Di Antara Keinginan dan Kebutuhan: Seni Ikhlas Membaca Takdir Allah
Di Antara Keinginan dan Kebutuhan: Seni Ikhlas Membaca Takdir Allah
Ditulis oleh: Akang Marta
Belajar menerima sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita adalah salah satu pelajaran hidup yang paling sulit, sekaligus paling mematangkan jiwa. Manusia diciptakan dengan kehendak, harapan, dan rencana. Kita menyusun masa depan dengan logika, perhitungan, dan doa-doa yang lahir dari apa yang kita inginkan. Namun di atas semua itu, ada kehendak Allah yang berjalan dengan hikmah-Nya sendiri. Allah mengetahui apa yang kita mau, tetapi Allah jauh lebih mengetahui apa yang kita butuhkan.
Sering kali, kita mengira kebahagiaan terletak pada terkabulnya keinginan. Ketika doa sesuai harapan, kita bersyukur. Namun ketika doa berbelok arah, hati mulai bertanya-tanya: mengapa tidak seperti yang diminta? Pada titik inilah iman diuji, bukan pada saat keinginan terpenuhi, melainkan ketika kenyataan berjalan berbeda. Menerima yang tidak sesuai keinginan bukan tanda kalah, tetapi tanda kedewasaan spiritual.
Keinginan lahir dari keterbatasan manusia. Kita melihat hidup dari sudut pandang yang sempit: hari ini, minggu ini, atau tahun ini. Kita menilai baik dan buruk berdasarkan rasa nyaman dan tidak nyaman. Padahal Allah melihat hidup kita secara utuh: masa lalu, masa kini, dan masa depan. Apa yang kita anggap sebagai kegagalan, boleh jadi adalah perlindungan. Apa yang kita tangisi hari ini, mungkin adalah penyelamat di hari esok.
Tidak sedikit orang yang kecewa karena rencana hidupnya runtuh. Gagal dalam pekerjaan, hubungan yang kandas, usaha yang tidak berjalan, atau cita-cita yang harus dilepaskan. Semua itu terasa pahit. Namun kepahitan bukan berarti keburukan. Seperti obat yang rasanya tidak enak, tetapi menyembuhkan, takdir Allah sering kali bekerja dengan cara yang tidak menyenangkan terlebih dahulu, sebelum menghadirkan kebaikan yang lebih besar.
Belajar menerima bukan berarti pasrah tanpa usaha. Islam tidak mengajarkan fatalisme. Kita tetap diminta berikhtiar, berdoa, dan berjuang sebaik mungkin. Namun setelah semua dilakukan, ada fase tawakal: menyerahkan hasil sepenuhnya kepada Allah. Di sinilah seni menerima bekerja. Menerima artinya berdamai dengan hasil, meski tidak sesuai dengan ekspektasi awal.
Sering kali Allah menunda, bukan menolak. Ada doa yang dikabulkan dengan cara berbeda, ada yang disimpan sebagai pahala, dan ada pula yang diganti dengan sesuatu yang lebih baik. Masalahnya, manusia sering kali terlalu terpaku pada satu bentuk jawaban. Kita ingin A, padahal Allah memberi B, yang dalam jangka panjang jauh lebih membawa keselamatan. Namun karena emosi mendahului hikmah, kita menilai B sebagai kegagalan.
Dalam perjalanan hidup, banyak orang baru menyadari hikmah takdir setelah waktu berlalu. Apa yang dulu disesali, kini disyukuri. Apa yang dulu diinginkan, kini disadari justru akan mencelakakan. Dari sini kita belajar bahwa Allah tidak pernah salah memberi. Yang sering keliru adalah cara kita membaca pemberian itu.
Menerima juga berarti mengakui keterbatasan diri. Ada hal-hal yang berada di luar kendali manusia. Kita bisa merencanakan, tetapi tidak bisa memastikan. Kesadaran ini justru membebaskan. Ketika kita berhenti memaksa takdir mengikuti keinginan kita, hati menjadi lebih lapang. Beban mental berkurang, dan hidup terasa lebih ringan.
Allah Maha Mengetahui isi hati hamba-Nya. Tidak ada satu pun keinginan yang luput dari pengetahuan-Nya. Bahkan doa yang tidak terucap pun Allah dengar. Namun kasih sayang Allah tidak selalu berbentuk “iya”. Terkadang kasih sayang itu hadir dalam bentuk “belum”, atau bahkan “tidak”, demi menjaga kita dari sesuatu yang tidak sanggup kita tanggung.
Belajar menerima juga mengajarkan kerendahan hati. Kita menyadari bahwa hidup ini bukan sepenuhnya tentang kita. Ada rencana besar Allah yang melibatkan banyak hal, banyak orang, dan banyak peristiwa. Ketika satu keinginan tidak terwujud, bisa jadi karena ada kebaikan orang lain yang sedang Allah jaga, atau ada pelajaran yang perlu kita pelajari terlebih dahulu.
Dalam konteks spiritual, menerima takdir adalah pintu menuju ketenangan batin. Hati yang terus memberontak terhadap kenyataan akan mudah lelah, cemas, dan marah. Sebaliknya, hati yang belajar ikhlas akan menemukan kedamaian, bahkan di tengah keterbatasan. Ikhlas bukan berarti tidak sedih, tetapi sedih yang tidak memutus hubungan dengan Allah.
Menerima yang tidak sesuai keinginan juga melatih kita untuk bersyukur. Ketika satu pintu tertutup, sering kali pintu lain terbuka, tetapi kita terlalu sibuk meratapi yang tertutup. Padahal, nikmat Allah tidak pernah berhenti mengalir. Nafas, kesehatan, kesempatan belajar, orang-orang baik di sekitar kita—semua itu adalah bentuk kasih sayang yang sering luput kita sadari.
Pada akhirnya, hidup adalah proses belajar mempercayai Allah sepenuhnya. Bukan hanya saat doa dikabulkan, tetapi juga saat doa diarahkan ke jalan lain. Kepercayaan inilah yang menjadi inti iman. Kita belajar bahwa Allah tidak sekadar mengabulkan keinginan, tetapi membentuk manusia. Tidak sekadar memberi apa yang diminta, tetapi menyiapkan apa yang dibutuhkan.
Ketika kita sampai pada titik ini, kita akan memahami bahwa menerima bukan kekalahan, melainkan kemenangan atas ego. Kita tidak lagi memaksakan hidup sesuai maunya kita, tetapi berusaha menjalaninya sesuai ridha Allah. Di situlah ketenangan sejati bersemayam. Karena pada akhirnya, Allah tahu apa yang kita mau, tetapi Allah jauh lebih tahu apa yang benar-benar kita butuhkan.
