Ads

Nafas yang Dipinjamkan, Hidup yang Dititipkan (Muhasabah AlaNafsi Fi Akhiri Sannah)

 Nafas yang Dipinjamkan, Hidup yang Dititipkan (Muhasabah AlaNafsi Fi Akhiri Sannah)

Ditulis oleh: Akang Marta



Tentang kehidupan di dunia ini, sesungguhnya ia bukan kisah tentang betapa enaknya menjadi orang yang serba ada. Bukan pula tentang rumah megah, kendaraan mewah, atau lembaran uang yang tak habis dihitung. Kehidupan yang paling nyata justru sering tersembunyi di balik hal-hal sederhana yang kerap kita abaikan. Tentang bangun tidur dengan tubuh yang masih bisa digerakkan, tentang dada yang masih mengembang menghirup udara, dan tentang hati yang masih mampu mengucap syukur, meski pelan dan sering kali tertahan oleh lelah.

Alhamdulillah, sampai hari ini kita masih diberi sehat walafiat. Kalimat itu terdengar biasa, bahkan sering diucapkan tanpa rasa. Padahal di dalamnya tersimpan nikmat yang tak ternilai harganya. Sehat bukan sekadar tidak sakit, melainkan kemampuan untuk menjalani hari dengan segala keterbatasan dan keikhlasan. Ada orang yang hartanya berlimpah, tetapi tak mampu tidur nyenyak. Ada yang kekuasaannya tinggi, namun jiwanya rapuh. Ada pula yang tampak tersenyum di luar, tetapi berjuang keras menahan sakit yang tak terlihat.

Kehidupan mengajarkan bahwa syukur tidak selalu lahir dari kelimpahan, melainkan dari kesadaran. Kesadaran bahwa kita masih hidup. Kesadaran bahwa hari ini masih diberi kesempatan. Kesadaran bahwa napas yang keluar masuk ini bukan milik kita sepenuhnya, melainkan titipan yang sewaktu-waktu bisa diambil kembali oleh Sang Pemilik Hidup. Karena itu, bersyukur bukan pilihan, melainkan kebutuhan jiwa agar kita tidak tenggelam dalam keluhan.

Tahun demi tahun berganti, dan kini kita berdiri di ambang pergantian tahun 2026. Banyak orang sibuk menghitung capaian, membandingkan diri dengan orang lain, dan menyesali hal-hal yang belum terwujud. Padahal, jika kita mau jujur pada diri sendiri, masih bisa melihat dunia hari ini saja sudah merupakan anugerah besar. Mata yang masih dapat memandang pagi, telinga yang masih bisa mendengar suara, dan kaki yang masih sanggup melangkah, semuanya adalah karunia yang sering luput dari perhatian.

Tentang umur, tidak ada seorang pun yang benar-benar tahu. Tidak ada kalender yang bisa menjamin bahwa kita akan sampai di tahun depan. Tidak ada rencana yang sepenuhnya berada dalam kendali manusia. Umur bukan soal panjang atau pendek, melainkan soal makna. Ada yang hidupnya singkat namun penuh kebaikan, dan ada pula yang panjang umur tetapi habis dalam kesia-siaan. Hanya Tuhan yang tahu kapan waktu terbaik untuk memanggil setiap hamba-Nya.

Di tengah ketidakpastian itu, kita sering keliru menilai harta. Kita mengira harta adalah sesuatu yang bisa disimpan, ditumpuk, dan diwariskan. Padahal, harta sesungguhnya yang paling berharga di dunia ini adalah napas kita sendiri. Selama napas masih ada, harapan masih terbuka. Selama napas masih berhembus, pintu taubat belum tertutup. Dan selama napas masih setia menemani, kita masih diberi ruang untuk memperbaiki diri.

Napas mengajarkan kita tentang kerendahan hati. Ia datang dan pergi tanpa kita sadari, bekerja tanpa henti tanpa meminta balasan. Jika suatu hari ia berhenti, maka berhentilah seluruh cerita dunia kita. Karena itu, betapa bodohnya jika kita menyia-nyiakan napas untuk hal-hal yang tidak membawa kebaikan. Betapa ruginya jika hidup dihabiskan untuk iri, dengki, dan membandingkan diri dengan orang lain.

Renungan ini bukan untuk menghakimi siapa pun, melainkan untuk diri sendiri. Tentang betapa sering kita lupa. Lupa bahwa hidup bukan perlombaan pamer kebahagiaan. Lupa bahwa setiap orang memikul ujian yang berbeda. Lupa bahwa senyum seseorang bisa saja menyembunyikan luka yang panjang. Dan lupa bahwa Tuhan tidak menilai kita dari apa yang tampak, melainkan dari niat dan keikhlasan di dalam hati.

Kehidupan juga mengajarkan tentang sabar. Tidak semua doa dijawab dengan segera. Tidak semua usaha berbuah sesuai harapan. Namun bukan berarti Tuhan tidak mendengar. Bisa jadi, penundaan adalah bentuk kasih sayang-Nya. Bisa jadi, kegagalan adalah cara Tuhan menyelamatkan kita dari sesuatu yang lebih buruk. Dalam setiap kejadian, selalu ada hikmah bagi mereka yang mau merenung.

Di saat lelah menyapa, kita diingatkan untuk berhenti sejenak. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengingat bahwa kita masih hidup. Bahwa masih ada kesempatan untuk berbuat baik, sekecil apa pun itu. Bahwa masih ada waktu untuk memaafkan, meski hati belum sepenuhnya siap. Dan bahwa masih ada hari esok yang bisa kita sambut dengan doa, bukan dengan kecemasan berlebihan.

Ya Allah, ya Tuhan, terima kasih karena sampai hari ini Engkau masih memberikan kami sehat walafiat. Terima kasih atas napas yang masih Kau titipkan. Terima kasih atas perlindungan yang sering kali tidak kami sadari. Menjelang pergantian tahun 2026, kami tidak meminta hidup yang sempurna, tetapi hati yang mampu menerima. Tidak meminta jalan yang selalu mudah, tetapi iman yang kuat saat jalan terasa berat.

Ajarkan kami untuk bersyukur dalam keadaan apa pun. Ajarkan kami untuk tidak meremehkan nikmat kecil. Ajarkan kami untuk menjaga lisan, sikap, dan hati agar tidak melukai sesama. Dan jika suatu hari Engkau memanggil kami, semoga kami pulang dalam keadaan ridha dan diridhai.

Renungan nasib ini adalah cermin untuk diri sendiri. Agar kami tidak terlalu keras pada dunia, dan tidak terlalu kejam pada diri sendiri. Agar kami ingat bahwa hidup hanyalah persinggahan, bukan tujuan akhir. Agar setiap napas yang tersisa menjadi saksi bahwa kami pernah berusaha menjadi manusia yang lebih baik, meski dengan segala kekurangan.

Karena pada akhirnya, yang kita bawa bukanlah harta, jabatan, atau pujian manusia. Yang kita bawa hanyalah amal, doa, dan keikhlasan. Maka selama napas masih ada, mari kita jaga. Selama hidup masih diberi, mari kita syukuri. Dan selama hati masih bergetar, mari kita tundukkan dalam doa, memohon agar setiap langkah selalu dalam lindungan-Nya. 🤲❤️

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel