Ads

Ketika Kritik Dibalas Teror: Alarm Demokrasi yang Tak Boleh Diabaikan

Ketika Kritik Dibalas Teror: Alarm Demokrasi yang Tak Boleh Diabaikan

Oleh: Akang Marta

Ada satu pertanyaan yang belakangan ini terus menggema di ruang publik: kenapa kritik justru dibalas dengan teror? Pertanyaan ini bukan lagi sekadar wacana akademik atau perdebatan di warung kopi, melainkan realitas yang dialami langsung oleh sejumlah influencer, aktivis, dan warga yang berani bersuara. Dari kiriman ayam mati, telur busuk, coretan intimidatif, hingga surat ancaman semuanya membentuk satu pola yang tidak bisa lagi dianggap kebetulan.

Kasus yang menimpa Bang Doni, Kak Sherli, dan beberapa figur publik lainnya adalah cermin buram wajah demokrasi kita hari ini. Kritik yang disampaikan secara terbuka, bahkan dengan niat memperbaiki, justru direspons dengan cara-cara pengecut. Teror bukan hanya ancaman fisik, tetapi juga serangan psikologis yang bertujuan membungkam, menakut-nakuti, dan mematikan keberanian. Ini bukan sekadar soal individu, tetapi soal ekosistem demokrasi yang sedang diuji.

Bang Doni menegaskan satu hal penting: kritik bukanlah kebencian. Kritik adalah bentuk kepedulian. Ia menyampaikan kritik terhadap kebijakan, bukan menyerang pribadi. Ia memuji ketika ada yang baik, dan mengingatkan ketika ada yang keliru. Bahkan, dalam isu penanganan bencana, ia turun langsung membantu tanpa eksploitasi. Namun ironisnya, justru sikap moderat dan objektif itu yang berujung pada teror. Ini menunjukkan ada persoalan serius dalam cara sebagian pihak memandang kritik.

Kritik seolah dipersepsikan sebagai ancaman kekuasaan, bukan sebagai umpan balik. Padahal, dalam demokrasi sehat, kritik adalah vitamin, bukan racun. Pemerintah ibarat seseorang yang sedang bercermin. Jika rambutnya berantakan, yang perlu dilakukan adalah merapikan rambut, bukan memecahkan cermin. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya: cermin disalahkan, bahkan dihancurkan.

Pengalaman Kak Sherli memperkuat dugaan bahwa teror ini bukan peristiwa tunggal. Polanya berulang, waktunya berdekatan, sasarannya relatif sama: mereka yang vokal, kritis, dan punya jangkauan publik. Telur busuk, coretan, surat intimidatif semuanya memiliki “DNA pesan” yang serupa. Ini mengindikasikan adanya sistem, bukan spontanitas. Jika dibiarkan, pola ini akan menormalisasi kekerasan simbolik dalam ruang demokrasi.

Yang lebih mengkhawatirkan, teror ini berpotensi menciptakan chilling effect: orang-orang yang sebenarnya peduli akhirnya memilih diam karena takut. Demokrasi pun berubah menjadi ruang sunyi, di mana hanya pujian yang terdengar, sementara jeritan rakyat tenggelam. Padahal, demokrasi tanpa kritik adalah demokrasi yang sakit, bahkan semu.

Menariknya, baik Bang Doni maupun Kak Sherli memilih untuk terlebih dahulu bersuara di media sosial, bukan langsung ke kantor polisi. Keputusan ini sering disalahpahami sebagai mencari sensasi. Padahal, ada konteks yang lebih dalam: kekecewaan terhadap penanganan kasus serupa di masa lalu yang tak kunjung tuntas. Ketika keadilan terasa jauh, publik mencari ruang aman untuk bersuara, dan media sosial menjadi pilihan paling rasional.

Namun demikian, seruan Pak Edi Hasibuan juga patut dicatat. Secara hukum, kebebasan berpendapat memang dilindungi, tetapi penegakan hukum membutuhkan laporan dan bukti. Polisi tidak bisa bekerja di ruang hampa. Di titik ini, kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum menjadi kunci. Tanpa kepercayaan, imbauan untuk melapor akan terus terdengar normatif.

Di sinilah negara diuji: apakah mampu menghadirkan rasa aman bagi warga yang kritis? Apakah negara berdiri di sisi kebebasan berekspresi, atau justru membiarkan teror tumbuh subur di lorong-lorong gelap? Presiden telah secara terbuka menyatakan bahwa kritik diperbolehkan. Maka, jangan sampai ada pihak-pihak tak bertanggung jawab yang justru mencederai semangat tersebut dan merusak citra pemerintahan itu sendiri.

Kritik terhadap penanganan bencana, misalnya, bukanlah upaya menjatuhkan. Ketika listrik tiba-tiba menyala H-1 sebelum kunjungan pejabat, ketika tenda mendadak rapi menjelang kedatangan pemimpin, publik berhak bertanya. Itu bukan fitnah, melainkan kejanggalan yang membutuhkan klarifikasi. Empati bukan soal laporan statistik, tetapi soal kehadiran nyata dan konsistensi.

Generasi muda hari ini seperti yang disampaikan Kak Sherli tidak mudah dibodohi. Mereka kritis, terbiasa double check, dan peka terhadap kejanggalan. Justru teror-teror seperti ini akan memantik rasa ingin tahu yang lebih besar. Pertanyaannya sederhana: ada apa sampai harus setakut itu terhadap kritik?

Dalam konteks ini, kritik seharusnya dilihat sebagai alarm dini. Ketika alarm berbunyi, bukan alarmnya yang dimatikan, tetapi sumber bahayanya yang dicari. Jika kritik dibungkam, masalah tidak hilang ia hanya dipendam, lalu meledak di kemudian hari dengan dampak yang lebih besar.

Bang Doni dan Kak Sherli menyampaikan satu pesan moral yang kuat: diam bukan pilihan. Mereka sadar risikonya, tetapi memilih bersuara karena percaya bahwa kebermanfaatan adalah esensi kemanusiaan. Pendidikan, popularitas, dan pengaruh publik kehilangan makna jika tidak digunakan untuk membela kepentingan rakyat.

Ketika kritik dibalas dengan teror, sesungguhnya yang terancam bukan hanya individu, tetapi masa depan demokrasi itu sendiri. Negara yang kuat bukan negara yang anti-kritik, melainkan negara yang mampu mendengar, mengoreksi diri, dan berbenah. Jika hari ini ayam mati dan telur busuk dikirimkan untuk menakut-nakuti, besok bisa jadi yang dibungkam adalah suara rakyat secara keseluruhan.

Karena itu, publik tidak boleh diam. Solidaritas harus dibangun. Aparat penegak hukum harus bertindak tegas dan transparan. Pemerintah harus memastikan bahwa kebebasan berpendapat bukan sekadar slogan, tetapi realitas yang dilindungi. Dan kita semua, sebagai warga negara, harus terus menjaga ruang kritik agar tetap hidup karena di situlah demokrasi bernapas.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel