Urip Sing Gampang, Ati Sing Lega: Seni Ora Kesusu Mikiri Sing Ora-ora
Urip Sing Gampang, Ati Sing Lega: Seni Ora Kesusu Mikiri Sing Ora-ora
Ditulis oleh: Akang Marta
“Gak perlu susah mikiri sing ora-ora.” Kalimat sederhana ini terdengar ringan, bahkan terkesan sepele. Namun jika direnungi lebih dalam, ia menyimpan kebijaksanaan hidup yang tidak semua orang mampu mempraktikkannya. Di tengah dunia yang serba cepat, penuh tuntutan, dan dipadati informasi tanpa henti, pikiran manusia sering kali bekerja melebihi kebutuhannya. Kita memikirkan banyak hal yang belum tentu terjadi, menyesali yang sudah berlalu, dan mencemaskan sesuatu yang belum tentu menjadi bagian hidup kita. Padahal, hidup tidak selalu meminta kita untuk berpikir keras; kadang ia hanya meminta kita untuk bernapas dengan tenang dan menjalani hari apa adanya.
Manusia memiliki kecenderungan alami untuk “mikiri sing ora-ora”. Kita membayangkan skenario terburuk, menebak-nebak isi pikiran orang lain, atau mengkhawatirkan penilaian yang bahkan belum tentu ada. Pikiran menjadi ladang spekulasi yang tak ada ujungnya. Akibatnya, hati lelah sebelum tubuh benar-benar bekerja. Banyak orang terlihat sibuk, padahal yang bekerja keras bukan badannya, melainkan pikirannya yang tak pernah berhenti berisik.
Pepatah Jawa sejak lama mengajarkan kesederhanaan batin. Urip iku sawang-sinawang, hidup itu soal sudut pandang. Apa yang tampak berat bagi seseorang, bisa jadi biasa saja bagi yang lain. Beban sering kali bukan berasal dari masalah itu sendiri, melainkan dari cara kita memikirkannya. Ketika pikiran terus dipaksa memutar kemungkinan-kemungkinan yang belum tentu nyata, kita sebenarnya sedang menumpuk beban imajiner di atas pundak sendiri.
“Gak perlu susah mikiri sing ora-ora” bukan berarti hidup tanpa perencanaan atau tanggung jawab. Bukan pula ajakan untuk cuek dan abai. Justru sebaliknya, ini adalah ajakan untuk memilah: mana yang memang perlu dipikirkan, dan mana yang sebaiknya dilepaskan. Hidup akan terasa jauh lebih ringan ketika kita hanya memikul hal-hal yang memang menjadi tanggung jawab kita.
Sering kali kita lupa bahwa tidak semua hal berada dalam kendali kita. Ada urusan orang lain, ada keputusan Tuhan, ada alur hidup yang berjalan di luar rencana. Ketika kita memaksakan diri untuk mengontrol semuanya melalui pikiran, yang terjadi justru kelelahan batin. Padahal, menerima keterbatasan adalah bentuk kebijaksanaan. Ora kabeh kudu dipikir, ora kabeh kudu ditangani, ora kabeh kudu dimenangkan.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak contoh sederhana. Kita cemas memikirkan omongan orang, padahal belum tentu mereka benar-benar peduli. Kita khawatir soal masa depan yang masih jauh, sampai lupa menikmati hari ini. Kita takut gagal sebelum mencoba, lalu memilih tidak melangkah sama sekali. Semua itu lahir dari pikiran yang terlalu sibuk mengurusi “sing ora-ora”.
Belajar untuk tidak memikirkan hal-hal yang tidak perlu adalah latihan mental dan spiritual. Ini bukan kemampuan yang datang tiba-tiba, melainkan proses panjang. Kita perlu menyadari kapan pikiran mulai melenceng, kapan hati mulai resah tanpa sebab yang jelas. Pada titik itu, kita bisa berhenti sejenak, menarik napas, dan bertanya pada diri sendiri: “Iki penting ora? Iki ono gunane ora?”
Kearifan lokal Jawa mengenal konsep nrimo ing pandum. Bukan pasrah tanpa usaha, tetapi menerima hasil setelah ikhtiar dilakukan. Konsep ini sejalan dengan prinsip tidak memikirkan hal yang di luar kendali. Kita berusaha sebaik mungkin, lalu menyerahkan sisanya kepada Gusti. Pikiran pun menjadi lebih tenang, karena tidak dibebani oleh keharusan mengatur segalanya.
Ketika kita berhenti mikiri sing ora-ora, ruang batin menjadi lebih lapang. Kita punya energi untuk hal-hal yang benar-benar penting: keluarga, pekerjaan, ibadah, dan kesehatan. Kita bisa hadir sepenuhnya dalam percakapan, menikmati secangkir kopi tanpa tergesa, dan tidur tanpa dibayang-bayangi kecemasan yang tidak jelas asal-usulnya. Hidup terasa lebih nyata, tidak hanya berlangsung di kepala.
Banyak konflik batin sebenarnya tidak pernah terjadi di dunia nyata. Ia hanya hidup dalam pikiran. Kita bertengkar dengan asumsi, marah pada bayangan, dan takut pada kemungkinan. Ketika kita menyadari hal ini, kita akan tersenyum sendiri. Ternyata, sebagian besar penderitaan berasal dari pikiran yang tidak diberi rem. Maka, mengerem pikiran adalah bentuk kasih sayang pada diri sendiri.
Dalam konteks spiritual, tidak memikirkan hal yang tidak perlu adalah bagian dari tawakal. Kita percaya bahwa hidup ini ada yang mengatur. Kita berusaha, tetapi tidak terobsesi. Kita merencanakan, tetapi tidak menggenggam terlalu erat. Dengan begitu, hati menjadi lebih fleksibel menghadapi perubahan. Ketika sesuatu tidak berjalan sesuai rencana, kita tidak langsung runtuh, karena sejak awal tidak menaruh seluruh beban di kepala sendiri.
Urip sing gampang dudu urip tanpa masalah, tetapi urip sing ora ditambah-tambahi masalah. Masalah akan selalu ada, itu pasti. Namun menambah beban dengan pikiran yang berlebihan adalah pilihan. Kita bisa memilih untuk fokus pada langkah hari ini, bukan pada ketakutan esok hari yang belum tentu datang.
Pada akhirnya, “gak perlu susah mikiri sing ora-ora” adalah undangan untuk hidup dengan sadar. Menyadari batas diri, menyadari peran Tuhan, dan menyadari bahwa hidup tidak harus selalu rumit. Kesederhanaan batin adalah kemewahan yang sering diabaikan. Ketika kita mampu menjaganya, hidup terasa lebih ramah.
Maka, jika suatu hari pikiran kembali ramai, ingatlah kalimat ini. Ulangi pelan-pelan. Lepaskan yang tidak perlu. Fokus pada yang ada di depan mata. Jalani hari dengan niat baik dan usaha yang cukup. Sisanya, biarkan berjalan sebagaimana mestinya. Karena hidup yang tenang bukan tentang tidak adanya masalah, melainkan tentang tidak membiarkan pikiran mengada-ada. Urip iku sak madyo wae, ati legi, pikiran bening, lan langkah luwih manteb.
