Ads

Negara, Diskusi, dan Hak Kita: Opini Publik tentang Pembungkaman Kreativitas dan Ruang Partisipasi

Negara, Diskusi, dan Hak Kita: Opini Publik tentang Pembungkaman Kreativitas dan Ruang Partisipasi

Ditulis oleh: Akang Marta



Negara Republik Indonesia, sejak lahirnya pada 17 Agustus 1945, diharapkan hadir sebagai pelindung sekaligus fasilitator bagi warganya dalam menikmati hak-hak dasar yang dijamin oleh konstitusi. Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 jelas menegaskan hak setiap warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan adanya ketimpangan serius antara norma konstitusional dan praktik nyata di berbagai daerah, terutama ketika urusan terkait diskusi publik, penerbitan buku, maupun kegiatan budaya dan intelektual menjadi terhambat atau bahkan dibubarkan oleh aparat negara. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah negara benar-benar menghargai warganya yang kritis dan cerdas, atau justru merasa terancam oleh mereka?

Kasus yang belakangan mencuat, yaitu pembubaran diskusi buku di Madiun, menjadi contoh nyata bagaimana negara menggunakan dalih keamanan untuk membatasi ruang partisipasi publik. Dalam narasi yang ramai diperbincangkan, terlihat bagaimana aparat—mulai dari Babinsa, aparat desa, polisi, hingga pejabat lokal—bersinergi untuk menghentikan kegiatan yang seharusnya merupakan ekspresi sah dari hak asasi warga. Alasan yang digunakan seringkali tidak jelas, misalnya menyebut bahwa diskusi atau nobar buku menimbulkan “keresahan masyarakat”. Padahal, menurut pengamatan para narasumber dan peserta diskusi, tidak ada indikasi nyata adanya keresahan tersebut. Hal ini menunjukkan adanya subjektivitas aparat yang dipaksakan menjadi narasi objektif, sehingga legitimasi tindakan mereka tampak seolah-olah sah secara hukum.

Dari perspektif demokrasi, tindakan semacam ini sangat berbahaya. Demokrasi yang sehat menuntut adanya ruang publik yang bebas bagi pertukaran gagasan, kritik, dan evaluasi terhadap kebijakan. Ketika ruang-ruang ini dibatasi, bahkan dengan dalih keamanan, esensi demokrasi itu sendiri tergerus. Pembatasan ini juga berdampak terhadap pembentukan generasi muda yang kritis dan berpikiran mandiri. Sebagai contoh, ketika diskusi buku atau pembedahan film dilarang, masyarakat—terutama kaum intelektual muda—tidak mendapatkan akses untuk mengembangkan kapasitas berpikir kritis dan pemahaman yang mendalam tentang isu-isu sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Dengan kata lain, pembungkaman ini bukan hanya masalah administratif atau hukum, tetapi juga masalah pendidikan politik dan budaya demokrasi yang lebih luas.

Sejumlah komentar dari publik yang mengikuti peristiwa ini melalui media sosial memperkuat pandangan bahwa tindakan negara cenderung represif. Seorang warga dari Medan menyebutkan bahwa pembungkaman tersebut merupakan “total kontrol pemerintah terhadap masyarakat untuk memperkuat pemerintah yang sedang berjalan”, sementara seorang peserta dari Bali mengamati bahwa pembatasan ini mirip dengan praktik Orde Baru, yaitu pemerintahan otoriter yang tidak toleran terhadap perbedaan pendapat. Argumen ini menunjukkan bahwa publik semakin sadar akan pola yang berulang dan melihatnya sebagai ancaman terhadap kebebasan sipil. Apalagi, pola ini tidak hanya terjadi sekali, melainkan berulang di berbagai daerah, dari pembubaran diskusi buku hingga larangan nobar film, yang mana semua itu dilakukan dengan alasan yang tampak sewenang-wenang.

Selain itu, fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan antara aparat di tingkat bawah dan tingkat atas. Narasumber mengungkapkan bahwa aparat di bawah maupun atas seringkali memiliki pola pikir yang sama: kurang budaya baca, cenderung menekankan kekuasaan dan dominasi daripada substansi. Mereka yang memegang kekuasaan seringkali menggunakan instrumen negara untuk mengawetkan relasi kuasa oligarki, sementara masyarakat dijadikan konsumen pasif dari kebijakan dan hiburan yang dikontrol. Kondisi ini menciptakan ekosistem politik yang oligarkis dan transaksional, di mana rakyat lebih puas dengan bantuan sosial atau konten populer di media, daripada mampu menilai kebijakan secara kritis. Singkatnya, pembungkaman ruang publik ini bukan semata-mata soal keamanan, tetapi juga soal kontrol ide dan opini publik untuk melanggengkan status quo politik.

Penting juga dicatat bahwa setiap larangan atau pembubaran semacam ini memiliki efek paradoks yang justru menguntungkan pihak yang terlarang. Dalam kasus buku Riset Indonesia yang dibubarkan di Madiun, misalnya, tindakan aparat justru meningkatkan rasa penasaran publik dan memperluas jangkauan pembaca buku tersebut. Fenomena ini dikenal sebagai “Streisand effect”, di mana upaya sensor atau pembungkaman justru meningkatkan perhatian publik terhadap hal yang ingin disembunyikan. Hal ini menunjukkan bahwa pembatasan hak tidak selalu efektif dalam mengendalikan opini atau penyebaran gagasan, melainkan berpotensi melahirkan resistensi kreatif dari masyarakat.

Dari sudut pandang hukum, upaya pembubaran diskusi buku atau nobar film jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28 yang menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul. Lebih jauh lagi, tindakan represif semacam ini mencederai prinsip negara hukum (rechtsstaat) dan menimbulkan risiko “normalisasi” praktik otoriter dalam sistem demokrasi. Ketika aparat menggunakan dalih keamanan untuk menutup ruang diskusi, tidak ada mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, sehingga pelanggaran hak asasi menjadi sulit dikontrol atau dikritisi. Pola ini mengingatkan kita pada praktik Orde Baru, di mana kebebasan sipil sangat dibatasi, kritik terhadap pemerintah dianggap subversif, dan kontrol ideologi diterapkan secara ketat.

Opini publik juga mengarah pada pertanyaan mendasar: Apa yang ditakutkan oleh negara terhadap warganya yang cerdas dan kritis? Dalam narasi diskusi ini, disebutkan bahwa negara seolah takut dengan gagasan, pemikiran kritis, dan inovasi yang menantang status quo. Negara yang ideal seharusnya mendorong warganya untuk berpartisipasi aktif dalam perdebatan publik, bukan membatasi atau menakut-nakuti mereka. Ketakutan terhadap individu atau kelompok yang berpikiran kritis justru menunjukkan ketidakmampuan sistem untuk menghadapi perbedaan pendapat secara sehat. Kondisi ini membahayakan masa depan demokrasi, karena generasi muda akan tumbuh dalam atmosfer ketakutan dan pembungkaman, bukan pembelajaran kritis dan demokratis.

Selain itu, tindakan pembatasan ruang publik juga mengindikasikan lemahnya kapasitas aparat dalam memahami prinsip-prinsip hak asasi manusia. Seperti yang disebutkan oleh narasumber, aparat seringkali mengklaim bahwa kegiatan tertentu menimbulkan keresahan, tetapi tidak ada mekanisme investigasi atau evaluasi objektif yang memastikan klaim tersebut benar. Ketika aparat bertindak berdasarkan penilaian subjektif tanpa prosedur jelas, hal ini menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan. Akibatnya, masyarakat yang seharusnya terlindungi oleh hukum menjadi rentan terhadap tindakan sewenang-wenang.

Dari perspektif sosial-politik, fenomena ini memperlihatkan bagaimana oligarki menggunakan sistem demokrasi untuk mempertahankan dominasi. Politik transaksional, di mana pemilih dipengaruhi oleh bansos, kampanye populis, atau hiburan politik, membuat masyarakat kurang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Dalam konteks ini, pembungkaman diskusi buku atau nobar film menjadi alat untuk memastikan bahwa hanya informasi tertentu yang dikonsumsi publik, sehingga wacana kritis tidak berkembang. Dengan kata lain, pembatasan ini bukan sekadar masalah administratif, melainkan bagian dari strategi pengendalian ideologi dan opini publik.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah potensi pembodohan generasi muda. Jika ruang diskusi dan akses terhadap pengetahuan terus dibatasi, generasi berikutnya akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, memahami isu sosial-politik secara mendalam, dan menilai kebijakan publik secara objektif. Pendidikan politik yang sehat dan masyarakat yang kritis adalah fondasi penting bagi demokrasi yang matang. Tanpa itu, negara berisiko menghasilkan warga yang pasif, mudah terpengaruh propaganda, dan sulit menuntut pertanggungjawaban pemerintah.

Dalam konteks ini, peran buku, film, dan media lain menjadi sangat penting. Buku Riset Indonesia, misalnya, menghadirkan gagasan yang mampu menstimulasi diskusi kritis tentang kemiskinan, ketidakadilan, dan kerusakan lingkungan. Ketika pemerintah atau aparat membatasi akses terhadap karya semacam ini, mereka sebenarnya membatasi warganya untuk memahami realitas sosial secara mendalam dan meresponsnya dengan solusi yang konstruktif. Dengan kata lain, pembungkaman tidak hanya merugikan para penulis atau penyelenggara diskusi, tetapi juga merugikan masyarakat luas.

Selain itu, fenomena ini menunjukkan adanya masalah struktural dalam tata kelola demokrasi di Indonesia. Aparat yang seharusnya melindungi hak-hak sipil justru berfungsi sebagai alat kontrol, sementara sistem politik oligarkis memastikan bahwa kekuasaan tetap berada di tangan kelompok tertentu. Pola ini menciptakan ketergantungan masyarakat pada bansos, kampanye populis, dan hiburan politik, sehingga kritisisme dan partisipasi aktif publik berkurang. Demokrasi yang sehat seharusnya menumbuhkan keseimbangan antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial, bukan membiarkan ketakutan dan kontrol berlebihan mendominasi.

Lebih jauh lagi, pembatasan ruang publik memiliki implikasi serius terhadap kualitas institusi negara. Ketika aparat menggunakan kekuasaannya untuk membungkam warganya, kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan dan kepolisian menurun. Warga menjadi skeptis terhadap motif di balik kebijakan dan tindakan aparat, sehingga legitimasi negara dalam melaksanakan fungsi-fungsinya terganggu. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menimbulkan alienasi politik, di mana masyarakat menarik diri dari partisipasi aktif dan menyerahkan sepenuhnya nasibnya kepada elit penguasa.

Fenomena pembungkaman juga menimbulkan dilema etis dan moral. Seorang warga dari Bali menekankan bahwa diskusi publik adalah sarana untuk menyampaikan aspirasi, sementara aparat yang membubarkan kegiatan tersebut menunjukkan ketidakmampuan untuk menerima kritik. Dalam demokrasi, kritik dan perbedaan pendapat bukan ancaman, melainkan peluang bagi perbaikan. Namun, ketika kritik dianggap ancaman, negara gagal menjalankan fungsi dasarnya sebagai pelindung hak sipil dan demokrasi.

Selain dampak langsung terhadap demokrasi dan pendidikan publik, fenomena ini juga berimplikasi pada persepsi global terhadap Indonesia. Negara yang menutup ruang partisipasi, membatasi akses terhadap pengetahuan, dan menggunakan dalih keamanan untuk menekan warganya akan dipandang sebagai negara yang kurang menghargai hak asasi manusia. Hal ini bisa memengaruhi reputasi Indonesia di forum internasional, termasuk peringkat demokrasi dan kebebasan sipil yang dikeluarkan oleh lembaga seperti Freedom House. Penurunan skor demokrasi bukan sekadar angka, melainkan refleksi nyata dari kondisi kebebasan sipil yang semakin tergerus.

Penting untuk dicatat bahwa pembatasan ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Narasumber menekankan bahwa tindakan pembungkaman seringkali dilakukan dengan pola yang sama: aparat hadir lengkap, dari tingkat desa hingga kabupaten, untuk memastikan kegiatan tertentu tidak berlangsung. Hal ini menunjukkan koordinasi yang sistematis, bukan sekadar kesalahan individu. Dengan kata lain, ada pola struktural yang mendasari tindakan represif ini, dan pola tersebut berulang di berbagai daerah, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan normalisasi praktik otoriter di era demokrasi.

Oleh karena itu, langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mengatasi fenomena ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga normatif dan struktural. Pertama, aparat negara perlu diberikan pendidikan dan pemahaman mendalam tentang hak asasi manusia dan prinsip demokrasi, sehingga mereka mampu membedakan antara kegiatan yang benar-benar meresahkan masyarakat dan kegiatan yang hanya bersifat ekspresi kreatif atau intelektual. Kedua, harus ada mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, sehingga tindakan pembubaran atau pembatasan ruang publik tidak terjadi secara sewenang-wenang. Ketiga, masyarakat harus diberdayakan untuk memahami hak-hak konstitusional mereka, sehingga dapat menuntut perlindungan dan mengawasi praktik-praktik represif secara efektif.

Dalam konteks pendidikan dan literasi politik, peristiwa ini menekankan perlunya penguatan budaya baca dan diskusi di masyarakat. Buku, film, dan media lain bukan sekadar hiburan, tetapi sarana untuk menumbuhkan kritisisme, empati, dan pemahaman mendalam tentang persoalan sosial. Pembatasan terhadap media ini sama artinya dengan pembatasan terhadap kemampuan masyarakat untuk berpikir kritis, membuat keputusan informasional, dan berpartisipasi aktif dalam demokrasi. Dengan kata lain, membungkam diskusi publik sama dengan merampas hak generasi muda untuk berkembang secara intelektual dan politik.

Fenomena ini juga menunjukkan adanya ketidaksetaraan dalam penegakan hukum dan kebijakan. Aparat dapat dengan mudah membubarkan kegiatan yang mereka nilai “meresahkan”, tetapi tidak ada mekanisme untuk mengevaluasi objektivitas klaim tersebut. Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum dan mengurangi rasa keadilan di masyarakat. Ketidakpastian semacam ini bisa menjadi sumber frustrasi, apatisme politik, dan bahkan radikalisasi jika masyarakat merasa suaranya tidak didengar dan haknya diabaikan.

Selain itu, penting dicatat bahwa fenomena ini bukan sekadar masalah lokal, tetapi mencerminkan tren nasional. Pola pembungkaman, pembatasan hak, dan kontrol terhadap ruang publik telah berulang dari masa ke masa, dari Orde Baru hingga era demokrasi saat ini. Dengan kata lain, ada kesinambungan dalam praktik represif yang melampaui rezim politik tertentu. Kesinambungan ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan sekadar kebijakan individual, tetapi masalah struktural yang melekat dalam tata kelola negara.

Sebagai kesimpulan, kasus pembubaran diskusi buku dan pembatasan ruang publik di Indonesia menjadi cermin dari tantangan serius yang dihadapi demokrasi kita. Negara seharusnya menjadi pelindung hak asasi, fasilitator partisipasi publik, dan pendorong kritisisme intelektual. Namun, kenyataannya menunjukkan adanya pembungkaman, intimidasi, dan kontrol yang berlebihan terhadap masyarakat, dengan dalih keamanan atau ketertiban. Fenomena ini mengancam pendidikan politik, perkembangan generasi muda, kualitas institusi negara, dan reputasi demokrasi Indonesia di mata dunia.

Maka dari itu, langkah konkret yang harus diambil meliputi: peningkatan pendidikan hak asasi dan demokrasi bagi aparat, mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, pemberdayaan masyarakat dalam memahami dan menuntut haknya, serta penguatan budaya baca dan diskusi kritis. Tanpa langkah-langkah ini, negara berisiko menghasilkan generasi yang pasif, masyarakat yang mudah dikendalikan, dan demokrasi yang hanya formalitas tanpa substansi. Negara yang demokratis adalah negara yang tidak takut pada warganya yang cerdas dan kritis, melainkan mendorong mereka untuk berpikir, berinovasi, dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan bangsa. Pembungkaman dan kontrol berlebihan bukan solusi; justru hal itu merupakan ancaman bagi masa depan demokrasi dan hak asasi di Indonesia.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel