Ads

Antara Cemberut, Rezeki, dan Kematangan Suami: Membaca Rumah Tangga di Era Media Sosial

Antara Cemberut, Rezeki, dan Kematangan Suami: Membaca Rumah Tangga di Era Media Sosial

Ditulis oleh: Akang Marta



“Dengarkan baik-baik wahai suami… Jangan sampai membuat istrimu cemberut.” Kalimat ini terdengar ringan, jenaka, bahkan mengundang tawa. Namun jika direnungkan lebih dalam, ia menyimpan potret menarik tentang dinamika rumah tangga modern, relasi suami-istri, dan bagaimana media sosial ikut membentuk cara pandang kita terhadap cinta, tanggung jawab, dan rezeki.

Di era sekarang, persoalan rumah tangga tidak lagi berhenti di ruang tamu atau kamar tidur. Ia bisa melompat ke layar ponsel, menjelma status Facebook, Instagram Story, atau unggahan bernuansa “dakwah” yang sesungguhnya berangkat dari perasaan pribadi. Humor tentang istri cemberut yang “harus segera diberi uang lalu disuruh belanja” sejatinya mencerminkan satu hal: komunikasi dalam rumah tangga sedang diuji oleh perubahan zaman.

Namun mari kita tarik arah pembacaan ini ke sisi yang lebih dewasa dan positif.

Pertama, cemberutnya istri bukan sekadar soal uang. Ia sering kali merupakan bahasa emosi. Dalam banyak kasus, cemberut adalah ekspresi dari lelah, kurang didengar, atau merasa tidak diperhatikan. Uang dan belanja mungkin bisa menjadi penenang sesaat, tetapi yang jauh lebih penting adalah kehadiran emosional seorang suami. Suami yang mau mendengar, memahami, dan hadir sepenuhnya sering kali jauh lebih “royal” nilainya dibanding nominal uang yang diberikan.

Kedua, humor tentang “istri langsung bikin postingan Facebook layaknya ustadz” sebenarnya adalah kritik sosial yang halus. Media sosial hari ini kerap menjadi ruang pelampiasan perasaan, sekaligus panggung moral. Kalimat seperti “sebaik-baik suami adalah yang paling royal kepada istrinya” bisa menjadi motivasi, tetapi juga bisa menjadi tekanan jika dipahami secara dangkal. Tidak semua keluarga berada pada kondisi ekonomi yang sama, dan tidak semua bentuk kebaikan bisa diukur dengan uang.

Islam sendiri menempatkan kebaikan suami bukan semata pada materi, tetapi pada akhlak. Rasulullah ï·º bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya.” Baik di sini mencakup sikap, tanggung jawab, perhatian, dan keadilan. Royal memang baik, tetapi bijak jauh lebih utama. Dermawan itu mulia, tetapi memahami kemampuan diri dan kebutuhan keluarga adalah bentuk tanggung jawab yang lebih dalam.

Ketiga, kekhawatiran “ngeri kalau istri bikin postingan seperti itu” sejatinya adalah kegelisahan banyak orang hari ini: takut dinilai publik. Media sosial membuat kehidupan pribadi menjadi konsumsi bersama. Di satu sisi, ini membuka ruang saling mengingatkan. Di sisi lain, ia bisa melahirkan budaya pembandingan yang melelahkan. Suami merasa tertekan untuk tampil ideal, istri merasa perlu menunjukkan bahwa dirinya layak diperjuangkan.

Di sinilah pentingnya kedewasaan bersama. Rumah tangga yang sehat tidak menjadikan media sosial sebagai hakim utama. Masalah diselesaikan lewat dialog, bukan status. Kebahagiaan dibangun melalui proses, bukan pembenaran publik. Justru pasangan yang paling tenang sering kali adalah mereka yang paling jarang memamerkan apa pun.

Keempat, candaan “untungnya istri saya nggak main Facebook” terdengar lucu, tapi mengandung pesan reflektif. Bukan soal Facebook atau tidak, melainkan soal kepercayaan. Rumah tangga yang kokoh berdiri di atas rasa aman. Aman untuk mengeluh tanpa dihakimi, aman untuk jujur tanpa takut dipermalukan, dan aman untuk bertumbuh bersama. Ketika rasa aman itu ada, media sosial tidak lagi menjadi pelarian.

Kelima, soal uang dalam rumah tangga memang tidak bisa diabaikan. Nafkah adalah kewajiban suami, dan memenuhi kebutuhan istri dengan lapang dada adalah ibadah. Namun mengaitkan rezeki secara simplistik bahwa royal pasti tidak miskin perlu diluruskan dengan pemahaman yang lebih seimbang. Rezeki datang dari Allah, melalui ikhtiar, doa, dan pengelolaan yang bijak. Keluarga yang kuat bukan hanya yang banyak memberi, tetapi yang pandai mengatur dan saling memahami.

Di sisi lain, istri juga memiliki peran besar dalam menjaga keseimbangan. Dukungan emosional, pengertian terhadap kondisi suami, dan kemampuan menahan diri dari membandingkan hidupnya dengan orang lain adalah bagian dari kecerdasan spiritual. Rumah tangga bukan kompetisi konten, melainkan kerja sama seumur hidup.

Keenam, opini publik yang positif perlu menempatkan humor sebagai jembatan, bukan senjata. Narasi seperti ini seharusnya mengundang senyum dan refleksi, bukan saling menyudutkan. Suami tidak selalu salah, istri tidak selalu benar. Keduanya manusia yang sedang belajar. Ketika candaan dipahami dengan kedewasaan, ia bisa menjadi pengingat lembut untuk lebih peduli, lebih peka, dan lebih bertanggung jawab.

Pada akhirnya, inti dari cerita ini bukan tentang belanja, Facebook, atau status ustadz dadakan. Intinya adalah relasi. Tentang bagaimana suami dan istri saling membaca bahasa hati masing-masing. Tentang bagaimana cinta tidak selalu diekspresikan dengan uang, tetapi juga tidak menafikan pentingnya materi. Tentang bagaimana iman dan akhlak diterjemahkan dalam keseharian, bukan hanya dalam kutipan status.

Jika rumah tangga adalah madrasah pertama, maka suami dan istri adalah guru sekaligus murid. Kadang belajar lewat tawa, kadang lewat salah paham. Selama keduanya mau berjalan bersama, saling menenangkan, dan tidak menjadikan publik sebagai penentu nilai, maka cemberut pun bisa berubah menjadi senyum, dan humor bisa menjadi hikmah.

Dan soal istri tidak main Facebook? Itu bonus. Yang lebih penting adalah istri merasa didengar, dihargai, dan dicintai baik ada status maupun tidak.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel