Selesai Pilihan, Wektune Nglakoni: Mbangun Desa Bebarengan Sawisé Kuwu Kapilih
Selesai Pilihan, Wektune Nglakoni: Mbangun Desa Bebarengan Sawisé Kuwu Kapilih
Ditulis oleh: Akang Marta
Pemilihan Kuwu atau Kepala Desa selalu menjadi momen penting dalam kehidupan masyarakat desa. Ia bukan sekadar agenda politik lima atau enam tahunan, tetapi peristiwa sosial yang melibatkan emosi, harapan, perbedaan pilihan, bahkan kadang luka yang tidak kasat mata. Saat masa kampanye, desa menjadi ramai oleh baliho, obrolan panas, dukung-mendukung, dan kadang sindiran halus maupun keras. Namun begitu hasil pilihan diumumkan, satu hal yang seharusnya disadari bersama adalah: kompetisi telah selesai, dan kerja bersama harus dimulai.
Mbangun desa bebarengan pasca pilihan kuwu bukan sekadar slogan pemersatu, melainkan kebutuhan nyata. Desa tidak bisa berjalan hanya dengan satu orang pemimpin, secerdas atau sekuat apa pun ia. Desa hidup dari gotong royong, dari partisipasi warga, dari kepercayaan sosial yang dibangun perlahan. Jika setelah pemilihan masih ada kubu “kami” dan “mereka”, maka yang rugi bukan calon yang kalah atau menang, melainkan desa itu sendiri.
Dalam budaya desa, perbedaan pilihan sejatinya bukan hal baru. Dari dulu, orang desa terbiasa beda pendapat saat musyawarah. Namun bedanya, musyawarah desa selalu diakhiri dengan mufakat, lalu dikerjakan bersama. Pemilihan kuwu seharusnya juga dimaknai seperti itu. Pilihan boleh beda, tetapi setelah keputusan keluar, kabeh kudu bali dadi sedulur sakampung.
Sayangnya, yang sering terjadi adalah sisa-sisa emosi politik terbawa terlalu lama. Ada yang masih menyimpan kekecewaan, ada yang merasa tidak diajak, ada pula yang terlalu larut dalam euforia kemenangan. Sikap-sikap seperti ini, jika dibiarkan, bisa menggerogoti sendi kehidupan desa. Program pembangunan terhambat, komunikasi tidak lancar, dan pelayanan kepada masyarakat menjadi tidak maksimal.
Kuwu terpilih memegang peran kunci dalam fase ini. Ia bukan lagi calon, melainkan pemimpin seluruh warga desa, termasuk mereka yang tidak memilihnya. Sikap merangkul menjadi keharusan, bukan pilihan. Bahasa yang digunakan harus menenangkan, bukan mengungkit masa kampanye. Kebijakan yang diambil harus terasa adil, bukan balas jasa. Di sinilah kualitas kepemimpinan diuji, bukan saat pidato kampanye, tetapi saat menyembuhkan perbedaan.
Namun membangun desa bukan hanya tugas kuwu. Warga desa juga memikul tanggung jawab yang sama besar. Mereka yang calonnya kalah perlu legawa, bukan berarti menyerah atau bungkam, tetapi tetap kritis dan konstruktif. Kritik tetap boleh, bahkan perlu, selama disampaikan dengan niat membangun, bukan menjatuhkan. Desa yang sehat adalah desa yang warganya berani bicara, tetapi juga siap bekerja.
Perangkat desa, BPD, RT, RW, tokoh masyarakat, dan tokoh agama juga memiliki peran strategis. Mereka adalah jembatan sosial yang bisa meredam gesekan dan memperkuat persatuan. Jika para tokoh ini masih terjebak dalam sekat-sekat politik, maka masyarakat di bawahnya akan ikut terbelah. Sebaliknya, jika mereka memberi teladan kebersamaan, masyarakat akan lebih mudah diajak melangkah bersama.
Mbangun desa bebarengan berarti mengembalikan fokus pada persoalan nyata: jalan rusak yang perlu diperbaiki, saluran air yang mampet, layanan administrasi yang harus dipercepat, lapangan kerja yang perlu diperluas, dan generasi muda yang butuh ruang berkembang. Persoalan-persoalan ini tidak peduli siapa yang menang dalam pilihan kuwu. Ia menuntut kerja kolektif, bukan perdebatan politik berkepanjangan.
Gotong royong, yang sering disebut sebagai ruh desa, tidak boleh mati hanya karena beda pilihan. Kerja bakti, ronda malam, kegiatan sosial, dan musyawarah warga adalah ruang-ruang penting untuk menyatukan kembali warga pasca pemilihan. Di ruang-ruang inilah sekat politik bisa luruh secara alami, digantikan oleh kesadaran bahwa hidup bertetangga jauh lebih panjang daripada masa kampanye.
Membangun desa juga berarti membangun kepercayaan. Kuwu perlu transparan dalam pengelolaan anggaran, terbuka dalam pengambilan keputusan, dan konsisten dalam pelayanan. Transparansi adalah obat paling ampuh untuk meredam kecurigaan. Ketika warga merasa dilibatkan dan diberi informasi yang jelas, rasa memiliki terhadap desa akan tumbuh kembali.
Di sisi lain, warga juga perlu mengubah cara pandang. Desa bukan milik kuwu, bukan milik kelompok pemenang, melainkan milik bersama. Jika ada kekurangan dalam pemerintahan desa, solusinya bukan dengan nyinyir atau memprovokasi, tetapi dengan ikut terlibat mencari jalan keluar. Partisipasi warga adalah energi utama pembangunan desa.
Pasca pilihan kuwu juga menjadi momen penting untuk mendidik demokrasi lokal. Anak-anak muda desa belajar bahwa demokrasi bukan soal menang-kalah semata, tetapi soal menerima hasil dan tetap bekerja bersama. Jika generasi muda hanya melihat pertengkaran pasca pemilihan, mereka akan tumbuh sinis terhadap politik desa. Sebaliknya, jika mereka melihat kedewasaan dan kebersamaan, mereka akan belajar nilai demokrasi yang sejati.
Mbangun desa bebarengan juga menuntut kesabaran. Luka sosial tidak selalu sembuh dalam sehari. Dibutuhkan waktu, pertemuan, dan interaksi yang terus-menerus. Tidak perlu memaksa semua orang langsung akur, yang penting adalah membuka ruang dialog dan kerja bersama. Dari kerja bersama itulah, kepercayaan perlahan akan kembali.
Pada akhirnya, pemilihan kuwu hanyalah satu bab dalam perjalanan panjang desa. Bab itu penting, tetapi bukan segalanya. Yang lebih penting adalah bab-bab setelahnya: bagaimana desa dikelola, bagaimana warganya sejahtera, dan bagaimana generasi berikutnya tumbuh. Semua itu tidak bisa dicapai dengan ego politik, melainkan dengan kebersamaan.
Mula saka kuwi, sawisé pilihan rampung, ayo padha nyingsingaké lengen. Sing menang ojo kemaki, sing kalah ojo ngasoraké awake dhewe. Kabeh isih nduwé peran. Mbangun desa bebarengan dudu omong kosong, nanging laku saben dina: kerja bareng, rembugan bareng, lan tanggung jawab bareng. Yen desa kuwat, warga bakal sejahtera. Lan yen warga wis rukun, pilihan kuwu ora bakal ninggalaké pecah, nanging dadi pondasi kanggo maju bebarengan.
