Ads

Menggugat Keadilan di Balik Standarisasi: Bedah Tuntas PP Nomor 49 Tahun 2025 dan Fenomena UMP 2026

 

Menggugat Keadilan di Balik Standarisasi: Bedah Tuntas PP Nomor 49 Tahun 2025 dan Fenomena UMP 2026 

Ditulis oleh: Akang Marta








Penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan telah menjadi epicenter perdebatan nasional yang melintasi berbagai lapisan masyarakat, mulai dari ruang-ruang rapat korporasi hingga warung kopi di pinggiran kota. Sebagai instrumen hukum yang bersifat nasional dan mengikat secara absolut, kebijakan ini hadir dengan janji besar: menciptakan stabilitas dan standarisasi pengupahan di seluruh pelosok negeri. Pemerintah berargumen bahwa kepastian hukum adalah kunci untuk menarik investasi dan menjaga iklim usaha yang kondusif. Namun, bagi jutaan pekerja di akar rumput, kebijakan ini justru dilihat sebagai sebuah langkah yang berpotensi memperdalam jurang ketimpangan ekonomi antarwilayah yang sudah menganga selama dekade terakhir.

Eksistensi PP ini memunculkan pertanyaan fundamental mengenai hakikat keadilan sosial. Ketika sebuah aturan diberlakukan secara kaku dari pusat, apakah ia mampu menangkap denyut nadi ekonomi yang berbeda di setiap jengkal tanah air? Diskursus yang berkembang saat ini tidak lagi sekadar angka-angka rupiah, melainkan tentang bagaimana negara menyeimbangkan antara kepentingan makroekonomi dengan kelayakan hidup mikro setiap individu pekerjanya.

Paradoks Ketimpangan: Jakarta Melaju, Jawa Barat Tertinggal

Data UMP 2026 yang telah diumumkan menjadi bukti empiris yang sulit terbantahkan mengenai adanya jurang ekonomi yang ekstrim. Di satu sisi, DKI Jakarta tampil sebagai "mercusuar" kesejahteraan dengan angka Rp 5.729.876. Angka ini mencerminkan pengakuan atas tingginya biaya hidup dan status Jakarta sebagai pusat gravitasi ekonomi nasional. Namun, di sisi lain, kita melihat Jawa Barat terjebak di angka Rp 2.317.601, menjadikannya provinsi dengan UMP terendah di Indonesia.

Ketimpangan ini menciptakan sebuah paradoks geografis. Bayangkan seorang buruh yang bekerja di sebuah pabrik di Bekasi atau Depok—wilayah yang secara administratif masuk ke Jawa Barat namun secara fungsional merupakan bagian tak terpisahkan dari metropolitan Jakarta. Harga beras, tarif transportasi, dan biaya kontrakan di wilayah penyangga ini seringkali hampir identik dengan Jakarta. Namun, karena sekat administratif yang ditegaskan oleh PP 49/2025, buruh di wilayah tersebut harus menerima upah yang tidak sampai separuh dari rekannya yang hanya menyeberang jalan ke batas wilayah Jakarta.

Sentimen publik yang muncul adalah rasa ketidakadilan yang akut. Masyarakat di wilayah dengan UMP rendah merasa dianaktirikan oleh sistem yang dianggap hanya memihak pada pemilik modal di daerah industri padat karya. Fenomena ini memicu kekhawatiran akan terjadinya "migrasi sosial" besar-besaran atau gejolak protes yang berkelanjutan di daerah-daerah penyangga ekonomi, karena upah minimum yang ditetapkan dianggap tidak lagi mampu menutup biaya hidup paling dasar (Kebutuhan Hidup Layak).

Sentralisasi Pengupahan: Ancaman bagi Marwah Otonomi

Lahirnya PP 49/2025 menandai pergeseran signifikan dalam tata kelola pemerintahan, yakni kembalinya semangat sentralisme yang kuat dalam urusan pengupahan. Dengan sifatnya yang mengikat secara nasional, ruang gerak Pemerintah Daerah (Gubernur dan Bupati/Wali Kota) untuk menyesuaikan upah berdasarkan kekhasan lokal menjadi sangat sempit, atau bahkan hilang sama sekali.

Kebijakan "satu komando" ini dikritik keras karena dianggap kurang sensitif terhadap fluktuasi harga kebutuhan pokok yang bersifat lokalistik. Indonesia adalah negara kepulauan dengan rantai pasok yang kompleks. Harga komoditas di Aceh tentu berbeda dengan di Papua atau Jawa. Ketika formula pengupahan dikunci dari pusat melalui PP ini, maka keunikan tantangan ekonomi daerah cenderung terabaikan.

Dampak politik dari kebijakan ini mulai terlihat. Keterlambatan Aceh dan Papua Pegunungan dalam mengumumkan besaran UMP 2026 bukan sekadar masalah administratif belaka. Ini adalah indikasi kuat adanya resistensi atau setidaknya kesulitan besar di tingkat daerah untuk menyelaraskan formula kaku dari pemerintah pusat dengan tuntutan buruh lokal yang hidup di bawah tekanan ekonomi yang berbeda. Di Papua, misalnya, biaya logistik yang sangat mahal menuntut standar upah yang lebih tinggi agar daya beli masyarakat tetap terjaga. Jika pusat memaksakan formula yang tidak sinkron dengan realitas geografis, maka stabilitas sosial di daerah dipertaruhkan.

Perlombaan Melawan Inflasi: Kesejahteraan yang Stagnan?

Salah satu fokus utama opini publik terhadap PP 49/2025 adalah kemampuannya dalam menjaga daya beli masyarakat di tengah ancaman inflasi tahun 2026. Nominal upah yang naik setiap tahun seringkali hanya menjadi angka hiasan jika tidak dibarengi dengan kontrol harga barang. Publik mempertanyakan: apakah kenaikan UMP ini adalah kenaikan riil atau hanya sekadar penyesuaian angka nominal untuk mengimbangi kenaikan harga pangan dan energi?

Secara rasional, jika kenaikan UMP hanya berada di kisaran angka tunggal (misalnya 5-7%), sementara inflasi pangan dan biaya pendidikan melambung di atas angka tersebut, maka secara riil kesejahteraan buruh sebenarnya mengalami penurunan. Buruh terjebak dalam siklus "hidup untuk bekerja", di mana seluruh pendapatan habis hanya untuk konsumsi dasar tanpa ada ruang untuk tabungan atau investasi masa depan.

Di sisi lain, kebijakan ini juga menghimpit sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Berbeda dengan perusahaan multinasional yang memiliki struktur modal kuat, UMKM seringkali beroperasi dengan margin keuntungan yang sangat tipis. Kewajiban mengikuti standar nasional yang kaku tanpa adanya skema subsidi atau insentif bagi pemberi kerja kecil dapat memicu gelombang PHK atau justru mendorong pertumbuhan sektor informal yang tidak terlindungi hukum. Ini adalah simalakama: buruh butuh upah tinggi, namun pemberi kerja kecil butuh biaya operasional yang terjangkau.

Menakar Keadilan Melalui Perbandingan Visual

Untuk memahami betapa kontrasnya realitas pengupahan di bawah PP 49/2025, kita dapat melihat data yang telah dirilis oleh 36 provinsi. Perbedaan ini mencerminkan bagaimana "wajah" ekonomi Indonesia saat ini:

PeringkatProvinsiBesaran UMP 2026Analisis Singkat
Top 1DKI JakartaRp 5.729.876Standar tertinggi, pusat ekonomi.
Top 2Papua SelatanRp 4.508.850Penyesuaian biaya logistik tinggi.
Top 3PapuaRp 4.436.283Wilayah dengan tantangan geografis.
Bottom 3Jawa TimurRp 2.446.880Basis industri namun upah rendah.
Bottom 2Jawa TengahRp 2.327.386Wilayah dengan biaya hidup relatif rendah namun kompetitif.
Bottom 1Jawa BaratRp 2.317.601Titik terendah, memicu kekhawatiran buruh industri.

Data di atas menunjukkan bahwa Indonesia bagian timur, khususnya wilayah Papua, memiliki angka yang cukup tinggi dibandingkan wilayah lain di luar Jakarta. Hal ini mengonfirmasi bahwa pemerintah menyadari adanya biaya hidup yang mahal di sana. Namun, yang menjadi anomali besar adalah wilayah Pulau Jawa (Jabar, Jateng, Jatim) yang menjadi basis manufaktur nasional namun justru memiliki standar upah yang paling rendah. Ini memicu narasi di tengah masyarakat bahwa Pulau Jawa sedang dijadikan ladang "buruh murah" demi menarik investasi manufaktur global.

Kesimpulan dan Harapan Masyarakat

Secara keseluruhan, masyarakat melihat PP 49/2025 sebagai pedang bermata dua yang sangat tajam. Di satu sisi, kehadiran aturan ini memberikan kepastian hukum yang sangat dibutuhkan oleh dunia usaha. Dengan adanya standar nasional, diharapkan tidak terjadi lagi persaingan tidak sehat antar daerah yang saling menurunkan upah demi menarik investor (war of wages). Standarisasi ini juga memudahkan pemerintah pusat dalam melakukan pemantauan ekonomi secara makro.

Namun, di sisi lain, aturan ini dianggap belum mampu memberikan jawaban yang tuntas atas persoalan keadilan upah. Kebijakan ini terasa sangat teknokratis namun kurang humanis. Ia menghitung manusia dalam rumus matematika inflasi dan pertumbuhan ekonomi, namun seringkali lupa pada realitas piring makan para pekerja.

Ke depannya, publik menuntut pemerintah untuk tidak hanya berhenti pada penerbitan aturan di atas kertas. Pemerintah harus memastikan bahwa:

  1. Pengawasan Lapangan yang Ketat: Jangan sampai UMP hanya menjadi macan kertas. Banyak perusahaan yang secara de facto masih membayar di bawah standar tanpa terkena sanksi.

  2. Struktur dan Skala Upah: Pemerintah harus memastikan perusahaan tidak menjadikan UMP sebagai batas maksimum. Pekerja dengan masa kerja lebih dari satu tahun atau yang memiliki keahlian khusus harus mendapatkan upah jauh di atas UMP.

  3. Pengendalian Harga Pokok: Upah setinggi apa pun tidak akan berarti jika harga beras, telur, dan bensin terus meroket tanpa kendali. Kesejahteraan adalah kombinasi dari upah yang layak dan harga yang terjangkau.

PP 49/2025 akan berlaku efektif pada 1 Januari 2026. Masih ada waktu bagi pemerintah untuk mengevaluasi dampak sosial dari angka-angka yang telah diumumkan. Jangan sampai kebijakan yang dimaksudkan untuk menyejahterakan rakyat justru menjadi beban baru yang memicu ketidakstabilan nasional. Keadilan tidak boleh dikorbankan demi standarisasi, dan kesejahteraan buruh tidak boleh ditukar dengan sekadar angka statistik pertumbuhan investasi.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel