Ads

Salah Rangkaian, Salah Langkah: Pelajaran Kecil dari Perjalanan Kereta Api

 Salah Rangkaian, Salah Langkah: Pelajaran Kecil dari Perjalanan Kereta Api

Ditulis oleh: Akang Marta



Naik kereta api sering dianggap sebagai moda transportasi yang paling sederhana: beli tiket, datang ke stasiun, naik kereta sesuai tujuan, lalu duduk sampai tiba. Namun, di balik kesederhanaan itu, ada detail-detail kecil yang jika diabaikan justru bisa berujung pada masalah besar. Salah satunya adalah mengenali jenis rangkaian kereta yang kita naiki. Pengalaman sederhana di sebuah stasiun kecil mengajarkan bahwa kurangnya pemahaman bisa membuat perjalanan batal, waktu terbuang, dan pelajaran hidup tertinggal di peron.

Dalam sistem perkeretaapian di Indonesia, setidaknya ada tiga jenis rangkaian utama yang perlu dipahami penumpang. Pertama adalah kereta Eksekutif, dengan fasilitas lebih nyaman, kursi lega, dan suasana relatif tenang. Kedua adalah kereta Ekonomi, yang lebih terjangkau, kapasitas lebih besar, dan menjadi pilihan mayoritas masyarakat. Ketiga adalah kereta Campuran, yakni satu rangkaian yang terdiri dari gerbong Eksekutif dan Ekonomi sekaligus. Masing-masing rangkaian ini biasanya dilengkapi dengan kereta makan atau restorasi yang berada di tengah-tengah rangkaian.

Bagi penumpang berpengalaman, istilah “campuran” mungkin sudah biasa. Namun bagi sebagian orang, terutama yang jarang naik kereta jarak jauh, istilah ini bisa menimbulkan salah paham. Banyak yang mengira bahwa jika ia memegang tiket Ekonomi, maka kereta yang dinaikinya pasti seluruhnya Ekonomi. Padahal, pada kereta campuran, Eksekutif dan Ekonomi berada dalam satu rangkaian yang sama, hanya posisi gerbongnya yang berbeda.

Suatu hari, saya melakukan perjalanan dari Jakarta dengan tujuan Stasiun Haurgeulis. Kereta yang saya naiki adalah KA Brantas, dengan tujuan akhir Kediri, Jawa Timur. KA Brantas termasuk kategori kereta campuran. Setelah lokomotif, terdapat beberapa gerbong Eksekutif, disusul kereta restorasi, lalu beberapa gerbong Ekonomi di bagian belakang. Pola ini sebenarnya cukup umum dan informasinya tertera di aplikasi maupun papan pengumuman stasiun, tetapi tetap saja sering luput dari perhatian.

Seperti biasa, saya memilih tiket Ekonomi dan mendapat tempat duduk di gerbong nomor tiga. Begitu duduk, saya langsung memasang headset dan membuka YouTube, menonton wayang. Perjalanan terasa singkat, mungkin karena pikiran larut dalam cerita. Tanpa terasa, kereta sudah tiba di Stasiun Haurgeulis. Saya turun, berjalan santai, dan kemudian duduk di bangku depan musala stasiun untuk beristirahat sejenak.

Bangku itu menghadap langsung ke rangkaian kereta Eksekutif yang masih berhenti di jalur. Beberapa menit kemudian, kereta kembali bergerak, meninggalkan stasiun. Di bangku yang sama, ada seorang pemuda dengan tas ransel di punggungnya. Wajahnya terlihat bingung, seolah menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Setelah kereta benar-benar berlalu, saya pun menyapanya.

“Mas mau ke mana?” tanya saya.

“Kediri, Pak,” jawabnya singkat.

“Naik kereta apa?”

“KA Brantas, Pak.”

Saya terdiam sejenak, lalu berkata, “Loh, tadi KA Brantas sudah berangkat. Kok tidak naik?”

Pemuda itu tampak kaget, lalu menjawab dengan ragu, “Saya tiketnya Ekonomi, Pak. Tadi saya lihat gerbong yang di depan itu Eksekutif.”

Di situlah letak masalahnya. Ia mengira bahwa kereta yang ada di peron hanyalah kereta Eksekutif, sehingga ia menunggu “kereta Ekonomi” berikutnya, yang sebenarnya tidak ada. KA Brantas hanya satu, tetapi rangkaiannya campuran. Saat ia menyadari kesalahannya, semuanya sudah terlambat.

Saya mencoba menjelaskan, “Mas, KA Brantas itu satu rangkaian. Ada Eksekutif dan ada Ekonomi. Sampeyan keretanya sudah berangkat.”

Tanpa banyak kata, pemuda itu mengemas tas ranselnya, berjalan keluar stasiun dengan kepala tertunduk. Tiketnya hangus, perjalanan tertunda, dan rencana menuju Kediri harus diulang dari awal. Tidak ada yang bisa disalahkan sepenuhnya, kecuali kurangnya pemahaman dan mungkin rasa sungkan untuk bertanya.

Kisah kecil ini sebenarnya bukan sekadar cerita tentang salah naik kereta. Ia mencerminkan kebiasaan yang sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari: merasa sudah tahu, padahal belum benar-benar paham. Banyak orang enggan bertanya karena takut dianggap bodoh, padahal bertanya justru adalah tanda kehati-hatian. Di stasiun, petugas selalu siap memberi informasi. Papan pengumuman, pengeras suara, dan aplikasi tiket pun menyediakan detail yang cukup lengkap. Namun semua itu tidak ada artinya jika kita tidak mau memastikan.

Dalam konteks yang lebih luas, kereta campuran adalah simbol kehidupan itu sendiri. Dalam satu rangkaian perjalanan, ada kelas yang berbeda, posisi yang berbeda, dan peran yang berbeda, tetapi tujuannya sama. Jika kita hanya melihat dari satu sisi dan mengabaikan keseluruhan struktur, kita bisa salah langkah dan tertinggal. Sama seperti pemuda itu, yang terlalu fokus pada label “Eksekutif” di depan, hingga lupa bahwa Ekonomi ada di belakang dalam kereta yang sama.

Pelajaran lain yang bisa diambil adalah pentingnya literasi dasar, bahkan dalam hal-hal yang tampak sepele. Membaca tiket dengan teliti, memahami nomor gerbong, dan mendengarkan pengumuman stasiun adalah bagian dari tanggung jawab penumpang. Kesalahan kecil bisa berakibat besar, bukan karena sistemnya rumit, tetapi karena kita kurang teliti.

Kereta api, dengan segala keteraturannya, sebenarnya sudah dirancang untuk memudahkan manusia. Namun, kemudahan itu menuntut partisipasi aktif dari penumpang. Tidak cukup hanya hadir di stasiun dan memegang tiket; kita juga harus memahami konteks perjalanan. Di sinilah kesadaran menjadi kunci.

Bagi siapa pun yang sering atau jarang naik kereta, kisah ini patut dijadikan pengingat. Jangan ragu untuk bertanya, jangan malu untuk memastikan, dan jangan berasumsi berdasarkan potongan informasi. Satu pertanyaan sederhana kepada petugas bisa menyelamatkan perjalanan berjam-jam dan uang yang tidak sedikit.

Akhirnya, perjalanan dengan kereta api bukan hanya soal berpindah dari satu kota ke kota lain. Ia adalah latihan kecil tentang ketelitian, kesadaran, dan keberanian untuk bertanya. Hati-hati kalau naik kereta, lur. Kenali rangkaiannya, pahami gerbongnya, dan pastikan langkahmu tidak tertinggal di peron, sementara tujuanmu sudah melaju jauh ke depan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel