Ads

Fobia Negara terhadap Pemikiran: Refleksi atas Pembubaran Diskusi Buku dan Ruang Publik di Indonesia

Fobia Negara terhadap Pemikiran: Refleksi atas Pembubaran Diskusi Buku dan Ruang Publik di Indonesia

Ditulis oleh: Akang Marta



Indonesia, sebagai sebuah negara yang menganut prinsip demokrasi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, seharusnya menjadi ruang yang aman bagi warganya untuk mengekspresikan gagasan, menyampaikan kritik, dan mengembangkan pemikiran secara bebas. Konstitusi Republik Indonesia, khususnya Pasal 28 UUD 1945, secara jelas menjamin hak setiap warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Namun, kenyataan di lapangan, seperti yang terjadi dalam kasus pembubaran diskusi buku “Reset Indonesia” di Madiun dan daerah lainnya, menunjukkan bahwa prinsip-prinsip dasar tersebut masih sering diabaikan, bahkan oleh aparat yang seharusnya melindungi hak-hak sipil warga. Fenomena ini bukan hanya mengancam demokrasi, tetapi juga mencerminkan adanya fobia negara terhadap pemikiran kritis dan intelektual.

Kasus pembubaran diskusi buku ini menjadi simbol nyata bagaimana negara menggunakan dalih administratif atau alasan keamanan untuk membungkam ekspresi yang sah. Narasumber dari berbagai daerah mengamati bahwa aparat sering kali bertindak sewenang-wenang, mengklaim bahwa suatu kegiatan menimbulkan “keresahan masyarakat”, padahal tidak ada bukti objektif yang mendukung klaim tersebut. Narasumber, seperti Mbak Ismi, menekankan bahwa aparat masih terbelenggu oleh miskonsepsi terkait izin dan pemberitahuan, sehingga mereka sering menggunakan narasi subjektif untuk membenarkan tindakan represif. Misalnya, diskusi buku yang seharusnya harmless, justru dikaitkan dengan tuduhan sebagai provokator atau antek asing, padahal tujuan kegiatan tersebut murni untuk pertukaran gagasan dan pendidikan politik.

Fenomena ini menunjukkan adanya pola keberulangan. Aparat, dari tingkat desa hingga kabupaten, tampak menggunakan metode yang sama dalam membatasi ruang diskusi, yang mengindikasikan adanya struktur dan sistem kontrol yang berlapis. Ketika pola ini terjadi berulang kali, masyarakat mulai merasakan ketimpangan relasi kuasa yang sangat besar. Sementara itu, pemahaman aparat terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia masih minim. Instrumen hukum internal seperti Kapolri tentang standar implementasi HAM belum diterapkan secara konsisten di lapangan. Akibatnya, tindakan pembubaran diskusi atau pembatasan ekspresi kritis tidak hanya merugikan penyelenggara kegiatan, tetapi juga merusak upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Komentar publik yang masuk dari berbagai daerah menegaskan bahwa tindakan represif ini telah menimbulkan frustrasi dan rasa ketidakadilan. Bahrul dari Banten menyoroti bahwa pemerintah cenderung anti-kritik dan hanya ingin mengontrol masyarakat tanpa memberi ruang untuk mengawasi kinerja dan kebijakan. Anisa dari Malang menambahkan bahwa semua dikontrol, dibungkam, dan diringkus, sehingga keadilan dan kesejahteraan rakyat sulit tercapai jika pemimpin sendiri tidak mau mendengar. Gamaliel dari Bali menyatakan bahwa aparat sering dibenturkan dengan rakyat, sementara penguasa berlindung, dan Rani dari Pamulang menanyakan apakah hal ini merupakan penyalahgunaan kekuasaan dengan menggerakkan aparat untuk bertentangan dengan rakyat. Pertanyaan ini relevan karena polisi dan aparat seharusnya menjadi pelindung, bukan alat represi yang digunakan untuk menakut-nakuti warga.

Dalam konteks ini, tindakan aparat untuk membubarkan diskusi buku bukan hanya soal administratif atau keamanan. Fenomena ini mencerminkan kecenderungan negara untuk menakuti masyarakat agar tidak kritis. Negara tampaknya memiliki fobia terhadap warganya yang cerdas dan idealis. Ketika kritik dan gagasan intelektual dianggap ancaman, negara gagal menjalankan fungsinya sebagai fasilitator ruang publik yang sehat. Situasi ini mengingatkan kita pada praktik Orde Baru, di mana kebebasan sipil dibatasi dan kritik terhadap pemerintah dianggap subversif. Meskipun era demokrasi telah datang, beberapa pola lama—seperti kontrol ketat terhadap opini publik, militarisme, dan politik oligarkis—masih terasa hingga hari ini.

Salah satu konsekuensi serius dari pembubaran diskusi ini adalah dampaknya terhadap pendidikan politik dan kapasitas berpikir kritis masyarakat. Diskusi buku, seperti “Reset Indonesia”, memberikan wawasan tentang isu-isu sosial, politik, dan lingkungan yang relevan bagi kehidupan masyarakat. Ketika akses terhadap pengetahuan ini dibatasi, generasi muda kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kritisisme, menilai kebijakan secara objektif, dan memahami permasalahan bangsa secara mendalam. Dengan kata lain, pembungkaman ruang publik secara sistematis dapat menghasilkan generasi yang pasif, mudah terpengaruh propaganda, dan tidak mampu menuntut pertanggungjawaban pemerintah. Hal ini merupakan ancaman nyata bagi demokrasi dan masa depan bangsa.

Tidak hanya itu, fenomena ini juga menimbulkan paradoks dalam konteks kontrol ideologi dan opini publik. Narasumber menekankan bahwa tindakan pembubaran dan intimidasi justru meningkatkan perhatian publik terhadap buku atau diskusi yang dibatasi. Fenomena ini dikenal sebagai efek “Streisand”, di mana upaya menyembunyikan atau membatasi informasi justru menimbulkan rasa penasaran dan menyebarkan perhatian lebih luas. Dengan kata lain, tindakan aparat yang represif tidak selalu efektif dalam mengendalikan opini publik; justru hal itu sering kali menjadi momentum bagi warganya untuk semakin kritis dan mencari informasi lebih dalam.

Lebih jauh lagi, tindakan ini memperlihatkan lemahnya kapasitas institusi negara dalam melindungi hak-hak sipil. Aparat yang bertindak sewenang-wenang tanpa mekanisme pertanggungjawaban yang jelas menciptakan ketidakpastian hukum. Hal ini bukan hanya merugikan masyarakat secara langsung, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi negara. Ketidakpercayaan ini berdampak pada legitimasi pemerintah, karena warga mulai skeptis terhadap motif di balik kebijakan dan tindakan aparat. Akibatnya, alienasi politik meningkat, dan masyarakat cenderung menarik diri dari partisipasi aktif, sehingga demokrasi yang sehat semakin tergerus.

Fenomena pembungkaman ini juga mengindikasikan adanya masalah struktural dalam sistem politik Indonesia. Politik transaksional, di mana warga lebih terpengaruh oleh bansos, kampanye populer, atau hiburan politik daripada substansi kebijakan, membuat kritik dan evaluasi terhadap pemerintah semakin terpinggirkan. Oligarki memanfaatkan situasi ini untuk mempertahankan dominasi, sementara rakyat menjadi konsumen pasif dari kebijakan dan narasi yang dikontrol. Dalam konteks ini, pembatasan diskusi buku atau nobar film adalah alat untuk memastikan opini publik tetap terkendali, sehingga wacana kritis tidak berkembang dan sistem tetap menguntungkan kelompok berkuasa.

Selain dampak terhadap demokrasi dan pendidikan publik, tindakan pembatasan juga memiliki implikasi terhadap reputasi internasional Indonesia. Negara yang menutup ruang partisipasi, membatasi ekspresi kreatif, dan menggunakan dalih keamanan untuk menekan warganya dapat dipandang sebagai negara yang kurang menghargai hak asasi manusia. Hal ini dapat memengaruhi peringkat demokrasi Indonesia di forum internasional, serta persepsi global mengenai kualitas institusi dan komitmen negara terhadap kebebasan sipil. Penurunan skor demokrasi bukan sekadar angka, tetapi refleksi nyata dari kondisi hak sipil dan kebebasan yang semakin tergerus.

Dalam menghadapi fenomena ini, publik perlu mengambil sikap aktif. Narasumber seperti Pak Herlambang menegaskan bahwa masyarakat harus berani menentang pembodohan dan manipulasi yang dilakukan oleh aparat. Tindakan membubarkan diskusi atau membatasi hak warga sama saja dengan mengajarkan dungu massal, merusak upaya mencerdaskan bangsa, dan menutup peluang generasi muda untuk berpikir kritis. Dengan demikian, perlawanan terhadap pembungkaman ruang publik bukan hanya bentuk protes, tetapi merupakan upaya mempertahankan kualitas demokrasi dan masa depan pendidikan politik di Indonesia.

Selain itu, pemerintah perlu mengambil tanggung jawab. Pemerintah daerah maupun pusat, termasuk Kementerian HAM, harus mengakui kesalahan, meminta maaf, dan memberikan penjelasan transparan terkait pembubaran diskusi. Kapolri juga perlu bertindak untuk memastikan reformasi kepolisian dapat menegakkan hukum secara adil, mencegah tindakan sewenang-wenang, dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap aparat. Tanpa langkah-langkah ini, pemerosotan demokrasi akan terus berlanjut, dan generasi mendatang akan menanggung kerugian akibat ketidakmampuan negara dalam menjaga ruang publik yang bebas dan aman.

Penting untuk dicatat bahwa diskusi dan buku semacam “Reset Indonesia” menawarkan wawasan penting tentang kondisi sosial-politik bangsa. Ketika gagasan-gagasan ini dibungkam, masyarakat kehilangan kesempatan untuk memahami masalah secara mendalam dan memberikan kontribusi dalam perbaikan kebijakan. Diskusi publik adalah sarana pembelajaran, penguatan kritisisme, dan partisipasi aktif warga negara. Oleh karena itu, pembatasan yang dilakukan tanpa alasan sah dan prosedur yang jelas bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi pengkhianatan terhadap prinsip dasar negara demokratis.

Lebih jauh lagi, pembungkaman ini menimbulkan dilema etis. Aparat yang membatasi ruang diskusi, memprovokasi ketakutan, atau menimbulkan intimidasi, telah mengkhianati fungsi mereka sebagai pelindung warga. Negara yang demokratis harusnya mendorong kritik dan diskusi sebagai sarana pembelajaran dan penguatan demokrasi, bukan menakuti dan membungkam warganya. Ketika kritik dianggap ancaman, negara menunjukkan ketidakmampuannya untuk menghadapi perbedaan pendapat, sehingga demokrasi hanya menjadi formalitas tanpa substansi.

Fenomena ini juga menyoroti perlunya penguatan budaya baca dan diskusi di masyarakat. Buku, film, dan media lain bukan sekadar hiburan, tetapi sarana untuk membangun empati, kritisisme, dan kemampuan menganalisis isu sosial-politik. Pembatasan terhadap media ini sama dengan membatasi kapasitas masyarakat untuk berpikir kritis, menilai kebijakan, dan berpartisipasi aktif. Dengan kata lain, membungkam diskusi publik sama dengan merampas hak generasi muda untuk mengembangkan intelektualitas dan keterlibatan politik mereka.

Dari perspektif hukum, pembubaran diskusi ini tidak memiliki dasar yang sah. Instrumen internasional maupun nasional, termasuk Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik, menjamin kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat. Aparat yang bertindak tanpa dasar hukum yang jelas tidak hanya melanggar hak sipil, tetapi juga melemahkan institusi hukum dan demokrasi. Ketidakpatuhan terhadap prinsip hukum ini menciptakan preseden berbahaya, di mana tindakan represif dapat dibenarkan tanpa pertanggungjawaban, menurunkan kualitas tata kelola negara, dan merusak kepercayaan publik.

Selain itu, fenomena ini menyoroti masalah struktural dalam tata politik Indonesia. Tradisi militerisme, politik oligarkis, dan politik transaksional menciptakan kondisi di mana kritik dan kontrol publik terhadap pemerintah semakin terbatas. Aparat dan elit politik cenderung bertindak untuk mempertahankan dominasi, bukan untuk melayani kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, pembatasan diskusi atau nobar film adalah bagian dari strategi sistemik untuk menjaga status quo, mengurangi kritik, dan mengendalikan opini publik. Kondisi ini mengingatkan pada era Orde Baru, yang ditandai oleh kontrol ketat terhadap opini publik dan pembungkaman warganya.

Fenomena pembungkaman ini juga menggarisbawahi pentingnya pendidikan politik dan literasi hak asasi manusia di masyarakat. Warga perlu diberdayakan untuk memahami hak-hak mereka, menilai kebijakan secara kritis, dan menuntut pertanggungjawaban pemerintah. Pendidikan politik yang efektif akan menciptakan warga yang mampu berpikir kritis, berpartisipasi dalam demokrasi, dan tidak mudah terpengaruh propaganda atau manipulasi politik. Tanpa pendidikan politik yang memadai, demokrasi akan tetap rapuh, dan tindakan represif aparat akan lebih mudah diterima atau diabaikan.

Dalam konteks ini, buku dan diskusi publik seperti “Reset Indonesia” memiliki peran penting. Mereka memberikan wawasan kritis, membangkitkan kesadaran sosial, dan mendorong partisipasi warga. Pembatasan terhadap kegiatan semacam ini bukan hanya merugikan individu atau kelompok penyelenggara, tetapi juga merugikan masyarakat secara luas. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi bukan hanya tentang pemilihan umum atau institusi formal, tetapi juga tentang kualitas partisipasi publik, kebebasan berekspresi, dan kemampuan masyarakat untuk berpikir kritis.

Kesimpulannya, pembubaran diskusi buku dan pembatasan ruang publik di Indonesia merupakan cermin dari tantangan serius yang dihadapi demokrasi kita. Negara seharusnya menjadi pelindung hak-hak sipil, fasilitator partisipasi publik, dan pendorong kritisisme intelektual. Namun, kenyataannya, tindakan aparat yang represif dan pembungkaman ruang publik menunjukkan adanya fobia negara terhadap pemikiran kritis. Fenomena ini tidak hanya mengancam pendidikan politik dan demokrasi, tetapi juga merusak reputasi internasional Indonesia dan menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Oleh karena itu, publik harus berani menentang pembodohan dan manipulasi yang dilakukan oleh aparat. Pemerintah perlu mengambil tanggung jawab, meminta maaf, dan memastikan bahwa reformasi institusi, termasuk kepolisian, dapat menegakkan hukum secara adil. Pendidikan politik dan literasi hak asasi manusia harus diperkuat agar generasi muda mampu berpikir kritis, berpartisipasi aktif, dan menuntut pertanggungjawaban pemerintah. Buku, diskusi, dan media kritis harus dihargai sebagai sarana pembelajaran dan penguatan demokrasi, bukan dibungkam dengan dalih administratif atau keamanan.

Demokrasi sejati adalah demokrasi yang tidak takut pada warganya yang cerdas, kritis, dan idealis. Negara yang demokratis harus mendorong warganya untuk berpikir, berdebat, dan mengkritik, bukan menakuti atau membungkam mereka. Pembungkaman, intimidasi, dan kontrol berlebihan bukan solusi, melainkan ancaman nyata terhadap masa depan bangsa. Oleh karena itu, kita sebagai warga negara harus terus memperjuangkan ruang publik yang bebas, aman, dan demokratis, agar hak-hak sipil kita terjaga, demokrasi diperkuat, dan generasi mendatang memiliki kesempatan terbaik untuk membangun Indonesia yang lebih adil, cerdas, dan bermartabat.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel