Ketika Ketakutan Ditertawakan: Horor, Kepo, dan Cara Indonesia Berdamai dengan Rasa Takut
Ketika Ketakutan Ditertawakan: Horor, Kepo, dan Cara Indonesia Berdamai dengan Rasa Takut
Ditulis oleh: Akang Marta
Ada satu dunia yang hampir mustahil ditiru oleh negara mana pun di muka bumi ini: dunia horor Indonesia.
Silakan tonton film horor dari negara lain. Setannya gagah. Atletis. Mukanya simetris. Badannya tinggi, larinya kencang, lompatnya presisi. Bahkan sebelum menakut-nakuti manusia, mereka sudah pantas jadi model pakaian olahraga. Horor luar negeri sering terlihat seperti ajang unjuk fisik.
Sekarang bandingkan dengan horor Indonesia.
Setannya mayoritas cacat. Pocong tangannya diikat, kakinya tidak bisa melangkah normal, jalannya lompat-lompat. Suster ngesot tidak berlari, tidak berjalan, tapi ngesot. Wewe gombel penampilannya sering kali lebih mirip korban salah kostum daripada makhluk mengerikan. Secara logika, seharusnya kita tidak takut. Tapi nyatanya, kita tetap merinding.
Dan justru di situlah kejeniusan budaya kita bekerja.
Horor Indonesia tidak hanya mengandalkan teror visual, tetapi juga membangun relasi emosional. Kita tidak sekadar takut, kita juga kasihan. Kita merinding, tapi di saat yang sama muncul empati. Suster ngesot, misalnya. Pernahkah Anda bertanya kenapa dia hampir selalu muncul di rumah sakit? Jawabannya sederhana dan jenius: karena lantainya ubin. Kalau dia keluar rumah sakit dan nyebrang jalan, pahanya lecet. Logika horor seperti ini hanya mungkin lahir di negeri yang akrab dengan penderitaan, humor, dan akal sehat yang absurd.
Horor Indonesia bukan soal “makhluk paling menakutkan”, tetapi soal “situasi paling tidak nyaman”. Ketakutan dibangun bukan dari kekuatan fisik setan, melainkan dari kedekatan mereka dengan ruang hidup kita. Rumah sakit, pohon besar, rumah kosong, jalan gelap—semua tempat yang kita kenal baik. Karena itu horornya terasa personal.
Cara mengusir setan pun penuh warna.
Di Indonesia, urusan spiritual tidak pernah tunggal. Agama Islam membaca ayat kursi. Kristen menghardik dalam nama Yesus. Agama lain punya metode masing-masing. Semua yakin dengan jalannya. Tapi di balik semua keyakinan itu, ada satu pertanyaan polos tapi masuk akal: setannya agamanya apa?
Kalau setannya beda agama, bagaimana?
Apakah ayatnya tetap mempan? Atau setannya malah santai karena tidak relevan? Pertanyaan ini tidak pernah dijawab serius, tapi justru hidup di humor rakyat. Bahkan ada teori populer yang nyaris ilmiah: pocong tidak takut apa pun selama kapas di telinganya belum dicabut. Dibacain ayat apa pun, percuma. Wong dia tidak dengar. Portal tinggi saja bisa bikin dia minder. Bukan karena mistis, tapi karena praktis. Lompatnya mentok.
Di sinilah kita belajar satu hal penting: bangsa ini tidak meniadakan ketakutan, tapi mengelolanya. Kita tidak berpura-pura berani. Kita menertawakan yang menakutkan agar tidak dikuasai olehnya. Humor menjadi alat bertahan hidup. Ketika ketakutan dibuat lucu, ia kehilangan kuasanya.
Namun, jujur saja, ada sisi lain dari karakter bangsa ini yang tidak selalu membanggakan. Kita harus berani mengakuinya. Apa itu? Kepo.
Indonesia adalah salah satu negara paling kepo di dunia. Kepo kita bukan sekadar rasa ingin tahu biasa, tapi sudah naik level menjadi kebiasaan sosial. Ada orang berantem di jalan, kita sudah mau berangkat kerja, tas sudah di pundak, tapi kaki refleks berhenti. “Siapa itu?” Lalu kita putar balik. Kerja bisa menunggu, drama tidak.
Ada ledakan, warga bukan mengungsi, tapi mendekat. Saat peristiwa besar terjadi, kerumunan bukan terbentuk karena pengamanan, tapi karena rasa ingin tahu. Sarinah meledak, tidak sampai lima belas menit, Jalan Sabang penuh manusia. Bukan untuk membantu, tapi untuk melihat. Bahkan di tengah kabar “polisi tembak-tembakan”, masih ada yang bertanya, “Yang mana? Yang mana?”
Ini bukan keberanian. Ini rasa ingin tahu yang tidak kenal risiko. Kepo kita sudah level budaya. Kita ingin tahu segalanya, bahkan yang seharusnya tidak perlu kita tahu. Dari gosip tetangga sampai berita besar, semuanya kita konsumsi dengan antusias yang sama.
Lucunya, kepo ini sering muncul di momen paling tidak penting. Di toilet umum, misalnya. Ada bunyi kentut dari bilik sebelah, satu ruangan langsung hening. Beberapa kepala menoleh. Tidak ada yang bicara, tapi semua mendengar. Ditungguin. Pura-pura cuci tangan lebih lama. Begitu pelakunya keluar, ekspresi wajah langsung jadi alat identifikasi. Ini bukan lagi rasa ingin tahu, ini investigasi sosial.
Tapi kepo juga punya sisi lain. Ia menunjukkan bahwa bangsa ini peduli. Kita tidak bisa sepenuhnya acuh. Kita ingin tahu karena kita merasa terhubung. Masalahnya, keterhubungan ini sering tidak diimbangi dengan batas. Kita ingin tahu, tapi tidak selalu siap bertanggung jawab.
Horor, kepo, dan humor—tiga hal ini membentuk cara khas Indonesia menghadapi dunia. Kita tidak melawan ketakutan dengan kekerasan, tapi dengan tawa. Kita tidak menghindari masalah, tapi mengerumuninya. Kadang itu berbahaya, kadang itu menghangatkan.
Inilah paradoks Indonesia.
Kita takut, tapi mendekat.
Kita ngeri, tapi penasaran.
Kita mengeluh, tapi bertahan.
Budaya horor kita mengajarkan bahwa ketakutan tidak harus dihapus. Ia cukup dikelola. Diberi jarak dengan tawa, dibungkus dengan cerita, lalu dijadikan bagian dari keseharian. Kita hidup berdampingan dengan rasa takut, bukan untuk ditaklukkan olehnya, tapi untuk dikenali.
Dan mungkin, itulah sebabnya bangsa ini masih berdiri.
Karena kita tahu kapan harus takut, kapan harus tertawa, dan kapan harus bilang: “Ah, paling juga begitu.”