Dari Kamar 2011 ke Panggung Kehidupan: Catatan Seorang Mantan Warga Binaan
Dari Kamar 2011 ke Panggung Kehidupan: Catatan Seorang Mantan Warga Binaan
Saya adalah mantan warga binaan Rutan Kelas I Cipinang. Kalimat itu tidak pernah saya ucapkan dengan bangga, tapi juga tidak lagi saya sembunyikan. Ia adalah bagian dari hidup saya. Sebuah fase yang, mau tidak mau, membentuk cara saya memandang diri sendiri, orang lain, dan masa depan. Dulu saya berada di lantai dua, kamar 2011. Letaknya di gedung yang, setahu saya, dulu adalah area masjid, tepat di bawah Mapenaling. Detail-detail itu masih saya ingat jelas, karena justru di tempat itulah hidup saya mulai pelan-pelan berubah arah.
Saya ditangkap di Polsek Jagakarsa dengan kasus 303. Barang buktinya? Delapan ribu rupiah. Mainnya qiu-qiu. Angka yang kalau dipikir sekarang terasa absurd. Delapan ribu rupiah mengantarkan saya ke pengalaman hidup yang nilainya jauh lebih mahal. Saat pertama masuk, banyak orang tidak percaya saya kena kasus judi. Wajah saya, kata mereka, lebih cocok kena kasus hipnotis atau copet. Ya saya maklumi. Muka saya memang bukan muka-muka protagonis sinetron. Kalau naik Kopaja zaman dulu, saya lebih sering berdiri. Bukan karena penuh, tapi karena orang waspada.
Di Rutan Cipinang saat itu, saya masih ingat beberapa pejabat dan petugas yang berinteraksi langsung dengan kami. Kepala rutan waktu itu Pak Edi Kurniadi. KPR-nya Pak Satrio Waluyo. Ada juga Pak Andi Sarif, dr. Yulius Sumarli, dan beberapa nama lain yang sampai sekarang masih terpatri di ingatan saya. Saya juga ingat teman-teman sesama warga binaan: Bang James Tampu Bolon, Bang Komang, Bang Anggiat, dan banyak lagi. Kami datang dari latar belakang berbeda, kasus berbeda, usia berbeda, tapi disatukan oleh satu hal: status sebagai orang yang sedang menjalani konsekuensi hidupnya.
Di dalam rutan, satu hal cepat terasa: semua orang punya cerita. Tidak ada yang benar-benar polos, tapi juga tidak ada yang sepenuhnya jahat. Kebanyakan hanya salah langkah, salah pergaulan, atau salah keputusan di waktu yang salah. Di situlah saya mulai sadar bahwa hidup tidak hitam putih. Ada banyak abu-abu, dan kita sering tersesat di sana.
Pertanyaan terpenting bukanlah mengapa kita masuk, tapi apa yang kita lakukan selama di dalam. Karena pada akhirnya, pilihan tetap ada di tangan kita. Saat bebas nanti, mau sukses atau kembali jatuh, itu bukan ditentukan oleh rutan, tapi oleh keputusan kita sendiri. Rutan hanya tempat singgah. Yang menentukan arah tetap manusianya.
Sejujurnya, sejak kecil saya tidak pernah punya mimpi menjadi artis. Saya sadar diri. Dengan wajah seperti ini, jangankan jadi bintang utama, jadi figuran pun saya harus bersaing ketat. Tapi hidup sering membawa kita ke tempat yang tidak kita rencanakan. Bukan untuk menghancurkan, tapi untuk membentuk.
Sebelum masuk rutan, saya orang yang tertutup. Emosi sulit saya kendalikan. Mudah tersinggung, gampang meledak. Anehnya, justru di balik jeruji, saya mulai belajar mengendalikan diri. Saya belajar bersahabat dengan banyak orang, dari berbagai latar belakang. Di tempat yang sempit, ego tidak bisa terlalu besar. Kalau ego menang, yang ada hanya konflik.
Saat itu, Rutan Cipinang baru diresmikan dan belum ada kegiatan kerohanian untuk umat Kristen. Saya sendiri beragama Kristen. Saya melihat ini sebagai kebutuhan, bukan hanya bagi saya, tapi bagi banyak teman lain. Maka saya memberanikan diri mengajukan permohonan pembentukan kegiatan kerohanian Kristen. Saya menghadap Kasubsi BHPT waktu itu, Pak Zulkifli. Saya masih ingat betul kalimat beliau, “Bagus, Dik Mongol. Tapi bentuk dulu kepengurusannya.”
Dari situlah semuanya dimulai. Kepengurusan dibentuk di sebuah ruangan dekat isolasi. Sederhana, tanpa fasilitas mewah, tapi penuh niat baik. Dan entah bagaimana, saya terpilih menjadi ketua gereja pertama di Rutan Kelas I Cipinang. Saya yang dulu emosinya tidak terkontrol, kini harus belajar memimpin, mendengar, dan melayani.
Saya belajar bahwa kepemimpinan bukan soal jabatan, tapi tanggung jawab. Bukan soal suara paling keras, tapi telinga paling terbuka. Saya belajar mengatur kegiatan, berkomunikasi dengan petugas, dan mengayomi teman-teman yang sedang rapuh secara mental dan spiritual. Di sana, iman saya bukan hanya teori, tapi praktik harian.
Orang sering bertanya, “Kok bisa sih Mongol berubah?” Jawaban saya sederhana: karena saya menganggap Rutan Cipinang sebagai sekolah kehidupan. Tempat saya dipaksa berhenti lari dari diri sendiri. Tempat saya belajar bahwa masa lalu tidak bisa dihapus, tapi masa depan masih bisa ditulis ulang.
Saya tidak menyangkal kesalahan saya. Saya bertanggung jawab atas apa yang pernah saya lakukan. Tapi saya juga menolak untuk hidup selamanya sebagai tahanan dari masa lalu. Saya memilih menjadikan pengalaman itu sebagai bahan bakar, bukan beban.
Buat teman-teman yang mungkin pernah atau sedang berada di posisi yang sama, saya ingin bilang satu hal: status warga binaan bukan akhir cerita. Itu hanya jeda. Hidup masih panjang, dan kesempatan masih ada selama kita mau berubah. Tidak semua orang punya panggung kedua, tapi semua orang punya pilihan kedua.
Saya berdiri hari ini bukan karena saya paling pintar, paling berbakat, atau paling suci. Saya berdiri karena saya mau belajar, mau mendengar, dan mau bertanggung jawab. Dan semua itu, ironisnya, justru saya pelajari pertama kali di kamar 2011, lantai dua, Rutan Kelas I Cipinang.
Dari tempat yang banyak orang anggap akhir, saya justru menemukan awal.