Ads

Madiun dan Fobia Negara Terhadap Pemikiran: Pembubaran Bedah Buku Reset Indonesia

Madiun dan Fobia Negara Terhadap Pemikiran: Pembubaran Bedah Buku Reset Indonesia

Ditulis oleh: Akang Marta



Pembubaran paksa bedah buku Reset Indonesia di Madiun pada Sabtu, 20 Desember, menjadi sorotan serius dalam konteks kebebasan berekspresi dan demokrasi di Indonesia. Acara ini sejatinya merupakan bagian dari rangkaian peluncuran buku yang telah digelar di 45 lokasi berbeda sejak Oktober 2025, dan sebelumnya berjalan lancar di kota-kota seperti Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Trenggalek. Bedah buku ini menarik berbagai kalangan, mulai dari komunitas sekolah, kampus, hingga petani dan nelayan. Bahkan di beberapa daerah, perangkat daerah hingga bupati ikut terlibat, menunjukkan antusiasme dan keterbukaan terhadap wacana publik.

Namun, di Madiun, yang merupakan kota ke-47 yang disinggahi tim penulis, peristiwa yang berbeda terjadi. Penulis buku, Mas Dandi, menceritakan kronologi pembubaran yang terjadi H-1 sebelum acara, saat semua persiapan sudah matang. Semua peserta dan pengisi acara, termasuk musisi dan pegiat literasi, telah menyiapkan diri. Tiba-tiba, Camat, Kepala Desa, Babinsa, dan polisi mendatangi lokasi dan meminta acara dibubarkan dengan dalih administratif: “acara tidak memiliki izin.” Bahkan, foto penulis dipajang di grup WhatsApp aparat sebagai bagian dari upaya pengawasan.

Mas Dandi menegaskan bahwa lokasi acara merupakan desa wisata dengan komunitas yang damai dan kegiatan yang harmless. Diskusi buku digelar di ruang yang privat, tidak mengganggu ketertiban umum, parkir, atau fasilitas publik. Dengan demikian, alasan administratif ini tampak seperti dalih formal untuk menutup ruang diskusi kritis. Pasca pembubaran, tim penulis menghadapi intimidasi tambahan: mobil yang diparkir dilempari telur, panitia dipantau secara terus-menerus, dan beberapa orang harus tidur bergantian di mobil untuk mengantisipasi gangguan. Tindakan ini tidak hanya mengganggu aktivitas mereka, tetapi juga menciptakan ketakutan yang nyata bagi pegiat literasi dan warga yang hadir.

Dari perspektif hukum dan hak asasi manusia, peristiwa ini jelas menyalahi prinsip kebebasan berkumpul dan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi Indonesia maupun instrumen internasional yang telah diratifikasi, seperti Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Nurul Ismi, peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), menekankan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak dasar warganya. Namun, di Madiun, bukannya perlindungan, yang terjadi justru represi sistemik melalui kombinasi aparat sipil, militer, dan kepolisian. Pola ini mengingatkan pada praktik Orde Baru, di mana kebebasan berpikir dan berbicara dikekang, dan setiap gagasan yang berbeda dianggap ancaman.

Pak Herlambang Wiratrahman, dosen hukum tata negara dan Dewan Pengarah Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik, menambahkan bahwa pembubaran diskusi semacam ini menunjukkan ketakutan negara terhadap pemikiran kritis. Bukannya membuka ruang dialog, aparat lebih memilih membungkam suara yang ingin berdiskusi atau berdebat secara sehat. Padahal, diskusi buku seperti ini seharusnya menjadi sarana untuk mencerdaskan masyarakat, memperluas wawasan, dan membangun kemampuan kritis warga. Alih-alih memperkuat demokrasi, pembubaran ini justru memperlihatkan pelemahan demokrasi yang sistemik, warisan rezim otoritarian Orde Baru.

Sejak era reformasi, Indonesia memang mengalami kemajuan dalam kebebasan sipil, termasuk hak atas pendidikan, berkumpul, dan berekspresi. Namun, kasus Madiun mengingatkan bahwa kemajuan tersebut belum merata. Kekhawatiran terhadap ide-ide kritis, apalagi yang berani mempertanyakan status quo, masih ada. Aparat daerah yang menghalangi diskusi, mengawasi peserta, dan menimbulkan intimidasi menunjukkan bahwa di beberapa level pemerintahan, mentalitas protektif terhadap kekuasaan lama masih bertahan. Padahal, tujuan demokrasi adalah memberi ruang bagi berbagai pandangan, bukan membatasi hanya pada pandangan yang dianggap aman oleh penguasa.

Pengalaman tim Reset Indonesia di Madiun juga menimbulkan pertanyaan serius: mengapa satu kota yang secara demografis dan sosial sama seperti kota lain, menjadi lokasi pertama yang dibatasi? Apa yang membuat aparat setempat merasa perlu turun tangan dengan cara berlebihan, termasuk memobilisasi Babinsa dan polisi untuk menertibkan diskusi buku? Dari sisi logika hukum, pembubaran ini sulit dibenarkan. Buku Reset Indonesia adalah karya literasi yang membahas gagasan, bukan agenda politik yang mengancam keamanan. Pemberitahuan acara sudah dilakukan sesuai prosedur, sehingga dasar hukum pembubaran tampak lemah.

Selain aspek hukum, ada aspek sosial dan psikologis yang tidak bisa diabaikan. Intimidasi yang terjadi pasca pembubaran, seperti pelemparan telur dan pengawasan peserta, memberikan pesan jelas kepada masyarakat: berani berpikir kritis berarti siap menghadapi risiko. Pesan semacam ini berbahaya bagi demokrasi, karena menimbulkan budaya takut untuk berpendapat. Akibatnya, ruang publik menjadi steril dari diskusi yang membangun, sementara ide-ide yang menantang dominasi penguasa atau status quo cenderung tersingkir.

Dalam konteks sejarah, pembubaran ini bukan kasus pertama. Nurul Ismi mencatat pola serupa terjadi di berbagai kota, termasuk pembubaran diskusi film, nobar film, hingga seminar akademik di beberapa tahun terakhir. Pola ini menunjukkan penggunaan narasi “tidak memiliki izin” sebagai alat propaganda untuk membatasi kebebasan berkumpul. Padahal, dalam hukum Indonesia, kebebasan berkumpul dan berekspresi merupakan hak dasar warga negara yang tidak boleh dibatasi secara sewenang-wenang.

Implikasi jangka panjang dari fenomena ini adalah melemahnya kualitas demokrasi. Demokrasi tidak hanya tentang pemilihan umum, tetapi juga tentang kemampuan warga untuk berdiskusi, mengkritik, dan memperdebatkan gagasan secara terbuka. Jika ruang diskusi ditutup dan gagasan kritis dibungkam, demokrasi menjadi stagnan. Masyarakat kehilangan kesempatan untuk belajar, berpikir kritis, dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang rasional. Efeknya bukan hanya akademik, tetapi juga politis dan sosial, karena warga menjadi apatis dan takut terhadap interaksi publik yang sehat.

Penulis buku, Mas Dandi, menekankan bahwa tujuan dari bedah buku Reset Indonesia adalah engagement dengan berbagai pihak: komunitas sekolah, kampus, petani, nelayan, dan masyarakat umum. Acara ini bukan hanya diskusi akademik, tetapi juga dialog sosial yang menyentuh isu-isu penting di masyarakat. Diskusi yang melibatkan warga secara langsung ini membantu menciptakan pemahaman yang lebih luas tentang gagasan-gagasan yang dibahas. Namun, intervensi aparat menghalangi proses pembelajaran sosial ini, sehingga masyarakat kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam wacana kritis.

Dari perspektif akademik, Herlambang Wiratrahman menegaskan bahwa tindakan pembubaran menunjukkan ketidakmampuan aparat dalam menghadapi perbedaan ide. Alih-alih membuka ruang untuk debat sehat, aparat memilih cara represif. Ini merupakan bukti bahwa masih ada mentalitas Orde Baru yang bertahan di level lokal, di mana ide yang berbeda dipandang sebagai ancaman, bukan kesempatan untuk diskusi. Padahal, seharusnya aparat belajar bahwa ide tidak bisa dibungkam; justru perdebatan ide adalah inti dari proses demokrasi.

Selain itu, kasus ini juga menyoroti pentingnya kapasitas hukum aparat. Aparat yang meminta izin kepada penulis luar kota untuk “masuk Madiun” menunjukkan kurangnya pemahaman hukum. Tidak ada dasar hukum yang mewajibkan warga negara untuk mengurus izin agar bisa berbicara di kota lain. Penekanan pada izin semacam ini hanya menimbulkan stigma dan membatasi ruang publik, sehingga berpotensi melanggar hak asasi manusia.

Dalam konteks hak asasi manusia, pembubaran ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta berbagai instrumen internasional. Negara memiliki kewajiban untuk tidak hanya menghormati hak warga negara, tetapi juga melindungi dan memenuhi hak tersebut. Ketika aparat bertindak represif, negara gagal melaksanakan kewajiban ini.

Poin penting lainnya adalah bahwa pembubaran ini tidak hanya berdampak pada penulis dan panitia, tetapi juga pada masyarakat. Masyarakat kehilangan kesempatan untuk mengakses informasi kritis dan berpartisipasi dalam dialog publik. Diskusi buku merupakan sarana literasi politik dan sosial yang penting, terutama di era di mana informasi seringkali diselewengkan atau dikontrol secara politis. Dengan pembatasan ini, masyarakat menjadi kurang kritis dan lebih rentan terhadap narasi tunggal yang diberikan oleh penguasa.

Dampak psikologis juga signifikan. Intimidasi yang terjadi pasca pembubaran, seperti pelemparan telur dan pengawasan ketat, menciptakan atmosfer takut yang meluas. Tidak hanya panitia yang terdampak, tetapi juga peserta dan komunitas lokal yang hadir. Budaya takut ini berpotensi menimbulkan efek jangka panjang, di mana warga enggan menghadiri acara publik, berdiskusi, atau mengekspresikan pandangan mereka. Akhirnya, demokrasi di tingkat lokal menjadi terbatas dan partisipasi masyarakat menurun.

Apa langkah yang harus diambil pemerintah dan kepolisian? Pertama, aparat harus dilatih untuk memahami hak dasar warga negara, termasuk kebebasan berkumpul dan berekspresi. Kedua, setiap tindakan pembubaran harus memiliki dasar hukum yang jelas dan proporsional. Pembubaran paksa tanpa alasan yang sah harus ditindak tegas, dan aparat yang melanggarnya harus dimintai pertanggungjawaban. Ketiga, pemerintah harus memastikan bahwa mekanisme administratif tidak digunakan sebagai alat pembungkaman. Pemberitahuan acara sudah cukup secara hukum, dan tidak boleh dijadikan alasan untuk mengekang kebebasan diskusi.

Selain itu, pemerintah dan aparat juga harus membuka ruang dialog dengan penulis, panitia, dan masyarakat. Diskusi terbuka antara pihak-pihak terkait dapat mengurangi ketegangan, membangun pemahaman, dan mencegah terulangnya tindakan represif. Pendidikan demokrasi dan literasi hukum bagi aparat lokal juga penting, agar mereka memahami batas-batas kewenangan dan tanggung jawab dalam menjaga ketertiban tanpa mengorbankan hak warga.

Dalam jangka panjang, kasus Madiun menjadi pelajaran penting: demokrasi yang sehat membutuhkan keberanian untuk menghadapi perbedaan pendapat, bukan menyingkirkannya. Negara seharusnya menjadi fasilitator dialog, bukan pembungkam wacana. Diskusi kritis, termasuk bedah buku seperti Reset Indonesia, adalah bagian dari pembangunan masyarakat yang cerdas, kritis, dan partisipatif. Membiarkan intimidasi dan represi terus terjadi berarti merusak fondasi demokrasi itu sendiri.

Pengalaman Reset Indonesia di Madiun menunjukkan bahwa fobia negara terhadap pemikiran kritis masih nyata. Negara dan aparat harus menyadari bahwa ide dan gagasan tidak berbahaya jika disikapi dengan dialog. Sebaliknya, membungkam gagasan justru menciptakan ketegangan sosial dan mengurangi kualitas demokrasi. Setiap warga negara berhak mengakses informasi, berdiskusi, dan membangun pemahaman kritis tanpa takut intimidasi.

Dalam konteks global, pembatasan diskusi publik seperti ini juga berdampak pada citra Indonesia sebagai negara demokratis. Di era informasi dan teknologi, masyarakat memiliki akses luas terhadap berbagai gagasan. Jika ruang publik lokal dibatasi oleh aparat yang represif, hal ini menunjukkan ketimpangan antara janji demokrasi dan praktiknya di lapangan. Indonesia berpotensi kehilangan kredibilitas sebagai negara yang menghormati hak asasi manusia dan kebebasan akademik.

Sebagai kesimpulan, pembubaran bedah buku Reset Indonesia di Madiun bukan sekadar peristiwa lokal, tetapi simbol peringatan serius bagi demokrasi Indonesia. Negara, aparat, dan masyarakat harus bekerja sama untuk memastikan bahwa hak dasar warga untuk berdiskusi, berekspresi, dan berpartisipasi dalam ruang publik dihormati. Pendidikan demokrasi, literasi hukum, dan dialog terbuka harus menjadi prioritas agar peristiwa serupa tidak terulang. Demokrasi sejati muncul ketika gagasan kritis diterima, diperdebatkan, dan dijadikan bahan pembelajaran, bukan dibungkam dengan alasan administratif atau intimidasi aparat.

Madiun hari ini adalah refleksi dari tantangan yang lebih besar: bagaimana memastikan demokrasi berjalan secara konsisten, hak asasi manusia dihormati, dan ruang publik tetap terbuka untuk semua warga negara. Pembubaran Reset Indonesia harus menjadi momentum untuk introspeksi, reformasi, dan komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang sejati. Jika tidak, fobia terhadap pemikiran kritis akan terus membayangi ruang publik, membatasi kreativitas, dan melemahkan kualitas kehidupan demokratis di Indonesia.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel