Rapot Anak, Cermin Rumah Tangga: Jangan Mudah Menuding Guru
Rapot Anak, Cermin Rumah Tangga: Jangan Mudah Menuding Guru
Kalimat “orang tua itu memang sudah settingan rapotnya” terdengar keras, bahkan bagi sebagian orang terasa menampar. Namun jika direnungkan dengan jujur dan kepala dingin, kalimat itu menyimpan kebenaran yang sering kali diabaikan. Pendidikan anak tidak dimulai di sekolah, tidak pula berakhir di ruang kelas. Pendidikan justru berakar kuat di rumah, dalam kebiasaan kecil yang dilakukan setiap hari oleh orang tua.
Banyak orang tua hari ini terlalu cepat kecewa ketika melihat hasil rapot anak tidak sesuai harapan. Nilai turun, tulisan kurang rapi, atau prestasi tak menonjol. Yang sering terjadi, guru dan wali kelas menjadi sasaran pertama. Padahal, sebelum menunjuk keluar, ada baiknya bercermin ke dalam: sudah sejauh mana kita hadir dalam proses belajar anak?
Tulisan anak yang belum rapi, misalnya, sering kali langsung dianggap sebagai kelalaian guru. Padahal, jika kita jujur, anak menghabiskan waktu jauh lebih banyak di rumah daripada di sekolah. Jam belajar di sekolah sangat terbatas, sementara di rumah anak memiliki ruang panjang untuk berlatih, mengulang, dan dibimbing. Jika di tengah tulisan terdapat huruf kapital yang salah tempat—misalnya huruf A besar di tengah kata—barulah itu bisa disebut kekeliruan teknis. Namun jika secara umum tulisan anak belum rapi, itu bukan semata tanggung jawab guru.
Coba kita perhatikan realitas hari ini. Banyak anak lebih akrab dengan layar gawai daripada pensil dan buku tulis. Jari mereka lincah menekan layar, tetapi tangan mereka kaku ketika harus menulis. Dalam kondisi seperti ini, peran orang tua menjadi sangat krusial. Tidak cukup hanya menyerahkan anak ke sekolah lalu berharap semua urusan selesai di sana.
Guru memiliki keterbatasan waktu, tenaga, dan jumlah siswa. Di satu kelas, seorang guru bisa mendampingi puluhan anak dengan karakter, kemampuan, dan latar belakang keluarga yang berbeda-beda. Tidak mungkin guru merapikan tulisan setiap anak secara detail setiap hari. Namun anehnya, guru jarang mengeluh. Guru jarang memposting kekesalan ketika tulisan anak sulit dibaca. Guru tetap sabar mengoreksi, membimbing, dan melanjutkan proses belajar.
Sehebat apa pun sekolahnya, sekreatif apa pun gurunya, hasilnya bisa menjadi nol besar jika orang tua tidak pernah mendampingi anak belajar. Pendidikan bukan sistem satu arah. Ia adalah kerja sama. Ketika salah satu pihak abai, rantai pendidikan menjadi timpang.
Analogi sederhana namun sangat tepat menggambarkan hal ini: guru ibarat tanah, siswa ibarat tanaman, dan orang tua ibarat air. Tanah yang subur akan memberikan nutrisi terbaik. Guru yang kompeten akan memberikan ilmu, nilai, dan arahan. Namun tanpa air—tanpa peran orang tua—tanaman tetap akan layu. Tidak peduli seberapa subur tanahnya, tanaman akan kering jika tidak pernah disiram.
Sayangnya, banyak orang tua ingin hasil panen tanpa mau menyiram. Ingin anak berprestasi tanpa mendampingi. Ingin nilai bagus tanpa menemani belajar. Ingin tulisan rapi tanpa pernah mengajak anak berlatih menulis di rumah. Lalu ketika hasil tidak sesuai, guru yang disalahkan.
Ada satu pertanyaan reflektif yang sering terlupakan. Ketika anak berprestasi, siapa yang pertama kali ditanya? “Anak siapa?” bukan “gurunya siapa?”. Ini menunjukkan bahwa secara sosial dan moral, keberhasilan anak memang melekat pada orang tua. Maka seharusnya, kegagalan pun dipikul bersama, bukan dilimpahkan sepihak.
Kesalahan kecil dalam proses belajar anak tidak perlu diumbar ke media sosial. Apalagi jika tujuannya hanya meluapkan emosi. Kritik yang tidak bijak justru melukai ekosistem pendidikan. Guru menjadi tertekan, orang tua menjadi defensif, dan yang paling dirugikan adalah anak.
Tanpa guru, anak tidak bisa membaca. Tanpa guru, anak tidak bisa berhitung. Tanpa guru, anak tidak bisa menulis. Guru bukan sekadar pekerja yang digaji, tetapi penjaga peradaban. Namun tanpa orang tua, guru juga tidak bisa bekerja optimal. Pendidikan adalah kolaborasi, bukan kompetisi mencari kambing hitam.
Orang tua sejatinya adalah guru pertama dan utama. Dari rumah anak belajar disiplin, sopan santun, kebiasaan belajar, dan tanggung jawab. Sekolah hanya melanjutkan dan memperkuat fondasi yang telah dibangun di rumah. Jika fondasi itu rapuh, jangan heran jika bangunan di atasnya goyah.
Mendampingi anak belajar tidak selalu berarti harus pintar semua mata pelajaran. Cukup hadir. Cukup peduli. Duduk di samping anak, menanyakan pelajaran hari ini, memeriksa buku tulis, dan memberi apresiasi atas usaha kecilnya. Dari situlah motivasi tumbuh.
Tulisan anak yang rapi lahir dari kebiasaan, bukan paksaan. Nilai yang baik lahir dari proses, bukan tuntutan. Prestasi lahir dari sinergi, bukan saling menyalahkan. Ketika orang tua dan guru saling percaya dan mendukung, anak tumbuh dengan sehat secara akademik dan emosional.
Sudah saatnya kita berhenti menjadikan guru sebagai sasaran empuk kekecewaan. Sudah saatnya orang tua mengambil kembali peran utamanya. Karena rapot anak, sejatinya adalah cermin rumah tangga. Bukan hanya angka di kertas, tetapi refleksi dari perhatian, pendampingan, dan kasih sayang yang diberikan setiap hari.
Pendidikan anak bukan tentang siapa yang paling benar, tetapi siapa yang paling bertanggung jawab. Dan tanggung jawab itu, tidak bisa dilepaskan dari peran orang tua.
