Ads

Ngidep-Ngidep Bocah Lembut

 

Ngidep-Ngidep Bocah Lembut

Ditulis oleh: M. Nurudin


Ungkapan ngidep-ngidep bocah lembut terdengar sederhana, nyaris seperti guyonan, tetapi sesungguhnya menyimpan makna yang dalam. Ia menggambarkan sikap seseorang yang berjalan pelan, penuh kehati-hatian, tidak meledak-ledak, tidak tergesa-gesa, dan tidak merasa perlu menabrak apa pun untuk sampai ke tujuan. Bocah lembut bukan berarti lemah. Ia hanya memilih cara yang halus, tenang, dan penuh perhitungan dalam menghadapi dunia yang sering kali keras.

Di tengah zaman yang bising, serba cepat, dan penuh tuntutan, sikap ngidep-ngidep justru terasa asing. Dunia hari ini mengagungkan keberanian yang lantang, keputusan yang cepat, dan ekspresi yang keras. Siapa yang pelan dianggap tertinggal. Siapa yang diam dianggap tidak punya pendirian. Padahal, dalam kebudayaan lama, berjalan pelan bukan tanda kalah, melainkan tanda sadar diri.

Bocah lembut biasanya tumbuh dari lingkungan yang mengajarkan unggah-ungguh. Ia diajari kapan harus bicara, kapan harus diam, kapan harus maju, dan kapan harus menepi. Ia paham bahwa tidak semua ruang perlu diisi suara, dan tidak semua persoalan perlu dihadapi dengan benturan. Karena itu langkahnya ngidep-ngidep, tidak sembrono, tidak sok tahu, dan tidak merasa paling benar.

Namun sering kali, bocah lembut justru paling rentan disalahpahami. Dalam lingkungan yang kompetitif, ia dianggap tidak ambisius. Dalam forum yang penuh adu argumen, ia dianggap tidak cakap. Dalam hiruk-pikuk media sosial, ia tenggelam oleh suara yang lebih keras. Padahal, di balik kelembutannya, bocah ini menyimpan kepekaan yang tajam. Ia melihat lebih banyak karena ia tidak sibuk menonjolkan diri.

Ngidep-ngidep bukan berarti ragu tanpa arah. Ia adalah bentuk kehati-hatian yang lahir dari kesadaran bahwa setiap langkah punya konsekuensi. Bocah lembut tahu bahwa satu ucapan bisa melukai, satu keputusan bisa berdampak panjang, dan satu tindakan bisa mengubah relasi. Maka ia memilih melangkah perlahan, memastikan pijakan sebelum menggeser kaki.

Dalam kehidupan sosial, tipe seperti ini sering menjadi penyangga yang tidak terlihat. Ia jarang tampil di depan, tetapi hadir di belakang layar. Ia mendengarkan lebih banyak daripada berbicara. Ia mengalah bukan karena kalah, tetapi karena memahami bahwa tidak semua konflik perlu dimenangkan. Di saat orang lain sibuk berdebat, bocah lembut justru sibuk merawat hubungan.

Budaya Jawa sejak lama memberi ruang bagi karakter seperti ini. Ada falsafah alon-alon waton kelakon yang sering disalahartikan sebagai pembenaran kemalasan. Padahal maknanya jauh lebih dalam: bergerak dengan tenang agar tujuan tercapai tanpa merusak sekitar. Ngidep-ngidep adalah praktik hidup dari falsafah itu. Ia mengajarkan bahwa kecepatan tanpa kebijaksanaan justru berbahaya.

Sayangnya, modernitas sering kali tidak ramah pada kelembutan. Dunia kerja menuntut agresivitas. Politik menuntut kelantangan. Ruang publik menuntut keberanian tampil. Bocah lembut dipaksa beradaptasi, bahkan sering dipaksa berubah menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Jika tidak, ia dianggap tidak relevan. Di sinilah banyak bocah lembut tumbuh dengan luka batin: merasa tidak cukup, merasa tertinggal, merasa salah hanya karena ia tidak keras.

Padahal, kelembutan adalah kekuatan yang berbeda, bukan kelemahan. Ia tidak menghancurkan, tetapi menembus. Ia tidak memaksa, tetapi mempengaruhi. Orang lembut sering kali justru dipercaya dalam jangka panjang, karena konsistensinya. Ia mungkin tidak mencuri perhatian, tetapi ia menjaga kepercayaan.

Ngidep-ngidep bocah lembut juga mengajarkan kesabaran. Ia tidak tergesa ingin diakui. Ia tidak panik ketika dilangkahi. Ia tahu waktunya akan datang, atau jika tidak pun, ia tetap utuh sebagai dirinya sendiri. Dalam dunia yang serba instan, kesabaran semacam ini terasa langka dan mahal.

Dalam relasi personal, bocah lembut sering menjadi tempat aman. Ia tidak menghakimi. Ia mendengar tanpa menyela. Ia hadir tanpa banyak tuntutan. Namun ironisnya, justru karena sifat itu, ia kadang dianggap bisa dimanfaatkan. Banyak bocah lembut belajar pahitnya dunia bukan karena kebodohan, tetapi karena kepercayaannya terlalu tulus. Di sinilah ia belajar satu hal penting: lembut bukan berarti tanpa batas.

Ngidep-ngidep juga berarti tahu kapan harus berhenti. Bocah lembut yang dewasa akan belajar bahwa menjaga diri sama pentingnya dengan menjaga orang lain. Ia tetap lembut, tetapi tidak membiarkan dirinya diinjak. Ia tetap tenang, tetapi tidak membiarkan ketidakadilan lewat begitu saja. Kelembutan yang matang adalah kelembutan yang sadar batas.

Dalam konteks masyarakat, bocah lembut sering kali menjadi jembatan. Ia mampu berbicara dengan berbagai pihak tanpa memicu konflik. Ia memahami perbedaan tanpa merasa terancam. Dalam situasi panas, kehadirannya menurunkan tensi. Dalam situasi kacau, ia membawa ketertiban. Sayangnya, peran ini jarang diberi panggung, padahal sangat menentukan.

Ngidep-ngidep bocah lembut adalah pengingat bahwa tidak semua yang berharga harus keras dan bising. Ada nilai dalam diam, ada kekuatan dalam pelan, dan ada keberanian dalam memilih tidak menabrak. Dunia boleh terus berlari, tetapi selalu akan membutuhkan mereka yang berjalan pelan untuk memastikan arah tidak salah.

Pada akhirnya, bocah lembut mungkin tidak dikenang sebagai yang paling keras suaranya, tetapi sering dikenang sebagai yang paling tulus langkahnya. Ia mungkin tidak meninggalkan jejak besar, tetapi meninggalkan bekas yang dalam di hati orang-orang yang pernah disapanya dengan kejujuran.

Dan di zaman yang semakin kasar ini, ngidep-ngidep bocah lembut bukanlah sikap kuno. Ia justru menjadi bentuk perlawanan yang paling sunyi: bertahan menjadi manusia yang utuh, lembut, dan sadar, tanpa harus kehilangan diri demi dunia yang terlalu ribut.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel