Ads

Negeri Tanpa Anonimitas: Dari Kentut, Kepo, sampai Moral Sosial yang Tak Pernah Tidur

Negeri Tanpa Anonimitas: Dari Kentut, Kepo, sampai Moral Sosial yang Tak Pernah Tidur

Ditulis oleh: Akang Marta



Ada satu bukti kecil, remeh, tapi sangat menentukan untuk memahami watak sosial bangsa ini. Bukan soal politik, bukan ekonomi, bukan pula ideologi besar. Bukti itu bernama: kentut.

Hanya di Indonesia, orang tidak boleh kentut tanpa identitas.
Di toilet umum, terdengar bunyi pelan tapi tegas: “put.” Seketika, satu ruangan hening. Semua aktivitas berhenti sepersekian detik. Air kran masih mengalir, tapi pikiran sudah bekerja. Kepala menoleh. Mata melirik lewat cermin. Tidak ada yang bicara, tapi semua mendengar. Ini bukan refleks biologis. Ini refleks sosial.

Kentut di Indonesia bukan sekadar pelepasan gas. Ia adalah peristiwa. Ia menuntut pertanggungjawaban moral. Di negara lain, kentut adalah urusan pribadi. Di sini, kentut adalah urusan bersama. Anonimitas tidak berlaku. Setiap bunyi harus punya wajah.

Maka dimulailah ritualnya.
Pelakunya tidak langsung keluar. Dia menunda. Semua menunda. Orang-orang pura-pura cuci tangan lebih lama. Ada yang berkumur, padahal tidak sikat gigi. Ada yang membersihkan kuku. Semua menunggu satu hal: siapa.

Begitu satu orang keluar dari bilik, langsung terjadi pengadilan tanpa hakim. Tidak ada palu sidang, tapi ada tatapan. Tidak ada dakwaan, tapi ada penilaian. Ekspresi wajah diperiksa. Bahasa tubuh dianalisis. “Kayaknya bukan dia.” “Oh, ini orangnya.” Tidak ada yang menunjuk, tapi semua tahu. Ini bukan kriminalistik. Ini sosial.

Peristiwa kentut di toilet umum adalah potret paling jujur tentang Indonesia: negeri yang tidak mengenal ruang privat secara utuh. Di sini, batas antara pribadi dan publik selalu tipis. Bahkan di tempat yang seharusnya paling personal, masyarakat tetap hadir sebagai pengawas tak kasatmata.

Budaya kepo berperan besar di sini.
Indonesia adalah bangsa yang sulit membiarkan sesuatu berlalu tanpa diketahui ujungnya. Suara aneh harus punya sumber. Gosip harus punya pelaku. Masalah harus punya wajah. Kita tidak nyaman dengan misteri kecil. Kalau ada sesuatu yang ganjil, refleks kita bukan menjauh, tapi mendekat.

Kentut menjadi simbolnya.
Ia adalah kejadian netral, alami, bahkan universal. Semua manusia melakukannya. Tapi hanya di Indonesia, kentut berubah menjadi peristiwa sosial. Ia memicu rasa ingin tahu, tawa tertahan, bahkan sedikit rasa jijik yang bercampur penasaran. Kita tidak marah, tapi kita ingin tahu. Kita tidak tersinggung, tapi kita ingin memastikan.

Ini sejalan dengan cara bangsa ini menghadapi banyak hal lain. Ada kecelakaan di jalan, orang bukan langsung menolong atau menyingkir, tapi berhenti dan melihat. Ada orang berantem, kerumunan terbentuk sebelum polisi datang. Ada musibah, yang pertama menyebar bukan bantuan, tapi video.

Kepo kita sudah bukan sekadar sifat, tapi sistem. Ia bekerja otomatis, lintas kelas sosial, lintas pendidikan. Dari warung kopi sampai ruang rapat, dari kampung sampai kampus. Semua ingin tahu, semua ingin jadi saksi.

Namun, kepo Indonesia berbeda dengan rasa ingin tahu ilmiah. Ia bukan tentang mencari kebenaran, tapi tentang memastikan keterlibatan. Kita ingin tahu karena kita tidak ingin tertinggal. Tidak ingin dianggap tidak update. Tidak ingin jadi satu-satunya yang tidak paham.

Kentut di toilet umum menegaskan satu hal: di Indonesia, tidak ada peristiwa yang sepenuhnya sepi. Bahkan bunyi sekecil itu pun mengundang perhatian kolektif. Ini lucu, tapi juga serius. Karena di balik kelucuannya, ada pola sosial yang kuat.

Pola itu adalah pengawasan sosial informal.
Kita jarang menegur secara langsung, tapi kita rajin mengamati. Kita jarang menghukum, tapi kita cepat menilai. Tidak ada sanksi resmi bagi tukang kentut, tapi ada rasa malu yang bekerja dengan efektif. Pelakunya tidak akan ditangkap, tapi akan diingat—setidaknya dalam beberapa detik penuh tatapan.

Inilah cara masyarakat kita menjaga keteraturan: bukan lewat aturan tertulis, tapi lewat rasa. Rasa sungkan. Rasa malu. Rasa tidak enak. Kentut menjadi contoh ekstrem bagaimana norma bekerja tanpa perlu disepakati secara formal.

Menariknya, kita juga jarang marah.
Tidak ada yang teriak, “Hei, siapa itu?” Tidak ada yang ribut. Semua dilakukan dalam diam. Dalam lirikan. Dalam tawa kecil yang disembunyikan. Ini menunjukkan bahwa bangsa ini lebih suka mengelola ketidaknyamanan daripada menghadapinya secara frontal.

Kita tidak konfrontatif, tapi juga tidak benar-benar cuek. Kita memilih jalan tengah yang aneh: mengamati tanpa bicara, menilai tanpa menyebut, tahu tanpa mengakui. Kentut di toilet umum menjadi drama mikro yang menggambarkan karakter makro.

Dan dari situ, kita bisa belajar banyak.
Tentang bagaimana kita memaknai ruang bersama. Tentang betapa kuatnya dorongan kolektif dalam kehidupan sehari-hari. Tentang sulitnya menjadi anonim di negeri yang semua orang saling memperhatikan, meski pura-pura tidak.

Indonesia bukan negeri individualis.
Di sini, bahkan kentut pun punya dimensi sosial. Bahkan bunyi kecil pun mengundang kebersamaan yang absurd. Kita tertawa dalam hati, menahan ekspresi, lalu pulang dengan cerita kecil yang tidak akan ditulis di berita, tapi akan diceritakan di tongkrongan.

Dan mungkin, justru di situlah keunikan kita.
Bangsa yang bisa menjadikan hal paling sepele sebagai cermin kebudayaan. Bangsa yang tidak membiarkan apa pun lewat begitu saja. Bangsa yang hidup dalam pengawasan, tapi juga dalam keakraban.

Kentut mengajarkan kita satu hal sederhana:
Di Indonesia, kamu tidak pernah benar-benar sendirian. Bahkan di toilet. Bahkan dalam hal paling manusiawi. Bahkan saat kamu berharap tidak ada yang peduli.

Negeri ini memang melelahkan.
Terlalu ramai. Terlalu ingin tahu. Terlalu dekat. Tapi di balik semua itu, ada rasa kebersamaan yang ganjil, hangat, dan sulit dijelaskan.

Sebuah negeri di mana kentut bukan sekadar bunyi, tapi cerita.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel