Ads

Narasi, Kubu, dan Seni Bertahan Hidup: Membaca Pola Office Politics di Ambang Seleksi Sunyi 2026

 

Narasi, Kubu, dan Seni Bertahan Hidup: Membaca Pola Office Politics di Ambang Seleksi Sunyi 2026

Ditulis oleh: Akang Marta


Tidak ada politik yang lahir dari ruang hampa. Setiap politik selalu berangkat dari rasa terancam, dari kebutuhan untuk bertahan, dan dari naluri dasar manusia untuk tidak dieliminasi. Di dunia kerja modern, pola ini muncul dengan wajah yang lebih halus, lebih rapi, dan sering kali tidak disadari oleh mereka yang masih memegang idealisme murni. Inilah yang membuat office politics begitu berbahaya: ia tidak tampak sebagai serangan, melainkan sebagai proses yang “terlihat wajar”.

Polanya hampir selalu sama. Ketika seseorang merasa posisinya terancam—oleh kompetensi orang lain, oleh perubahan arah kekuasaan, atau oleh dinamika internal—ia tidak menyerang secara langsung. Ia mulai dengan membangun narasi. Narasi ini tidak dilempar ke ruang terbuka, melainkan disebarkan perlahan ke titik-titik strategis. Orang-orang tertentu dipilih, dibisiki, dan diajak untuk “memahami situasi”. Dari sinilah kubu mulai terbentuk.

Tidak ada perang yang bisa dimenangkan sendirian. Dalam politik, termasuk politik kantor, sekutu adalah segalanya. Sekutu menyediakan tiga hal utama: akses, trust, dan perception. Akses membuka pintu ke ruang keputusan. Trust membuat pesan dipercaya tanpa perlu diverifikasi. Perception membentuk citra siapa yang layak dipertahankan dan siapa yang bisa dikorbankan. Tanpa tiga hal ini, tidak ada pergerakan yang bisa berjalan.

Inilah sebabnya politik selalu berbentuk kolektif, meskipun wajahnya tampak personal. Orang tidak menjatuhkan lawan sendirian; mereka mengorkestrasi situasi agar lawan dijatuhkan oleh sistem. Ketika seseorang akhirnya tersingkir, sering kali tidak ada satu pun pihak yang merasa bersalah, karena semua merasa hanya “mengikuti arus”.

Kesalahan paling umum yang dilakukan profesional idealis adalah mengira bahwa mereka kalah karena tidak kompeten. Padahal, yang terjadi sering kali bukan kekalahan kompetensi, melainkan kekalahan narasi. Di dunia kerja, data dan logika tidak selalu menang. Fakta sering kalah oleh cerita yang lebih rapi, lebih emosional, dan lebih sesuai dengan kepentingan penguasa keputusan.

Di sinilah perdebatan klasik muncul: authentic politics versus performance politics. Banyak yang percaya bahwa menjadi autentik, jujur, dan idealis akan selalu menemukan jalannya sendiri. Bahwa kinerja akan berbicara. Bahwa Tuhan akan membuka jalan bagi mereka yang lurus. Pernyataan ini tidak sepenuhnya salah, tetapi sangat berisiko jika dijadikan satu-satunya strategi.

Performance memang bisa benar, tetapi tidak selalu menang. Ia benar secara moral, benar secara logika, dan benar secara profesional. Namun dalam realitas organisasi, kebenaran tidak otomatis diterjemahkan menjadi kemenangan. Performance tanpa visibilitas, tanpa framing, dan tanpa dukungan politik sering kali hanya menjadi arsip internal yang tidak pernah dibaca ulang.

Pilihan di dunia kerja sebenarnya sangat sederhana, meskipun pahit untuk diakui: kerja dan berpolitik. Tidak ada opsi ketiga. Bahkan mereka yang mengaku tidak berpolitik sebenarnya sedang berpolitik dengan memilih netralitas. Netralitas bukan absensi politik, melainkan bentuk politik pasif yang sangat berbahaya jika tidak disertai kesadaran.

Bekerja tanpa membangun persepsi sama dengan menghilang secara perlahan. Jika organisasi tidak tahu siapa Anda, apa fungsi politik Anda, dan nilai apa yang Anda bawa ke meja kekuasaan, maka Anda akan menjadi variabel yang mudah dihapus. Inilah mengapa membangun persepsi sebenarnya hanyalah bentuk lain dari networking: memperkenalkan diri, menunjukkan keahlian, dan membuat orang lain merasa aman bergantung pada Anda.

Ketika atasan mulai bergantung pada Anda, di situlah power perlahan terbentuk. Power bukan soal jabatan, tetapi soal dependensi. Siapa yang dibutuhkan, siapa yang dihubungi pertama kali, dan siapa yang dicari ketika situasi genting. Dalam bahasa yang lebih positif, ini disebut positioning. Dalam bahasa yang lebih gelap, ini disebut politik.

Dan ya, politik kantor memang gelap. Ia tidak bicara moral. Ia bicara survival. Begitu posisi seseorang terancam—baik posisi tim, atasan, atau dirinya sendiri—maka motif untuk melakukan politisasi akan muncul secara alami. Tidak ada yang ingin dieliminasi. Tidak ada yang ingin kehilangan akses ke penghasilan, status, dan rasa aman.

Inilah mengapa prinsip paling brutal dalam office politics sering berbunyi: don’t trust anyone. Bukan berarti semua orang jahat, tetapi karena dalam kondisi terancam, siapa pun bisa berubah. HR mungkin berbicara tentang trust, team building, dan budaya. Tetapi office politics tidak beroperasi di ruang HR. Ia beroperasi di ruang kepentingan.

Orang-orang yang tidak peka terhadap sinyal politik sering kali menjadi korban paling awal. Mereka tidak sadar ketika tiba-tiba tidak lagi diajak meeting penting. Mereka menganggapnya sebagai kebetulan, kesibukan, atau perubahan jadwal. Padahal, ini sering kali merupakan tanda awal containment—strategi pengucilan perlahan.

Contohnya klasik: seseorang yang biasanya dilibatkan dalam diskusi strategis tiba-tiba hanya menerima hasil keputusan. Ruang lingkup kerjanya menyempit. Otoritasnya berkurang, tetapi bebannya bertambah. Komunikasi menjadi formal dan dingin. Ini bukan masalah performa. Ini masalah posisi politik.

Orang yang peka dan sadar biasanya bisa bertahan, karena mereka tahu bagaimana menavigasi situasi. Mereka mungkin tidak melawan secara frontal, tetapi mereka membaca arah dan menyesuaikan langkah. Sebaliknya, mereka yang bingung, naif, atau bereaksi emosional sering kali menjadi collateral damage.

Menariknya, orang yang menjatuhkan orang lain jarang melakukannya karena kebencian personal. Motif utamanya hampir selalu insecurity. Dalam psikologi organisasi, ini dikenal sebagai competence threat response. Ketika seseorang merasa terancam oleh kompetensi, spotlight, atau potensi orang lain, tubuhnya masuk ke mode kecemasan. Dari sanalah framing, politisasi, dan penyingkiran dimulai.

Korban sering menyalahkan diri sendiri karena “tidak bisa main politik”. Padahal, sering kali mereka sebenarnya memiliki modal politik, tetapi tidak menyadarinya. Banyak profesional senior baru tersadar setelah puluhan tahun berkarier bahwa politik selalu ada, hanya saja dulu mereka berada di sisi yang aman.

Maka, bekerja di kantor pada dasarnya adalah hubungan transaksional. Kita bertukar kompetensi dengan penghasilan, stabilitas, dan status. Di luar jam kerja, relasi bisa menjadi manusiawi. Tetapi di dalam sistem, semuanya dibaca sebagai fungsi.

Inilah mengapa politik sering dipersepsikan negatif. Padahal, pada level paling dasar, ia adalah survival skill. Sama seperti politisi yang berjuang mempertahankan kekuasaan, profesional berjuang mempertahankan relevansi. Keduanya digerakkan oleh logika yang sama.

Langkah paling fundamental untuk memahami politik kantor adalah membaca peta kekuasaan. Ini tidak pernah diajarkan di onboarding. Struktur formal hanya memberi tahu siapa melapor ke siapa. Peta kekuasaan memberi tahu siapa memengaruhi siapa.

Cara membacanya sering kali sederhana: siapa makan siang dengan siapa, siapa paling sering disebut dalam meeting, siapa yang pendapatnya dicari setelah rapat selesai, siapa yang menjadi penghubung antar kubu. Bahkan di level staf, peta ini bisa dibaca dari pantry, obrolan informal, dan kebiasaan kecil.

Orang yang baru masuk dan langsung “tembak langsung” tanpa membaca peta biasanya tidak bertahan lama. Politik tidak bisa dimainkan secara frontal. Ia butuh observasi, kesabaran, dan timing. Yang dibutuhkan bukan agresi, melainkan kecerdasan sosial.

Netralitas yang cerdas bukan pasif. Ia adalah diplomatic positioning. Menjaga relasi dengan berbagai pihak, tidak menyerang, tetapi tetap membangun framing diri. Karena jika Anda tidak memframing diri sendiri, orang lain akan melakukannya untuk Anda.

Memasuki 2026, dunia kerja memasuki fase yang bisa diringkas dalam satu kata: seleksi. Bukan seleksi berbasis kerja keras, tetapi seleksi berbasis relevansi. Organisasi menjadi semakin pragmatis. Posisi yang tidak berdampak langsung pada keputusan, pendapatan, atau stabilitas akan dipertanyakan.

Tidak akan ada ledakan PHK besar, tetapi pengurangan perlahan dan konsisten. Narasinya rapi: efisiensi, evaluasi, restrukturisasi. Yang berbahaya bukan perubahan itu sendiri, tetapi perubahan arah yang terjadi tanpa transisi.

Dalam kondisi ini, persepsi mengalahkan niat baik. Integritas tinggi tidak cukup jika tidak disertai kejelasan fungsi dan positioning. Yang relatif aman adalah mereka yang fungsinya jelas, sulit digantikan, dan terbaca stabil secara politik.

Tahun 2026 menuntut kesadaran posisi. Bukan hanya apa yang Anda kerjakan, tetapi bagaimana peran Anda dibaca oleh sistem. Kerja keras tetap penting, tetapi bertahan dan naik level ditentukan oleh kecerdasan politik, narasi, dan kesiapan beradaptasi.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel