkin perlu didiskusikan kembali agar tidak ada lagi kesan bahwa Tanfidziyah berjalan sendiri tanpa kendali dari Dewan Syuriyah.

Dalam konteks ekonomi, aspirasi untuk mengembalikan konsesi tambang kepada negara sebenarnya adalah seruan untuk menyelamatkan jiwa organisasi. NU memiliki sejarah panjang dalam pemberdayaan ekonomi umat melalui koperasi dan penguatan pasar lokal di pedesaan. Memasuki bisnis tambang yang berisiko tinggi dan penuh dengan dinamika politik-hukum internasional justru bisa mendistraksi energi besar NU dari program-program kerakyatan. Sebagaimana ditegaskan dalam banyak forum kajian kiai, tasharruful imam 'alar ra'iyyah manuthun bil maslahah (kebijakan pimpinan terhadap rakyat/umat harus berorientasi pada kemaslahatan). Jika manfaat tambang lebih kecil dibandingkan kerusakan sosial dan alam yang ditimbulkannya, maka langkah elegan untuk mengembalikannya adalah bukti bahwa NU tidak "lapar" akan kekuasaan materi, melainkan haus akan rida Ilahi dan kemaslahatan manusia.

Langkah menuju Muktamar yang sah dan legitimat memang memerlukan tahapan administratif melalui Rapat Pleno, Munas Alim Ulama, dan Konbes NU. Namun, lebih dari sekadar urusan prosedur, proses menuju Muktamar ini harus menjadi ruang pendidikan politik bagi warga Nahdliyin. Bagaimana memadukan antara manajemen organisasi modern yang menuntut efisiensi dan transparansi dengan tradisi penghormatan kepada kiai yang menuntut ketenangan dan keikhlasan. Jika kedua elemen ini dapat disinkronkan tanpa harus saling meniadakan, maka NU pasca-islah Lirboyo akan tampil sebagai organisasi yang jauh lebih tangguh dan siap menghadapi dinamika abad kedua kelahirannya. Kehadiran tokoh seperti K.H. Ma'ruf Amin dan para sesepuh Lirboyo memberikan pesan bahwa transisi kepemimpinan dan penyelesaian konflik di NU harus selalu berada dalam koridor akhlakul karimah.

Secara sosiologis, islah ini meredam potensi friksi di tingkat wilayah dan cabang. Kita tahu bahwa gejolak di pusat seringkali merembet ke daerah, menciptakan polarisasi di kalangan pengurus wilayah (PWNU) dan pengurus cabang (PCNU). Dengan adanya kesepakatan Lirboyo, maka energi warga di daerah yang tadinya tersedot untuk ikut campur dalam pusaran konflik elit, kini bisa dialihkan kembali untuk mengurus umat di desa-desa. Inilah esensi dari keberadaan NU: menjadi pelindung bagi mereka yang lemah dan menjadi pemberi solusi bagi persoalan kemanusiaan. Muktamar yang akan datang tidak boleh hanya bicara soal siapa jadi ketua umum, tetapi harus bicara soal bagaimana NU merespons perubahan iklim, disrupsi teknologi AI, dan ancaman terhadap kedaulatan pangan.

Publik kini menanti dengan optimisme namun tetap waspada. Islah di Lirboyo adalah langkah awal yang sangat baik, namun pembuktian sesungguhnya terletak pada bagaimana keputusan-keputusan besar di Muktamar nanti diambil. Apakah muktamar akan menjadi ajang kontestasi kekuasaan belaka, ataukah benar-benar menjadi forum untuk mengembalikan NU ke Khittah 1926 dengan semangat kemandirian yang utuh. Keberhasilan para sesepuh dalam mendamaikan dua pimpinan tertinggi ini harus dihargai dengan komitmen jajaran pengurus di bawahnya untuk menghentikan segala bentuk faksionalisme. Fokus utama harus dikembalikan pada pelayanan umat, menjaga moderasi beragama, dan memastikan bahwa Islam Ahlussunnah wal Jamaah terus menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.

Kita juga perlu menggarisbawahi peran pesantren sebagai mediator. Fakta bahwa pertemuan ini terjadi di Lirboyo, bukan di hotel mewah atau kantor pemerintahan, mengandung filosofi mendalam. Pesantren adalah tempat yang steril dari kepentingan politik praktis jangka pendek. Di pesantren, yang ada hanyalah cahaya ilmu dan ketulusan doa. Ke depan, peran pesantren sebagai "ruang ketiga" dalam penyelesaian konflik bangsa harus terus diperkuat. NU telah memberikan contoh nyata bagaimana kearifan lokal pesantren mampu meredam ego sektoral demi kepentingan yang lebih besar, yakni keutuhan jam'iyyah dan jamaah.

Akhirnya, peristiwa di Lirboyo memberikan pelajaran berharga bagi seluruh elemen bangsa bahwa musyawarah dan konsultasi dengan mereka yang memiliki kejernihan nurani adalah kunci dalam memecah kebuntuan politik maupun organisasi. NU telah menunjukkan bahwa di atas segala aturan organisasi, ada etika dan adab yang menjadi pemandu. Islah ini adalah kemenangan bagi warga NU, sebuah kemenangan yang tidak menyingkirkan siapa pun, melainkan merangkul semua pihak demi keutuhan rumah besar umat. Dengan semangat ini, Muktamar mendatang diharapkan melahirkan kepemimpinan yang tidak hanya kuat secara manajerial, tetapi juga teduh secara spiritual, sehingga NU tetap tegak berdiri sebagai pilar penyangga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan penjaga Islam yang ramah, moderat, dan inklusif.

Warga NU di seluruh penjuru dunia kini berharap agar momentum ini tidak disia-siakan. Islah harus diikuti dengan langkah konkret: pembersihan organisasi dari anasir-anasir yang hanya mencari keuntungan pribadi, penguatan kembali lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan Ma'arif, serta peningkatan kualitas layanan kesehatan di RS-RS NU. Ketika organisasi sibuk berkonflik, masyarakat miskin yang membutuhkan pendampingan kehilangan pelindungnya. Maka, Muktamar secepatnya adalah jalan keluar untuk memastikan bahwa mesin organisasi kembali berjalan pada rel yang benar. Mari kita kawal hasil kesepakatan Lirboyo ini dengan doa dan sikap kritis, agar NU tetap menjadi rumah yang nyaman bagi seluruh umat manusia.



Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel